3

2005 Kata
Setelah pulang dari pekerjaan part timenya, Nanda memasuki rumah dengan diam-diam. Tidak mau membangunkan seisi rumahnya. Ia segera ingin membersihkan diri karena gerah yang sudah mulai terasa, namun semua niatnya sirna ketika melirik dapur yang berantakan seakan barusan terjadi perang bahan masakan. Nanda menghela napas sebentar, dan segera membereskan kekacauan itu. Dengan mulai menyapu tepung yang sudah berantakan di lantai, membuang sampah sisa makanan yang berada di tumpukan piring, dan mencucinya. Kemudian nanda mengelap semua permukaan meja, lalu mengepel lantai yang tadi sudah ia sapu. Keadaan seperti ini sejujurnya membuat nanda lelah, akan tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia sudah terlalu lelah jika harus berhadapan dengan omelan orangtuanya yang akan menyalahkannya. Walaupun itu semua perbuatan kakaknya, orangtuanya tetap akan memarahi Nanda. Untuk rebahan saja ia tidak bisa, sedari kecil ia sudah terbiasa untuk melakukan apa-apa sendiri lebih tepatnya ia sudah dipaksa. Seringkali nanda iri dengan cerita teman-temannya jika mereka seharian bisa rebahan di rumah dan menonton netflix, ataupun jika mereka bercerita betapa baiknya orangtua mereka. Karena Nanda, tidak pernah merasakan semua itu. Yang ia lakukan hanyalah belajar, bekerja keras, membersihkan rumah dan kekacauan di dalamnya. Untuk mengeluh kepada teman juga dia tidak bisa. Ia tidak mau dikasihani, terlebih lagi jika orang-orang tau kelemahannya ini. Setelah semua pekerjaan selesai, Nanda mulai menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah 15 menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan sudah menggunakan baju putih oversized dan celana pendek rumahannya. Nanda sedikit bersyukur dulu orang tuanya membangun rumah ini dengan kamar mandi yang berada di dalam kamar, jadi ia tidak perlu khawatir akan berapapun waktu yang akan dihabiskan di dalam sana. Nanda menggosok rambutnya yang basah dengan pelan, agar rambutnya kering sehingga tidak menetesi kaosnya. Nanda melirik jam dinding, sudah pukul 9 malam. Ada beberapa tugas yang belum nanda selesaikan, niat awalnya yang ingin segera tidur tertunda. Ia lebih memilih berjalan menuju meja belajar, dan menghidupkan laptopnya. Nanda harus segera menyelesaikan tugasnya dan tidur. Setelah 20 menit kemudian, ia berhasil menyelesaikan semuanya. “badan gue sakit semua anjir, kapan semua penderitaan ini berakhir ya tuhann. Cape banget.” Eluh nanda setelah sekian lama diam dan tak bersuara. Ia mengambil hp yang berada di tempat tidur, dan mengecek jam. Nanda melihat notifikasi dari beberapa orang. Ada Jevan, David, dan Vina yang menghubunginya. Jevan Udah pulang Nad? Udah ngerjain tugas belum? Ini kalo mau liat, liat aja. Send pict David Udah pulang belum? Besok bisa ketemu aku ga? Nan? Mau aku jemput? Kalo udah pulang kabarin ya. Vina Oi nan, jangan lupa besok bawain buku paket gue ya. Buku paket PKN, kebawa sama lo kemarin. Sekali lagi, Nanda menghela napas lelah. Ia kemudian membalas semua pesan tersebut satu persatu.                                                                                                                                                                                                                         To : Jevan Udah pulang ko jev, udah ngerjain juga. Thankyou jevan.                          To : David Ini udah pulang ko, gaperlu dijemput. Besok aku usahain ya.                         To : Vina Oke vin. Baru saja nanda ingin menjatuhkan diri ke tempat tidur, ia harus berdiri lagi menuju ke meja belajar. Nanda teringat dengan deadline update ceritanya, ia harus mengirimkan satu bab malam ini. “memang, cari uang tu susah.” “Yang gampang ngepet, tapi gue gaada partner.” Keluh nanda di tengah kesibukan jarinya yang sedang sibuk mengetik. Jujur menjadi penulis ditengah kesibukannya belajar sebagai siswa menengah atas dan bekerja part time di café setelah pulang sekolah sangat menguras tenaganya. Menjadi penulis walaupun kelihatan mudah, tetapi sangat sulit. Raganya memang hanya duduk di kursi dan jarinya tinggal mengetik diatas keyboard laptop. Tapi ide kreatif yang harus ia pikirkan matang-matang dan bagaimana ia bisa bertahan diplot yang sudah ia buat itu tidak gampang. Sering kali nanda merivisi naskahnya, mengubah kalimat ataupun menghapus semua bagian cerita itu jika ia merasa tidak cocok dengan hasilnya. Melelahkan tapi mau bagaimana lagi, ia harus bertahan kehidupan yang sulit ini.                                                                ******** Bunyi Alarm sudah mengekakan telinga, alarm itu berbunyi puluhan kali. Tapi penyetel alarm, bergerak saja pun tidak. “WOY NAN, ALARM LO MATIIN! BRISIK BANGET GANGGU GUE TIDUR TAU GA!” teriak Karin, Kakak Nanda sambil menggedor pintunya berkali-kali. Pintu itu hampir rubuh jika nanda tak segera bangun. Pada gedoran ke6, Nanda bangun dengan terkejut. Ia tertidur di meja belajarnya semalam, laptopnya bahkan belum sempat ia matikan. Nanda melirik jam, menunjukan pukul 6.20 “oalah 6.20.” Pikir nanda santai lalu memastikan kembali, melirik bahkan memelototi jam itu. “ASEM BANGET SETENGAH 7!” teriak nanda terkejut, gedoran pintupun berhenti karena nanda sudah berteriak. Kakaknya merenggut dengan sebal, sedangkan nanda kini sedang kepalang panik. Mandi bebek dan memakai seragam yang tidak rapi, memasukkan buku-buku pelajarannya dan tidak lupa membawa baju ganti. “udahlah bodoamat, makan di kantin aja. Gaada waktu buat masak.” Dumel Nanda sambil keluar dari kamar. Ia langsung memakai sepatunya, menalinya dengan asal dan langsung berlari meninggalkan rumah. Ia berlarian menuju tempat pemberhentian bus. Berharap masih ada yang mau berhenti di saat itu, namun sialnya ketika Nanda sampai disana bus terakhir sudah tiba. Dan bus itu sudah menunjukkan tanda-tanda akan berjalan. Jika nanda tidak segera menaiki bus yang hampir berjalan itu nanda dipastikan akan telat. Akhirnya ia lari dengan sekuat tenaga sambil berteriak memohon kepada supir untuk menghentikannya. Supir yang melirik kaca spion akhirnya memberikan belas kasihnya, ia berhenti dan menginjinkan siswa perempuan yang berlarian itu memasuki bus. Setelah nanda masuk, ia segera meminta maaf kepada semua penumpang yang ada di bus karena sedikit menunda perjalanan mereka. Dengan napas yang tersenggal-senggal karena efek berlarian, ia duduk dengan meluruskan kedua kakinya. Setidaknya ia harus menyiapkan tenaganya kembali untuk berlari lagi dari pemberhentian bus dekat sekolahnya sampai ke kelasnya yang berada di lantai 3. Memikirkannya saja nanda sudah capek. Setelah beberapa saat akhirnya bus berhenti di dekat halte sekolahnya, ia segera berlarian lagi. Nanda semakin panik ketika melihat satpam sudah menyeret gerbang, tanda akan ditutupnya pintu masuk sekolah nanda. Dengan segenap tenaga, ia menyerahkan seluruh kekuatan yang dia punya untuk berlari. Tapi naasnya, tali sepatu yang ia ikat karena terburu-buru tadi kurang kencang sehingga menyebabkan nanda jatuh dengan sangat tidak cantiknya. Ia berguling dipinggir jalan, menyebabkan siku dan lututnya berdarah. Semakin memprihatinkan ketika melihat seragamnya yang kini lusuh.                                                             ****** Dari kejauhan sana, seseorang sedang berkumpul dengan teman-temannya di sebuah kedai tampak memperhatikan Nanda. Seseorang itu adalah Regan, yang daritadi memperhatikan perempuan yang kelihatan familiar baginya, turun dari sebuah bus dan langsung lari. Regan memperhatikan langkah Nanda, ia lalu beralih melihat langkah kaki nanda yang semakin kencang. Salah sudut bibirnya sedikit tertarik melihat pemandangan itu. Lalu ia sadar jika tali sepatu nanda terlihat sudah akan terurai, ia panik. “NO, NO NOO. JANGAN LARI! WOY!” teriak Regan memperingatkan perempuan yang sedang berlari itu, Nanda. Dengan sesuai prediksi Regan, Nanda terjatuh dengan cara yang mengenaskan. Dengan cepat ia lari menuju nanda, teriakan teman teman regan yang bertanya akan kemana dia, tak dipedulikan. Ia hanya fokus kepada perempuan yang sedang terduduk membersihkan debu-debu yang ada di tubuhnya. “Heh, lo gapapa?” Regan bertanya khawatir. “HAH?” “HAH HOH HAH HO, gue tanya. Lo gapapa?” “YA MENURUT LO AJA ANJIR GIMANA!” “ya gausah ngegas dong, santai aja kali.” “ya lagian udah tau nanya, minggir.” Nanda menyingkiran tangan regan. “hehh, itu luka lo.” Regan sambil menunjuk ke kedua sikunya yang terlihat berdarah. “ntar gampang diobatin.” Ucap nanda sambil berdiri. Tanpa diduga, regan berteriak kepada satpam yang masih setengah menutup gerbang pintu sekolah nanda. “PAK BENTAR JANGAN DITUTUP DULU, KASIAN NI CEWE NYAMPE NGUNGSEP.” Regan berteriak, teriakannya itu mengundang tawa siswa-siswi yang tadi memperhatikan nanda sejak ia jatuh. Pak satpam yang berdiri itu terlihat menganggukan kepalanya setelah melihat keadaan Nanda yang telah berdarah itu. “lo ngapain si?” nanda bertanya dengan nada yang sewot. “la lo la lo, gue lebih tua dari lo ya, sopan dikit kek.” Ucap regan sambil membuka isi tasnya, mengambil handsaplas dan obat merah yang biasa ia bawa. “ya mana gue tau.” Ucap nanda acuh. Lalu bersiap ingin melanjutkan langkahnya, namun Regan menahannya. “diobatin dulu heh!” “ga usah, ntar aja.” “yaudah ni bawa.” Ucap regan sambil memberikan obat merah dan hansaplasnya ke tangan Nanda. “makasih.” Karrena tidak mau berbasa-basi Nanda menerima itu, dan mengucapkan terima kasih. Tapi tak lama kemudian, dia sudah sprint masuk ke gerbang sekolahnya. Regan yang melihat kejadian itu hanya cengo, tidak biasanya ia bertemu dengan cewe yang sudah terluka tetapi menangis sedikit saja pun tidak. Bahkan, dia masih bisa sprint. “bener bener, gila tu anak.” Regan memandang nanda dari kejauhan. Satpam yang tadi memandang regan dan rei terkejut, tidak akan mengira siswi sekolahnya bisa berlari secepat itu bahkan dalam keadaan berdarah. Kepala pak satpam ikut bergerak memperhatikan arah langkah Rey hingga ia menaiki tangga dan masih berlari. Pak satpam terkagum-kagum melihat kegigihan siswi itu. “wah bakat maling.” Setelah berhasil sprint, Nanda tiba di dalam kelas dalam keadaan yang sudah berantakan. Dengan rambut basah, keringat yang muncul karena ia menahan rasa perih, dan darah yang mengalir di kedua siku dan lutunya. Kondisi ini memicu ngeri teman-teman kelasnya, dan sahabatnya. “Lo baru ikut perang dimana nan?” ucap vina sambil memandangi nanda dari atas kebawah dan dari bawah ke atas lagi. “lo baru selamet dari gempa apa gimana?” ucap Jevan yang sedari tadi memandangi nanda. “abis tarung sama kucing.” Nanda menjawab dengan asal sambil berjalan perlahan dengan raut wajah datar. Ekpresi nanda memang terlihat datar, tetapi jevan yang sedari tadi memandangi nanda sadar akan keringat dingin yang mengalir dari dahinya. Nanda menahan rasa sakit dan perih dari tadi. “mending lo ke uks deh, obatin dulu tu luka lo. Perih kan?” Jevan menyuruh nanda sambil memperhatikan lukanya. “ngga per-AWW SAKIT g****k JANGAN DITEKEN CUK” omongan nanda terpotong terganti dengan u*****n karena jevan dengan iseng menekan luka yang masih berdarah itu. “ya iya, makanya obatin dulu sono.” Jevan tetap kekeh menyuruh nanda ke uks. “ga ah, ntar aja.” “obatin atau gue seret lo ke bawah.” Jevan berucap dengan nada tegas. Vina yang daritadi hanya menyimak kedua orang itu berdebat mulai angkat bicara, enggan melihat perdebatan mereka lagi. “udah, udah. Lo berdua gausah berantem napa. lo bawa minum ga?” vina bertanya kepada nanda. “engga vin, gue bangun telat hari ini. Jadi ga nyiapin apa-apa.” Nanda mengusap keringatnya dengan mecomot tisu yang ada di atas meja vina, tisu itu menjadi basah dengan sekali usap. “yaudah nih minum dulu, gue tadi pagi ke kantin. Buat lo aja. “ jevan menyerahkan satu botol air minum kepada nanda. Nanda menerimanya dengan senang hati, dan menenggaknya. Ia sangat haus, botol air minum itu isinya tinggal setengah. “makasih jev.” “obatin dulu aja nan, ntar gue ijinin kalo ada guru masuk.” “gaperlu, gue ada obat ko. Obatin disini aja.” Nanda mengeluarkan obat merah dan handsaplas yang diberikan Regan tadi. Yang sontak mengundang rasa penasaran Vina dan Jevan, karena baru kali ini mereka melihat nanda membawa perlengkapan seperti itu. “Dapet darimana lo?” vina yang tidak bisa menahan penasarannya, akhirnya bertanya kepada nanda. “dikasih orang lewat tadi.” Nanda menjawab dengan asal, ya ga sepenuhnya asal juga si. Kan dia juga gatau nama cowo yang memberikan obat ini. “orang lewat siapa?’” kali ini gantian jevan yang bertanya kepada Nanda. “tadi gue jatuh, ada orang lewat nolongin ngasih nih obat. Puas lo berdua?” “cowo apa cewe nan?” jevan kembali bertanya. “banci jev.” Jawab Nanda asal. Jevan yang mengetahui Nanda sedang tidak mood akhirnya memilih mengakhiri pembicaraan itu. Nanda terlihat sangat lelah hari ini dengan keringat yang membasahi seragamnya yang kini sudah kotor karena insiden jatuh tadi. Seorang guru memasuki kelas, dan memulai pelajaran membuat Jevan mengalikan perhatiannya yang tadinya dari Nanda ke guru tersebut. Sementara Nanda, kini wajahnya mulai memucat. Dia sangat lelah kali ini. Lalu matanya kembali melirik, obat merah dan handsaplas yang diberikan seseorang tadi. “katanya lebih tua dari gue, tapi hansaplas gambar dinosaurus.” Nanda pun tersenyum dalam diam, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke pelajarannya.                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN