10

2502 Kata
“woy woy, bentarrr. Gue ga punya duit njir.” Nanda menghentikan langkah mereka. “alahh gampangg, kali-kali kan lo ada waktu santai gini.” Jevan langsung menjawab dan kembali menarik Nanda, ucapannya disetujui oleh Vina. Nanda, Vina, dan Jevan keluar dari sekolah dengan semangat. Mereka sudah keluar dari gerbang sekolah, tinggal menaiki transportasi saja untuk menuju timezone. “btw kita mau pake apa kesana?” “gue ga bawa mobil Vin.” Ucap Jevan mengaduh, karena dia hari ini mager membawa mobil jadi hanya diantar oleh supir keluarganya. Jevan termasuk dalam golongan keluarga yang berada. Jika tahu Nanda akan punya waktu santai begini, ia pasti akan membawa mobil. “yah gue juga. Pesen grab aja?” ucap vina menimpali. “halah, ribet lo berdua. Yok naik bus aja, ngirit.” Ucap Nanda sambil menarik tangan Jevan dan Vina segera untuk menuju tempat pemberhentian bus. Vina dan Jevan yang untuk pertama kalinya naik bus, hanya bisa mengikuti Nanda. Setelah sampai di sana, mereka menunggu beberapa saat sebelum bus tiba. “lo yakin Nan?” “ini kita ga akan nyasar kan Nan?” Tanya mereka berdua kepada Nanda, yang sontak dibalas hanya helaan nafas Nanda kesal. Lalu dia menjawab “heh lo berdua, gue sekolah ama kerja part-time dari dulu make bus. Yakali nyasar. Makanya lo berdua tu sekali-kali nikmatin bagaimana cara orang biasa hidup, ntar lo rasain aja deh.” Ucap Nanda terdengar sombong, padahal sih hanya perkara naik bus doang gaada spesial spesialnya. Tapi karena teman-temannya itu termasuk golongan orang kaya yang hedon, Nanda jadi ingin sombong. Akhirnya setelah beberapa saat bus yang mereka tunggu tiba, lalu mereka bertiga segera menaikinya. Jevan dan Vina yang tidak pernah naik transportasi umum ini terlihat sangat terpukau, “yahh begitulah kalo orang kaya ngerasain hidup orang biasa.” Nanda hanya membatin dan menggeleng-geleng. Jevan dan Vina sangat excited memandangi jalanan ibu kota yang sangat padat. Polusi udara, dan bau-bau aneh tak menurunkan semangat mereka. Lalu setelah sekitar 15 menit kemudian mereka sampai di mall yang di dalamnya terdapat timezone. Mereka segera turun dari bus dan berlari, Nanda yang mager hanya memperhatikan mereka dari belakang sambil tersenyum dalam diam. Melihat senyum dan tawa temannya hari ini, setidaknya dapat mengurangi rasa sedih yang ada di dirinya kali ini. Setelah menaiki eskalator dan sudah sampai di arena timezone, mereka segera mengisi kartu. Jevan, Vina, dan Nanda mencoba berbagai wahana yang ada di sana. Lalu saat mereka mencoba wahana basket, Jevan mengusulkan ide jahil. “Nan, kalo kali ini gue menang dari lo. Lo bakal ngabulin permintaan gue ga?” Tanya Jevan sebelum memulai permainan basketnya. Nanda yang berada di sampingnya akhirnya menjawab. “boleh, tapi kalo gue menang lo harus nurutin gue ya.” Ucap Nanda sambil tersenyum sombong, dia percaya diri akan menang dari Jevan karena ia sangat handal dalam permainan basket. Tapi Nanda gatau sih kalo Jevan yang karena sebal kalah skor pas tanding sama Nanda di sekolah, akhirnya mengusulkan ide ke orang tuanya untuk dibuatkan lapangan basket dan ringnya di halaman rumahnya. Ya tentu saja, karena tekat Jevan yang kuat untuk menang dari Nanda, dan sering berlatih setiap hari saat ada waktu santai akhirnya bisa mengalahkan Nanda. “IH KOK LO BISA MENANG SIH?!” Nanda berseru kesal ketika melihat poin yang tertera, ia kalah dengan Jevan yang amatir. “bisa dong.” Jevan membalas ucapan Nanda dengan nada tengil, sambil mengacungkan jempolnya dan lalu membaliknya di depan Nanda. Nanda yang melihat itu memukul punggung Jevan dengan kesal “ngeselin lo.” Yang dijawab dengan peletan lidah dari laki-laki tersebut. Vina yang sedari tadi diam memandangi mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya, Vina tidak ikut bertanding karena ia tidak bisa bermain basket dan malas. Lalu Vina merangkul kedua temannya itu, ia berada di tengah Jevan dan Nanda untuk menghentikan pertengkaran mereka. “jadi gimana nihh, apa taruhan lo jevv?” ucap Vina yang sedari tadi menonton ikut menagih janji jevan. “ehmm, apa ya?” lalu jevan melirik semua arena permainan yang ada di timezone tersebut, lalu matanya berhenti pada satu titik. “KE SANA AJA!” serunya sambil menarik kedua tangan Nanda dan Vina, Nanda yang tahu akan pergi ke arah kemana mereka hanya bertahan dengan kuat dengan pegangan di salah satu ujung meja. Nanda sangat ogah untuk pergi ke tempat yang dituju Jevan. “IH NAN, LO HARUS FAIR DONG.” Seru Vina yang daritadi semangat “ogahh gue kesana.” Ucap Nanda sambil berpegangan kuat dengan ujung meja, ia sangat tidak mau. “NAN, PHOTOBOOTH DOANG ELAHH!” seru Jevan kesal, melihat Nanda yang sedang berpegangan dengan kuat. Nanda sangat tidak mau untuk di ajak fotobox, dari awal mereka bersahabat Nanda selalu tidak igin di foto. Nanda sangat benci difoto, dia hanya mau difoto jika itu foto formal untuk keperluan sekolahnya. Selain itu, ia tidak pernah mau. Jevan dan Vina sering mengambil foto Nanda diam-diam karena perempuan itu sangat tidak suka di foto. Padahal Nanda sangat cantik. Jevan yang kesal melihat benteng pertahanan Nanda yang kuat, akhirnya merencanakan rencana jahat diam-diam dengan Vina. Vina yang mendengar rencana Jevan, ikut menyetujuinya dan bekerja sama. Tanpa diduga Nanda, Jevan meraih kedua lututnya dan memegang punggungnya. Lalu vina melepaskan tangan Nanda yang berpegangan kuat itu. Jevan yang kuat memilih untuk menggendong Nanda untuk memaksa perempuan itu mau berfoto, jevan menggendong nanda dengan bridal style yang tentunya mengundang perhatian banyak orang. Nanda yang malu hanya berusaha untuk turun dari gendongan Jevan. “JEV, TURUNIN GUE MALU SAT!” seru Nanda yang sedang digendong, memberontak ingin turun. Vina yang mendengar itu membalas Nanda. “JANGAN JEV! Biar malu aja ni anak. Ntar kalo lo turunin, lari dia.” Ucapan vina ini akhirnya disetujui oleh Jevan. Jevan tetap tidak melepaskan Nanda dari gendongannya. “Lo diem, atau mau gue lempar Nan?” Jevan bertanya kepada Nanda yang tidak bisa diam. “lempar aja deh jev.” Nanda menyerahkan diri untuk dilempar jevan, sungguh pkiran yang sangat unik perempuan ini. Akhirnya dengan perjuangan dan drama pergendongan, mereka dapat membawa Nanda ke ruang photobooth yang ada di timezone. Masalahnya mereka sudah bersahabat lama, tetapi tidak mempunyai foto bertiga satupun apalagi mereka ini kelas 3 SMA yang berarti akan lulus. Mereka takut jika nantinya mereka akan berpisah di universitas, dengan pilihannya masing-masing tetapi tetap tidak mempunyai foto kenangan bersama. Nanda dengan ekspresi yang tidak ikhlas akhirnya mau melakukan photobooth, posisi Nanda yang dihimpit oleh kedua orang itu membuatnya tidak bisa melarikan diri dari sana. Akhirnya di dalam foto tersebut Nanda kebanyakan hanya bereskpresi datar, tetapi tetap cantik bagi yang melihatnya. Tanpa diduga, ada yang sedari tadi memperhatikan mereka. Regan, Bagas, dan Alfan yang mempunyai waktu luang sebentar menyempat diri untuk mampir di mall terdekat. Tadinya sih niat awal cuman pengen beli chatime doang, tapi karena Alfan yang kaya raya merasa gabut dia ngajakin teman-temannya buat main timezone. Tentu saja Bagas dan Regan mau, jika dibayari. “buset gan, romantis banget tu mereka. Kita kalah.” Ucap Bagas yang melihat 3 remaja yang sedang bersama, dengan posisi cowo menggendong cewe dan ditemani cewe di sebelahnya. “tu cowo cakep juga yang gendong, tu cewe pasti pacarnya deh.” Alfan menimpali ucapan Bagas. Ucapan Alfan membuat Regan overthinking, iya juga si kalo dipikir-pikir. Nanda cantik, tidak mungkin dia tidak punya pacar dan itu pasti pacarnya Nanda. Tebakan Regan benar, tetapi tidak tepat. Nanda memang mempunyai pacar, tetapi bukan laki-laki yang menggendongnya. Melainkan laki-laki yang berada tepat di belakang Regan. David. David menonton pemandangan itu. Chatnya sejak Nanda menelponnya, yang itu jarang banget dia lakukan hanya dibaca oleh Nanda. Berkali-kali ia mengirim pesan kepada perempuan itu. Tapi tetap saja tidak mendapatkan balasan apapun. Nanda tidak pernah seperti itu, karena selama menjalin hubungan dengannya sesibuk dan secapek apapun Nanda. Dia akan membalas pesannya, untuk mengabarinya walaupun kadang pesan singkat. Hal itu membuat David berpikir apakah ada yang salah dengannya? dan menjadikannya berada di mall ini. David yang tadi kebetulan melihat Nanda dan teman-temannya bersama akhirnya mengikutinya. David menggunakan motornya sendiri, megikuti dari awal Nanda dan sahabatnya menaiki bus lalu bermain game di timezone sampai dia melihat pemandangan itu sendiri. ***** Setelah menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Vina dan Jevan nanda akhirnya berjalan pulang. Tadinya Jevan dan Vina menawarkan untuk mengantarnya tetapi Nanda ingin sendirian. Jadinya dia di sini, menunggu bus di sore hari yang mataharinya hampir terbenam ini. Nanda menunggu bus dengan diam, udara yang dingin membuatnya memasukan tangan ke dalam saku hoodienya. Selagi menunggu, ada dua pria yang berumur pertengahan dengan berpakaian serba hitam dan berbagai aksesoris yang membuat mereka terlihat garang duduk di dekatnya. Nanda yang memakai earphone membuat dua orang pria itu mengira gadis itu tidak akan mendengar obrolan mereka, sehingga kedua pria itu membicarakan obrolannya dengan santai. “Lo udah dapet orang buat duel belom?” ucap seorang pria berbadan besar yang memakai kalung rantai di lehernya. Mulutnya mengeluarkan asap rokok yang sedari tadi dihisapnya. “belom nih gue, gue nyari-nyari tapi ga ketemu.” Jawab seorang pria yang berada di sebelahnya yang bertato naga besar tepat di sebelah kanan lengannya. “bayarannya berapa kali ini?” “20 Juta.” Nanda yang sedari tadi mendengar percakapan itu, mendengar jumlah nominal uang yang besar akhirnya menajamkan kupingnya. Ia menggeser duduknya sedikit demi sedikit untuk tetap menguping di seblah pria yang bertato itu. “bagi hasil gak itu? Biasanya lebih kan ya?” “bagi hasil lah sob. Yang tarung 15 gue 5, kan perantaranya gue. Biasanya sih lebih tapi gatau sekarang akhir-akhir ini jarang yang main.” “lo butuhnya cewek apa cowok?” “cowok, tapi cewek bisa si. Tapi cewek sekarang gabakalan ada yang mau ngikut taruhan ginian, apalagi duel langsung. Bonyok kan jadi ga cantik tu cewe.” “ya lagian pasti juga cewe ga bakalan milih kerja yang kaya gini, berat. Cari uang susah sekarang, cewek lebih milih foto foto endorse di i********: lah daripada duel kaya gini. lebih gampang dan ga beresiko. “Bener.” Dua laki-laki yang sangar itu lalu terdiam, melanjutkan acara sesi sebatnya yang tadi tertunda di jalan. Nanda yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka, memberanikan diri untuk mengajak ngobrol. “btw, duel apa om?” ucapnya kepada kedua orang itu. Kedua pria dewasa yang berada di sampingnya kaget, mereka tidak mengira jika gadis yang sedari tadi diam dengan tellinga tertempel earphone itu mendengarkannya. “lo dari tadi dengerin?!” ucap pria yang memakai kalung rantai. “hehe iya om, kan dari tadi musik saya gak nyala.” Ucap Nanda dengan cengiran tidak bersalahnya. “nguping itu gak baik asal lo tau.” “hehe, ya maap lagian om berdua ngobrolnya santai kok, btw itu duel apa om?” “rahasia, bocil gaboleh tau.” Ucap om om yang memiliki tatto Naga. “aelah pelit banget.” Nanda menimpali. “biarin.” “duel tanding ya om? Bayarannya ko besar? Duel apa om? Cewek boleh ikut gak om?” Nanda bertanya dengan cerewet yang membuat kedua pria dewasa itu menyerah dan menjelaskannya. Nanda yang sedari tadi dijelaskan hanya menganggut nganggutkan kepalanya. “udah, paham? Lo ga boleh ikut.” “duh om, mau dong. Yaya yaya?” “gak, ntar klao lo mati gue gamau tanggung jawab.” “yaelah om, lagian kalo aku mati gabakal ada yang peduli jadi sekalian aja sih.” Om-om itu langsung berpandangan, backsound “Teenagers scare the living s**t out of me.” Terasa diputar bagi mereka berdua. “heh, kalo ngomong jangan gitu. Kualat lo ntar sama orang tua lo.” “halah om, orang tua aku aja pengen aku mati. Jadi sekalian gak si? Cari duit sendiri kalo dapet jackpot ya meet and greet ama tuhan?” Ucapannya membuat om-om itu menoyor dahi Nanda, anak ini bener bener stress. Lalu mereka beradua beranjak dari duduknya dan membuat Nanda panik. Dia belum tau kerjaan apa itu, main pergi aja. “OM OM JANGAN PERGI DULU DONG.” “apaan? Udah gue bilang ni bukan buat anak sma kaya lo.” “om, aku menang kejuaraan dan olimpiade taekwondo udah beberapa kali. Banyak om, sampe nasional bahkan. Ya ya? Boleh ya? Aku butuh uang om buat nanti kuliah. Please.” Ucap Nanda memelas hampir meneteskan air matanya. Ia bisa dicasting untuk memainkan drama sih ini. “lo kan punya orang tua.” “om, yang daritadi aku omongin ga boong. Itu jujur, walaupun emang sulit dimengerti tapi itu kenyataan om. Orang tuaku gapeduli aku hidup apa engga, tapi aku pengen kuliah om mau belajar ntar cari duit sendiri biar bisa keluar dari rumah.” Tidak cukup dengan omongannya saja, Nanda memperlihatkan bekas luka yang di dapatkannya dari rumah selama ini. Ia menggulung lengannya yang menampilkan bekas luka lebam, menunjuk bibirnya yang masih ada plesteran luka, menghapus bedak di pipinya untuk menunjukkan bekas tamparan yang kini membiru samar, menunjukkan kakinya yang terdapat banyak bekas lebam, dan menunjukkan pinggangnya yang ketara sekali jika itu lebam yang disebabkan dalam waktu 2 harian itu. “tuh om, aku kuat kok. Luka-luka gapapa om, beneran sumpah. Aku udah biasa, ga nangis-nangis menye. Ya om? Ikutin aku kerja ya? Buat bayar kuliah.” Nanda memohon-mohon di depan kedua orang dewasa itu. Setelah melihat kondisi dan ucapan Nanda, akhirnya mereka memilih diskusi di tempat yang agak jauh dari gadis itu. “menurut lo gimana?” “kasian.” “iya, kasian. Masih kecil udah dapet luka banyak.” “yeuu fokus-fokus, jangan fokus ke ceritanya. Mau di ikutin apa engga? Lagian dia udah punya basic bela diri.” “kayaknya si bisa. Lagian mending dapet luka-luka di duel tapi dapet segepok money daripada dia luka-luka di rumah di siksa orang tuanya gak si?” “iya bener si. Yaudah.” Lalu mereka menuju kembali ke tempat Nanda berada. Lalu mengiyakan, yang direspon Nanda dengan senyuman lebar YESS. “tapi kalo lo luka-luka gue gamau tanggung jawab, gue udah ingetin itu.” “kalo lo mati juga gue ga akan tanggung jawab, dari awal perjanjian udah tau itu.” “tenang aja om, siapp. Mending mati tapi dapet uang. Ga nyesel juga kemarin batal loncat dari gedung.” Ucapnya dengan cengiran lebar. “LO KEMAREN MAU BUNUH DIRI?” “ga kok om. Mau loncat dari gedung doang ga bunuh diri.” Kedua pria dewasa itu menggelengkan kepalanya sambil menatap satu sama lain dan membuat gerakan bibir “bocah gendeng.” Sementara bocah gendengnya sendiri malah asik cengar cengir. “OM.” “apalagi?” “minta nomor hpnya dong!” “heh, gue gak suka bocil.” “dih sama gue juga.” “ya ampoon, aku juga kalo mau cari om-om juga carinya yang next level sekalian yang bau duidd. Minta nomor hp, biar om berdua ga boongin aku.” “ribet banget bocil.” Lalu mereka berdua meninggalkan nomornya masing-masing untuk dihubungi Nanda, tidak lama kemudian Bus yang ditunggu Nanda pun datang. Nanda menaiki bus tersebut dengan senang hati, sambil mengucap BABAI OM OM dari kaca jendela samping tempat ia duduk. Nanda pulang dengan senang dan banyak pikiran. Mulai sekarang ia harus mempersiapkan segalanya, apalagi fisiknya. Demi pundi-pundi rupiah yang harus ia dapatkan, ia harus menang. Nanda bertekat untuk memperkuat fisiknya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN