Hany mengekori Reza ke suatu ruangan dekat parkiran. Ruangan itu merupakan pusat pengelolaan informasi, di sana ada tiga orang yang sedang berjaga. Reza segera mencari salah satu orang yang sempat ia temui kemarin.
"Permisi Bang," ucap Reza dengan sopan. Mereka menengok serempak ke arah Reza dan Hany. Para pekerja di sini masih tergolong anak muda. Ada yang seumuran Reza dan adapula yang lebih tua, dua tahun darinya.
“Eh lu yang kemarin ya?” balas lelaki dengan nametag di seragamnya yang bertuliskan Toni.
“Iya Bang, gimana soal rekamannya? Udah ada apa belum?” tanya Reza to the point.Ia malas membuang-buang waktu
"Maaf ya, belum ada" ucap Toni sambil kembali bekerja.
"Adanya kapan ya Bang?" Hany mencoba bertanya untuk mendapat suatu kepastian.
“Duh, bagaimana ya... Ini gak sembarang dikasih ke orang. Kita juga lagi sibuk kerja,”balas Toni dengan nada kurang bersahabat.
Reza dan Hany saling melempar tatap. Reza sudah menduga pasti akan seperti ini lagi. Mereka memang tidak berniat membantu.
“Kalau besok ada gak Bang?”
”Gak bisa mending abang sama mbanya pulang saja. Nanti kalau ada saya telepon ‘kan kemarin abangnya sudah ngasih nomor handphone ke saya,” kata Toni tanpa mencoba berusaha terlebih dahulu. Ia terlihat ingin mengusir Reza dan Hany secara halus.
Reza tidak percaya dengan perkataannya. Kemarin juga Toni berkata demikian, namun Reza tidak kunjung di telepon.
“Tapi bang...”
“Yaudah makasih ya Mas,” potong Hany sambil menarik Reza pergi.
Reza kebingungan mengapa Hany memotong dan mengajaknya keluar padahal upaya negoisasinya belum selesai.
“Kak, jangan ngeselin kalau ke orang asing,” ucap Hany yang masih menyeret Reza untuk menjauh dari sana.
“Ngeselin gimana? Gue cuman ngebujuk mereka,” kata Reza membela dirinya.
“Iya paham, tapi caranya salah. Kalau sikap lu kaya begitu, mereka pasti kesel sama kita,” tegas Hany. Ucapan Reza memang tidak ada yang salah, tapi raut wajah dan nada biacaranya memancing keributan. Hany saja yang dengar kesal, apalagi karyawan tadi.
Reza hanya diam, ia mencoba mencerna ucapan Hany. Alih-alih langsung pulang untuk membuntuti Martika dan Rio, Reza memilih mampir sebentar ke apartemen Elina. Hany tidak tahu mengapa Reza ingin kesana. Padahal terakhir kali, apartemennya sudah kosong. Tinggal beberapa furniture yang ditutupi kain.
***
Baru mereka keluar dari lift, Hany melihat seseorang baru keluar dari apartemen Elina. Hany kira ia salah lihat. Tapi, ternyata benar. Reza juga melihatnya, orang itu berpostur tinggi kurus. Dari postur tubuhnya, mereka tidak tahu siapa dia. Wajahnya tidak terlihat karena ia memakai kupluk hodie dan menggunakan masker. Reza dan Hany bertatapan, seperti apa yang mereka pikrikan sama.
“WOY!” Reza berteriak
Orang itu menengok ke arah mereka, lalu berlari ke arah berlawanan. Ia menuju tangga darurat. Reza dan Hany segera mengejarnya. Sialnya, Reza dan Hany tidak bisa membuka pintu darurat itu. Seolah-olah terkunci dari dalam.
Reza frustasi, ia terus terusan menarik pegangan pintu yang ada disana.
“Kak, udah gak ada gunanya. Mending kita lewat lift aja," ucap Hany padahal ia tidak tahu ke lantai berapa orang itu akan pergi.
“AH t*i!” Reza menendang pintu sampai menimbulkan suara yang sangat keras sehingga membuat salah satu tentangga Elina keluar. Ia terlihat bingung dan tampak tergangggu dengan suara ribut mereka.
Hany merasa tidak enak hati, ia sedikit membungkuk dan meminta maaf.
“Ada apa dek?” tanya tetangga Elina sambil menghampiri mereka.
“Gapapa kak, maaf ya ganggu,” ucap Hany meminta maaf kembali
Reza yang masih emosi mencoba menenangkan diri. Wajahnya masih merah, urat urat lehernya terlihat jelas. Ia seperti orang kesetanan.
“Kalau bisa jangan berisik ya dek, takutnya orang orang disini keganggu.”
“Maaf ya kak, tadi saya habis lihat orang keluar dari kamar itu,” kata Reza sambil menunjuk kamar Elina
Wanita itu terdiam saat Reza menunjuk kamar Elina, seperti ia tersadar akan sesuatu.
“Oh... kalian orang yang selalu main ke sini tiap sore ya? Tapi kok wajahnya gak mirip ya, kemarin-kemarin kaya lebih pendek dan mudaan” ucapnya
Reza dan Hany kebingungan. Ketika Elina masih hidup, mereka tidak selalu datang kemari. Sesekali memang datang tapi tidak setiap sore seperti apa yang dikatakan wanita itu.
“Maksudnya kak?” tanya Hany
“Jadi setiap saya pulang kerja, saya selalu lihat Elina sama dua orang masuk ke kamarnya. Satunya cowok, satunya cewek ... by the way saya turut berduka cita atas kepergiaan teman kalian,” balasnya
Reza dan Hany bertambah bingung. Sudah jelas-jelas itu bukan mereka. Mereka saja tidak pernah bersama sama pergi ke apartemen Elina. Reza suka datang saat malam hari, sedangkan kedatangan Hany hanya bisa dihitung beberapa kali dan itupun jika hari Jumat atau Sabtu.
“Kak kalau boleh tahu ciri ciri orangnya kaya gimana?” tanya Hany mengorek informasi.
“Loh jadi itu bukan kalian? Hmmm ... seingat saya yang cewek lebih pendek dari kamu, rambutnya sebahu terus kalau yang cowok tingginya hampir sama, tapi badannya agak berisi sedikit dan kulitnya lebih hitam,” paparnya yang membuat pikiran Hany melayang kepada seseorang.
“Oh... itu temennya Elina yang satu lagi Kak” Hany berpura-puran agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sedangkan Reza masih kebingungan dengan orang yang dimaksud Hany. Setahunya, Elina tidak mempunyai teman lagi kecuali Hany.
“Makasih ya kak, kalau begitu kita pamit duluan. Maaf banget tadi berisik,” timpal Hany lalu berpamitan dan pergi. Reza mengekori Hany dan selalu bertanya siapa orang yang dimaksdunya. Tapi Hany hanya diam dan akan memberitahunya saat berada di mobil.
***
Reza menyetir sesuai arahan Hany, di tengah perjalanan ia sadar jika jalan ini menuju sekolahan Misel. Dulu, Reza pernah sekali mengantarkan Misel bersama Elina.
“Han, ini bukannya mau ke sekolahan Misel?” tanya Reza yang masih fokus menyetir
“Iya,” balas Hany
“Buat apa ke sekolahannya?”
Hany diam saja, ia khawatir dengan pemikirannya yang benar. Bahwa orang yang selalu datang sore-sore ke apartemen Elina adalah Misel dan Irsyad. Banyak teka-teki yang saling berkaitan di dalam kepala Hany.
“Jangan bilang orang yang lu maksud itu Misel? Terus cowoknya siapa?” tanya Reza yang masih tidak paham dengan jalan pikiran Hany
Pagar sekolahan Misel mulai terlihat. Hany memerintahkan berhenti sebelum pagar sekolahan. Dari tempat ini mereka masih bisa jelas melihat ke arah dalam sekolah.
“Kak! Itu Misel bukan si?” tanya Misel mengagetkan Reza. Ia menunjuk ke arah seorang gadis yang sedang duduk di dekat pos satpam.
Reza memajukan badannya, mencoba sidik untuk melihat gadis itu.
“Iya itu Misel, kenapa dia disitu?” Padahal sekarang masih jam sekolah, tapi Misel terlihat memakai tas dan duduk di sana seperti sedang menunggu seseorang. Sama seperti Reza, Hany juga di selimuti berbagai pertanyaan.
“EH! Lu mau kemana?” tanya Hany melihat Reza yang hendak keluar mobil
“Nyamperin Misel,” balas Reza dengan santai.
Hany memutar matanya, mengapa Reza begitu bodoh.
“Nanti dia curiga! Ngapain juga kita ada disini tiba-tiba,” ucap Hany sambil menarik baju Reza.
Ketika mereka ribut dan lepas pandangan dari Misel, di luar sana sudah ada seseorang yang datang dengan motor berplat F berhenti di depan pagar sekolahan Misel. Misel memberi suatu kertas ke seorang satpam di sana dan segera keluar dari sekolah. Kemudian berjalan pelan seolah olah terlihat sempoyongan dan pergi bersama orang itu.
Hany tahu jika orang yang menjemput Misel adalah Irsyad. Dengan cepat, Hany menyuruh Reza yang masih bingung dengan apa yang terjadi untuk mengejar motor Irsyad. Sepanjang perjalanan, Reza tidak sempat bertanya tentang rasa kebingungannya. Ia harus fokus ke depan melihat motor berplat F menyalip sana sini agar tidak kehilangan arahnya. Keduanya sangat penasaran dengan apa yang akan dilakukan Misel dan kemana mereka akan pergi.
Sampai di persimpangan jalan, motor Irsyad belok ke pom bensin. Dengan hati-hati ia mengikutinya dan menuju tempat pengisian khusus mobil. Tapi yang membuat mereka bingung adalah Irsyad tidak datang untuk mengisi bensin. Melainkan menumpang untuk ke kamar mandi. Misel masuk ke sana sambil mengenakan tasnya. Selang beberapa waktu, Misel keluar dengan pakaian bebasnya. Lalu kembali menaiki motor dan memeluk Irsyad.
Melihat pemandangan itu, kecurigaan Hany dan Reza bertambah. Reza tidak bisa menahannya lagi. Ia ingin segera pergi dan bertanya kepada Misel.
"LU MAU KEMANA?!" bentak Hany sambil menahan tangan Reza
"Lu lihat kan Han, Misel ganti baju dan pergi sama orang itu di saat jam sekoah. Ini semua gak benar!"
"Gue paham Kak, tapi gak gini. Mending sekarang kita cepet ngejar mereka!" ucap Hany dengan nada tinggi.
Untungnya Hany berhasil menahan Reza agar tidak gegabah. Dengan perasaan kesal, Reza mengikuti motor Irsyad kembali.
****