Pertemuan

1282 Kata
Keberadaan Gisel membuat suasana menjadi canggung. Reza mulai gelisah saat Gisel tiba-tiba datang dihadapannya. Ia tidak membayangkan bertemu dengan Gisel di saat seperti ini, ditambah terkahir kali hubungan mereka berdua sedang tidak baik-baik saja. “Gue ganggu ya?” tanya Gisel yang sapaannya tidak mendapat respon dari Reza. “Eh enggak kok, Lu kesini sama siapa?”tanya Reza mencoba senormal mungkin. “Sama teman, Gue boleh duduk di sini?” Reza menatap Hany yang memasang wajah bingung. “Gak boleh?” ucap Gisel tidak bisa menunggu. “Boleh kok,” balas Hany yang sebenarnya ia juga tidak tahu siapa Gisel. Ucapan Hany dibalas senyuman oleh Gisel. Ia duduk tepat di samping Hany. Hany hanya bisa membalas senyuman Gisel dengan canggung. Posisi ini sangat membuatnya tidak nyaman. “Sorry, Kita belum kenalan gue Gisel,” ucap Gisel menyodorkan tangannya “Hany,” balas Hany menyambut tangan Gisel “Kalian pacaran?” tanya Gisel memancing Reza. Reza yang tengah meminum teh manisnya tersedak karena pertanyaan asal Gisel. “Enggak, gue adek tingkatnya,” balas Hany “Oh kirain Reza sudah jadian lagi, padahal ‘kan pacarnya baru mening...” “Gisel! Lu gak mau balik ke teman-teman lu? Kayaknya mereka nungguin itu, ” ucap Reza memotong perkataan Gisel. Gisel melihat ke arah belakang untuk melihat teman-temannya. Ia memberikan kode kepada teman-temannya untuk menunggu sebentar. “Oke, aku duluan ya Reza, bye” Gisel tersenyum sinis kemudia pergi meninggalkan mereka berdua.Reza sedikit bernafa lega melihat Gisel pergi. Sekarang ia harus cari alibi untuk menutupi hubungannya dengan Gisel kepada Hany. “Tadi siapa?” tanya Hany penasaran. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Gisel, sepertinya Gisel bukan anak ekonomi seperti dirinya. “Teman.” Keringatnya sudah mengucur di dahi. Reza berharap Hany percaaya dengan kebohongan bodohnya. Hany menaikkan alisnya, jawaban itu sulit di perrcaya. Tingkah Reza terlalu mencurigakan. Namun ia tidak mau terlalu berspekulasi dan menyudahi pembicaraan tentang Gisel. Ia harus fokus kembali kepada Irsyad. “Oh, terus cerita tentang Irsyad gimana?” tanya Hany Sekarang Reza bisa bernafas lega karena Hany percaya dengan ucapannya. Ia juga tampak tidak terlalu memperdulikan Gisel. “Gue baru tahu Han kalau Irsyad itu anak kuliahan. Gue juga tahu tongkrongan dia dimana dan keliatannya Irsyad bukan anak baik baik,” balas Reza “Mana ada anak baik-baik ngajakin pacarnya bolos sekolah.” Hany emosi, sudah jelas ada yang salah dengan Irsyad. Ia sudah menduganya sejak pertama kali bertemu. “Besok kita ke rumah Misel lagi?” Hany mengangguk, tidak ada hari selain mengusut kematian Elina. Ia yakin semuanya akan membuahkan hasil. “Yaudah mending kita pulang sekarang biar lu bisa istirahat,” ucap Reza penuh perhatian. “Btw lu gapapa pulang sendiri naik motor?” tanya Reza yang khawatir. Padahal sekarang masih jam delapan kurang. “Gapapa, gue udah biasa kali.” Reza yang perhatian membuat Hany sedikit salah tingkah karena sudah lama tidak ada yang pernah mengkhwatirkannya seperti tadi.  Tapi ia buang jauh-jauh semua perasaan gila itu. Semua itu dilakukan Reza semata-mata ia adalah kakak tingkatnya dan seorang laki-laki yang khawatir dengan perempuan. Hanya sebatas itu saja. *** Hany memasukan motornya ke dalam rumah. Ia harus hati-hati memarkikan motornya di ruang tamu karena di sana ada adiknya yang paling kecil sedang tertidur. Rumahnya memang tidak terlalu kecil tapi untuk seukuran keluarga Hany yang terdiri dari kedua orang tua serta lima orang anak, menjadikan rumah ini terasa sempit. Ia berjalan pelan-pelan agar adiknya tidak terbangun dan masuk ke kamarnya. Merebahkan diri di kasur berukuran single yang dibalut seprai bewarna abu-abu. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Hari ini begitu melelahkan dan menguras emosi. Ia jadi teringat saat di mobil dan berpelukan dengan Reza. Rasanya aneh, jika ia menafsirkan perasaan itu sebagai perasaan senang, apakah di atas sana Elina akan marah kepadanya? Perhatian-perhatian kecil yang dilakukan oleh Reza membuat Hany teringat kejadian beberapa tahun lalu. ** Hari ini, hari kedua Hany masuk ke kampus. Matahari sudah menyinari para kepala mahasiswa baru yang sedang berada di lapangan. Hany hanya bisa melihat mereka dengan perasaan was-was karena ia telat bangun. Mahasiswa baru diwajibkan datang jam setengah lima subuh tapi Hany baru sampai pukul delapan pagi.  Mungkin hari ini ia akan mati. Hany tengah berjalan mendekati kakak tingkat yang memakai almet dan kedua tangannya di masukkan kedalam saku. Ia tahu itu adalah kakak komdis fakultas yang galak. Kemarin sebelum pulang, Kakak itu marah marah kepada mahasiwa baru karena  salah mengerjakan tugas. “Kamu telat?” tanya seorang perempuan dengan nada suara yang tinggi. “Iya kak, tadi macet,” balas Hany berusaha melihat mata kakak tingkatnya “Ya macet karena kamu datang kesiangan ‘kan! Memang gak baca peraturan harusnya datang jam berapa?” Hany terdiam, ingin dia mencolok mata orang yang ada di hadapannya karena terlalu melotot keluar. “Maaf Kak, saya salah,” ucap Hany sambil menunduk “Ya iyalah salah! Kamu anak ekonomi bukan?” "I—ya Kak”  “Woi Reza!” Setelah Hany menjawabnya, Ia memanggil nama yang tidak asing ditelinga Hany. Reza, nama kakak tingkat yang menjadi komisi disiplin di jurusannya. Ia begitu tegas tapi sangat baik dan yang lebih pentingnya lagi paras Reza yang manis membuat siapun betah melihatnya. Hany merasa ada orang yang berjalan di belakangnya dan ketika menengok di sana sudah ada Reza yang berjalan ke arahnya bersama seorang mahasiwa yang berpakaian sama dengan dirinya. “Kenapa?” tanya Reza yang baru saja sampai “Ini ada anak ekonomi lagi.” Hany menengok ke arah samping dan mata mereka bertemu. Ia langsung menegok ke arah lain, tepatnya ke belakang Reza dan mendapati teman seangkatannya yang memakai nametag bertuliskan Elina. “Ikut saya,” balas Reza yang diikuti oleh Hany dan Elina. Reza membawa mereka ke suatu tempat, mungkin tempat dimana anak-anak ekonomi di hukum. Dengan suara pelan Hany mencoba mengajak ngobrol Elina. Hany tidak asing dengan wajah Elina. Kemungkinan kemarin ia melihat Elina membela teman angkatannya yang sedang dimarahi oleh komdis. “Kenalin gue Hany,” lirh Hany “Elina,” balasnya sambil tersenyum kecil “Lu telat juga?” Elina hanya mengangguk pelan. Waktu itu, Hany berpikir Elina adalah tipe anak yang lembut dan anak rumahan. “Kenapa?” tanya Hany yang mencoba memperpanjang obrolannya agar mereka tidak canggung. “Lupa bangun,”balas Elina. Kemarin malam ia kelelahan dan paginya Ia tidak bisa mendengar suara alarm yang telah terpasang, ditambah baru kali ini Elina tinggal sendiri di kosannya. Sebelum Hany merespon, Reza langsung berbalik badan sehingga langkah Elina dan Hany ikut berhenti. Ia berhenti tepat di pintu darurat yang dapat digunakan untuk masuk ke ruang aula tempat mereka di ospek kemarin. Mereka berdua bingung, kenapa Reza membawanya kesini padahal mahasiswa baru lainnya masih di jemur di lapangan. “Hari ini saya maafin kalian berdua, kalian pergi ke tempat medis yang ada di samping aula kemarin. Bilang saja sakit. Nanti jam 9 baru gabung sama teman teman yang lain di aula, ” kata Reza yang sangat baik hati. Hany tersenyum senang mendengar kemurahan hati Reza, sedangkanELina malah bingung mengapa seorang komisi disiplin berbuat seperti ini. “Tapi Kak, kenapa kita gak di hukum kaya anak-anak yang lain? Bukannya ini gak adil?” tana Elina. Senyuman Hany pudar setelah mendengar pertanyaan Elina. Mengapa anak ini tidak menurut saja apa perkataan Reza. “Kamu mau dihukum? Saya lihat muka kamu pucet begitu,” balas Reza “Udahlah ikutin saja, bener kata Kak Reza muka lu pucet tahu,” bisik Hany “Yaudah sana ke medis,” ucap Reza “Iya kak, makasih kak,” balas Hany lalu menarik Elina agar berjala di sampingnya. Hany benar-benar kagum dengan Reza. Ia sangat baik dan perhatian kepada adik tingkatnya. Sejak hari itu, Hany mulai dekat dengan Elina dan diam-diam selalu memperhatikan Reza dari jauh. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN