Hany meneduh sebentar di pinggir pertokoan karena hujan tiba-tiba mengguyur dengan deras. Ia baru setengah jalan menuju rumahnya. Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik ia menerima tawaran Reza untuk naik mobil bersama dan motornya dititipkan saja di parkiran kampus.
Tatapan Hany kosong melihat kubangan yang tepat berada di depan matanya. Suatu tatapan tentang kehilangan harapan. Setelah pulang dari rumah Misel, Hany larut dalam pikirannya yang mengatakan semua ini sia-sia. Rasa sedih yang terlalu dalam membuat otaknya berpikir terlalu dalam. Mungkin bena, semua ini adalah kasus murni bunuh diri. Mungkin saja ponsel Elina memang hilang sebelum ia meninggal. Mungkin saja depresi Elina kambuh lagi dan tidak ada yang tahu tentang itu. Lalu, surat terakhir? mungkin Elina sengaja tidak membuatnya. Semua itu terngiang-ngiang dalam benak Hany.
TIN TIN!
Hany mendengar suara keramaian jalanan. Tapi ia tetap melamun dan tidak menggubris apapun.
“Dek ...”
“DEK!”
Hany tersadar, ada seorang ibu-ibu yang menepuk bahu kanannya. Orang itu meneduh juga tepat di sebelah Hany. “Iya maaf kenapa ya bu?”
“Itu dek ada yang manggil kamu dari tadi,” ucapnya sambil menunjuk ke depan.
Hany kaget melihat wajah Reza keluar dari jendela mobilnya. Ia tidak sadar sejak kapan Reza ada di sana. Apakah ia megikutinya?
Sedari tadi Reza sudah memanggil Hany, bahkan ia membunyikan klakson berulang kali. Tapi Hany diam saja seolah-olah tidak mendengar.
Hany menutupi kepalanya dengan tangan, lalu berlari untuk menghampiri Reza. “Ngapain?”
“Masuk mobil,” ucap Reza sambil membuka pintu.
“Motor gue gimana?”
“Sudah masuk dulu, nanti gue yang urus,” kata Reza yang sudar keluar dari mobil, lalu berjalan ke arah Hany dan mendorongnya agar masuk.
Akhirnya Hany menuruti perintah Reza. Ia duduk di sana dengan wajah bingung.
“Kunci motor lu mana?” tanya Reza melalui jendela
Hany memberikan kunci itu tanpa bertanya. Kemudian Reza pergi dan memarkirkan motornya dengan aman.
“Ini,” ucap Reza yang sudah duduk di sebelah Hany dan mengembalikan kunci motornya. Reza manancap gas untuk mengantarkan Hany pulang. Setelah pulang dari rumah Misel, Reza diam-diam mengikuti Hany. Ia takut Hany kenapa-napa karena wajahnya sudah pucat dan terlihat banyak pikiran.
“Ehh terus motor gue gimana?”
“Gue anterin lu pulang dulu, nanti gue anterin motor lu.”
Hany terbengong-bengong melihat Reza yang begitu peduli dan perhatian.
“Makasih Kak,” lirih Hany.
Reza melihat sekilas ke arah Hany. Rambutnya lepek karena kehujanan. Ia menunduk sambil memainkan jarinya.
“Han lu sedih ya?” tanya Reza. Kemudian dibalas gelengan kepala oleh Hany.
“Gapapa bilang saja. Gue juga sedih. Tapi kita gak boleh nyerah,” ucap Reza yang padahal logikanya juga menyuruhnya untuk menyudahi semua ini.
“Lu ngerasa gak si semua ini sia-sia?”
Reza terdiam. “Terus lu mau berhenti?”
“Bukan begitu gue cuman...”
“Hp-nya Elina belum ketemu, Diarynya juga. Kita gak boleh nyerah begitu saja. Elina pasti sedih ngelihat lu yang gak ada harapan,” balas Reza yang menggebu-gebu dan berhasil menusuk hati Hany.
Hany tidak merespon ucapan Reza. Ia membuang muka ke arah kiri jendelanya. Menatap pantulan wajahnya dari jendela. Wajah sedih dan tidak punya harapan. Tiba-tiba air matanya turun. Ia merasa menjadi pencundang karena menyerah dan lelah. Hany menguatkan hatinya, Elina sedang menunggu semuanya terungkap. Ia tidak boleh menyerah begitu saja.
***
Irsyad mengambil es krim di kulkas, lalu memakannya dengan khidmat. Ia senang karena hari ini rencananya berhasil.
“Ini makan, biar kepala kamu jadi dingin,” kata Irsyad sambil memberikan es krim rasa coklat kepada Misel yang tengah duduk lesu. Sejak Hany dan Reza pulang, Misel tidak berkutik sama sekali. Wajahnya penuh penyesalan tidak sumringah seperti Irsyad.
“Ini ambil Sel.” Irsyad menyodorkan es krim lagi hingga Misel sadar dengan ucapannya.
“Buat kamu saja, tenggorokan aku sakit,” balas Misel sambil memegang lehernya
“Yah ... kok sakit si? Gara-gara akting tadi?”
“Kamu keren Sel bisa ingat semua skrip yang sudah kita buat, ya walaupun tadi ada yang salah dikit,” timpal Irsyad kemudian memeluk Misel.
“Irsyad aku ngerasa buruk ngelakuin ini semua,” ucap Misel dalam dekapan. Irsyad mulai berapi-api setelah mendengar ucapan Misel, ia memegang kedua bahu Misel dan mendorongnya agar dapat melihat wajah Misel dengan jelas.
“Terus kamu mau ngaku apa yang sebenarnya terjadi?”
Misel terdiam menatap mata Irsyad yang tampak marah. Lagi-lagi ia harus menghadapi Irsyad yang sangat temperamen.
“Tadi saja kamu ketakutan begitu. Gimana kalau mereka denger cerita yang sebenarnya,” kata Irsyad yang masih mencengkram bahu Misel.
Misel tahu Irsyad tidak akan mengerti perasaanya. Irsyad tidak ingin di salahkan, lebih tepatnya ia tidak merasa salah akan semua perbuatannya. Tidak semua yang mereka ucapkan adalah kebohongan. Namun mereka tidak mengatakan semua hal yang telah terjadi.
“Kalau mereka tahu bagaimana? Pasti Kak Hany gak bakal maafin aku Syad,” ucap Misel yang berkaca-kaca.
“Hey hey dengerin aku Sel. Mereka gak akan curigain kita lagi. Kamu gak lihat mereka lagi hopeless?”
Misel sadar semua ucapannya membuat Hany dan Reza berubah seperti kehilangan harapan. Ia sedih jika Reza dan Hany akan memberhentikan penyelidikan mereka. Dalam hati kecilnya, Misel juga curiga jika Elina bukan bunuh diri.
“Syad kayanya kita harus ceritain semuanya. Siapa tahu dengan ini mereka bisa tahu siapa pembunuh sebenarnya.”
“BUAT APA SI SEL? KAKAK KAMU ITU BUNUH DIRI!” bentak Irsyad menyadarkan Misel. Ia benci jika Misel kembali pada imajinasinya.
“Inget itu Sel! Kak Elina mati bunuh diri! ” tegas Irsyad lagi dengan penekanan pada kalimat terakhir. Cengkramannya lebih kuat dari sebelumnya membuat Misel meneteskan air mata. Namun rasa sakit yang di rasakan Misel bukan karena bahunya dicengkram tapi perasaan di hatinya.
“KALAU KAK ELINA DIBUNUH, KENAPA ADA SURAT ITU DI DEPAN RUMAH?ATAU JANGAN-JANGAN KAMU TAHU SESUATU TAPI NYEMBUNYIIN ITU SEMUA?” Misel berteriak karena tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa tertekan yang diberi oleh Irsyad.
Plak!
Irsyad menampar Misel karena merasa tertuduh. Tamparan itu begitu keras sampai-sampai Misel terjatuh dari kursi. Ia memegangi pipinya yang sudah memerah. Walaupun sakit, Misel langsung berdiri bagaikan wanita tangguh. Ini memang bukan pertama kalinya sehingga ia sudah terbiasa dan merasa tidak apa-apa.
“Aku capek sama kamu! Aku mau cerita semuanya ke Kak Hany,” bentak Misel yang tidak mau merasa lemah lagi. Hany ingin menyudahi semuanya dibandingkan Irsyad ia lebih menyayangi Kakaknya.
Irsyad menarik lengan Hany menuju kamar. Ia ingin memberikan pelajaran kepada Misel karena telah berani kepadanya. Misel berteriak dan mecoba melepaskan cengkraman Irsyad. Tapi ia gagal, ia terus terseret hingga sampai dikamarnya.
DAG!
Misel tersungkur dan kepalanya membentur ranjang di kamarnya. Kepalanya terasa pening. Ia coba untuk berdiri tapi Irsyad mendorongnya hingga terjatuh dikasur. Lalu Irsyad mengunci kedua tangannya Misel hanya dengan memegangnya dengan satu tangan. Irsyad tidak peduli dengan memar di dahi Misel dan pipinya yang merah. Ia selalu begini jika Misel memberontak.
“Cepet minta maaf! ” bentak Irsyad dengan urat yang menonjol di wajahnya. Misel membuang muka ke arah samping. Jika sisi lain Irsyad keluar seperti ini, Misel menyesal telah jatuh cinta dengannya. Ia menyesal dulu tidak pernah mendengar dan memihak kepada Kakaknya. Misel rindu Elina yang selalu melindunginya.
****