Setelah memakan sepotong roti dengan selai kacang, Reza segera mengantarkan Elina ke kosan Gisel. Elina tidak menyangka Reza bisa hafal kosan Gisel tanpa dapat arahan sama sekali. Seolah-olah Reza sangat sering ke sini.Padahal jalannya cukup berkelelok-kelok dan sulit dilintasi walaupun dengan petunjuk google maps. Mungkin itu karena struktur otak laki-laki yang lebih mudah menghafal jalan.
“Eh Lin,” sapa Gisel saat membuka pintu.
Gisel melihat sekilas ke arah Reza. Mereka berdua sangat terasa canggung sekali.
“Ayok masuk Lin,” balas Gisel.
“Bentar ya sel. Za ayok aku anterin ke mobil kamu,” ucap Elina sebelum masuk ke kosan Gisel. Elina ingin mengantarkan Reza dulu ke mobilnya.
“Gak usah, udah masuk saja. Aku bisa kesana sendiri,” balas Reza sambil mengusap pelan pucuk rambut Elina. Gisel melihat itu tepat di hadapannya. Hatinya panas dan refleks tangannya mengepal. Tapi ia sembunyikan semua perasaan itu dengan senyuman. Ia berpura-pura senang melihat keromantisan yang terjadi.
“Aku pamit ya Lin, nanti kalau mau di jemput bilang saja,” ucap Reza yang dibalas anggukan oleh ELina.
“Sel gue pamit dulu ya.” Tidak lupa Reza berpamitan dengan Gisel. Gisel hanya diam kaku seperti patung. Ia terasa asing saat Reza menggunakan kata ‘gue’. Tapi mau bagaimana lagi, mereka tidak bisa menunjukkan apa yang sering mereka lakukan karena ada Elina.
Reza pergi berjalan menuju motonya sedangkan Elina dan Gisel masuk ke kosan.
Saat pertama kali Elina masuk, matanya menangkap sesuatu yang tidak asing di bawah bantal. Ia melihat jaket yang sangat persis dengan kepunyaan Reza. Ia mencoba mendekat untuk melihatnya lebih jelas. Tapi Gisel lebih cepat mengambil jaket itu dan melipatnya.
“Sorry berantakan, semalam itu teman gue ada yang nginep di sini,” ucap Gisel sambil memasukan jaket itu ke dalam Lemari. Jaket itu memang milik Reza. Ia lupa menyembunyikannya karena semalam Gisel tidur mengenakan jaket Reza dan barus saja beberapa menit lalu Gisel melepaskan jaekt itu lalu meletakkannya asal. Gerak-gerik Gisel sangat mencurigakan. Tapi ia harap Elina percaya dan tidak mengenali jaket Reza.
“Teman? Cowok?” tanya Elina sambil tersenyum usil.
Gisel merasa lega, mungkin Elina tidak sadar itu milik Reza.
“Bukan, cewek lah,” balas Gisel
“Bohong, coba lihat jaketnya orang modelnya kaya cowok,” ucap Elina sambil berusaha membuka lemari. Tapi sayangnya Gisel menghadang sehingga lemari itu tidak bisa dibuka.
“Ehhh...jangan dong. Iya deh gue ngaku, semalam ada cowok yang nginep di sini,” kata Gisel berdusta.
“Gila ih! Jangan begitu dong Sel,” kata Elina tidak suka. Elina tahu Gisel sangat kesepian dan dia adalah tipe orang yang tidak bisa sendiri. Ia mempunya daftar friends with benefit yang sangat banyak. Gisel selalu mengajak berbagai cowok untuk masuk. Elina takut Gisel kenapa-napa. Walaupun selama ini Gisel sealu mengajak laki-laki yang ia kenal baik dan tidak terjadi apa-apa
“Hehe maaf. Semalam gue kesepian banget,” kata Gisel
“Awas ya lu bawa cowok lagi! Gue laporin ke mak lu.”
“Curang, mainnya ngadu ngadu. Lagian lu sama kali kaya gue sering bawa cowok,”balas Gisel menyerang Elina balik.
“Tapikan Reza pacar gue,” kata Elina
“Sama saja jatuhnya nginep bareng cowok ‘kan.”
“Iya deh gue kalah. Lu bener.”
“Yeay hadiahnya apaan?”
“Ntar gue beliin pengaman rasa permen karet,” balas Elina yang memecah gelak tawa.
Elina dan Gisel tertawa bersama-sama. Mereka benar-benar terlihat sebagai sepasang sahabat.
Tiba-tiba ada suara panggilan dari ponsel Gisel. Suara itu menghentikan aktivitas tawa mereka.
“Siapa Sel?”
Gisel kaget melihat nama Reza di layar ponselnya. Apakah Reza sudah gila, menelepon Gisel di saat ada Elina.
“Teman, bentar ya gue angkat dulu,” ucap Gisel yang beranjak keluar kamar. Ternyata Reza menyuruhnya untuk keluar sebentar. Ia ingin Gisel menemuinya di depan gang kosan. Benar-benar sudah gila dan tidak ada takutnya.
Sementara Elina yang sedang menunggu Gisel mempunya firasat untuk mengecek jaket tadi. Bukan karena ia tidak percaya dengan Gisel. Tapi ia masih penasaran karena jaket itu sangat mirip dengan kepunyaan Reza.
Elina dengan hati-hati mengintip Gisel dari balik jendela dan dia tidak menemukan Gisel di sana.
“Loh kok gak ada si,” ucap Elina dalam hati.
Melihat Gisel yang pergi, Ia jadi berani untuk membuka lemari Gisel. Baru saja dibuka, ada sesuatu yang jatuh tepat di kakinya. Jaket berwarna abu-abu dengan model kupluk dibelakangannya. Elina mengambil jaket itu, aroma jaket itu tidak asing dihidungnya. Ia perhatikan baik baik tiap inci jaket yang ada di genggamannya dan memang benar itu adalah jaket milik Reza.
Hatinya tiba-tiba terasa tertusuk. Mengapa jaket Reza ada disini? Apa karena sewaktu mengantarkan Gisel ke rumah sakit, Reza meminjamkan jaketnya atau jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua. Semua itu terus berputar-putar di kepala Elina. Elina mengembalikan jaket itu ke dalam lemari. Lalu hatinya membawa ia berlari ke depan gan untuk mencari Gisel. Ia punya firasat buruk tentang ini.
Sesampainya di depan gang, ia melihat mobil Reza terparkir di sana. Ia tidak bisa melihat apakah Reza ada di dalam karena kaca filmnya terlalu tebal. Elina berjalan mendekati mobil itu. Tapi langkahnya berhenti. Ia takut jika Gisel ada di dalam juga. Elina memilih mundur kembali dan bersembunyi. Tak lama kemudian Gisel keluar dari mobil Reza sambil membawa sesuatu di genggamannya. Elina ingin menangis, apa yang mereka lakukan?. Harusnya Elina berani melabrak dan menanyakannya langsung kepada Gisel. Tapi nyalinya terlalu ciut. Dengan secepat kilat, Elina berlari menuju kosan Gisel dan bertingkah seolah tidak ada apa-apa.
***
Siang ini, Elina pergi sendirian naik transjakarta tanpa tujuan. Ia hanya ingin duduk sambil melihat Jakarta yang padat. Kadang ia selalu penasaran dengan nasib orang lain yang sedang menunggu lampu merah. Apakah dia sedang ada masalah? Apakah dia bahagia? Apakah orang yang berpelukan di atas motor saling mencitai? Mau kemana mereka? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya.
Ponsel Elina terus berdering. Hany dan Reza mecarinya karena jam satu akan ada kuliah. Elina bukan anak yang mudah membolos. Namun semua masalah yang sedang dihadapinya sekarang membuat Elina ingin berlari hingga kakinya terasa ingin putus. Ia tidak habis pikir jika Reza selingkuh dengan Gisel.
Setelah keliling Jakarta, pukul delapan malam Elina pulang ke kosannya. Ternyata di depan kosannya sudah ada Reza. Elina melihat Reza ada di sana tapi ia malah melirik sekilas dan tetap melangkah untuk membuka pagar kosannya.
“Elina!” panggil Reza.
Elina menegok dan Reza sudah berdiri dihadapannya.
“Kamu kenapa sih? Sian tadi tiba-tiba ngilang, terus sekarang malah ngehindarin aku?”
Elina menatap mata Reza yang terlihat tulus. Ia ingin sekali menyakan segala yang ia lihat tadi siang untuk mendapat klarifikasi. Tapi ia begitu takut.
“Lin,” lirih Reza sambil menggengam tangan Elina.
“Maaf Za suasana hati aku lagi gak baik,” balas Elina
“Aku tahu Lin, tapi kenapa?ada masalah apa lagi?”
Elina membuang muka, ia tidak bisa berbohong jika tatapan yang diberikan Reza sangatlah tulus.
“Gak ada apa-apa kok. Biasalah lagi fasenya,” kata Elina berdusta.
Reza mempercayai perkataan Elina. Ia tahu Elina terkena depresi mayor sejak lama dan mungkin saja Elina sedang kambuh.
“Oke kalau kamu sedih dan butuh waktu sendirian, aku paham Lin. Tapi jangan diemin aku,” balas Reza.
“Maaf ya Za,” ucap Elina.
Reza menghela nafas panjang. Ia tidak tega melihat Elina seperti ini. Ia membawa Elina dalam pelukannya. Setidaknya pelukan ini bisa menenangkah hati Elina.
“Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita ke aku Lin. Aku bakal bantu kamu.”
Elina hanya bisa tersenyum sinis di dalam dekapan Reza. Semua ini juga karena ulah Reza. Semua orang akan pergi satu persatu dari kehidupannya. Elina menyesal telah berpikir Reza adalah rumah dan anugrah.
****