New

1103 Kata
Elina mengenakan jaketnya agar tidak terkena angin malam. Sekarang jam sembilan malam dan ia berniat pergi ke kosan Reza tanpa bilang.  Ketidakpercayaan di hatinya sudah terlalu menggebu-gebu. Kurang dari sepuluh menit, ia sampai di depan kosan dengan berjalan kaki. Elina langsung menaiki anak tangga dan di balkon ia bertemu dengan beberapa anak kosan yang wajahnya cukup familiar. Ia hanya tersenyum sekilas dan pergi mengetuk pintu kosan Reza. Namun, tidak ada balasan dari dalam. Elina mencoba memegang knop pintu dan membukannya. Tapi kosannya dikunci. Pikirannya mulai kemana-mana. Ia heran, padahal sewaktu mereka bertemu Reza pamit untuk pulang ke kosan. Apakah Reza pergi dan berbohong kepadanya?. “Cari Reza ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri Elina. Ia adalah lelaki yang sempat Elina lihat di balkon. “Iya, Rezanya pergi ya?” “Tadi gue lihat dia pergi habis magrib,” ucapnya Elina mengeluarkan ponselnya, Ia menelepon Reza untuk menanyakan dia dimana. Tidak terduga, Reza mengangkat telponnya dengan cepat. [Hallo Elina] Suara Reza diujung sana “Kamu dimana Za?” [Di kosan, kenapa? Kamu mau aku ke kosan kamu?] Reza berbohong tapi Elina tidak mengatakan semuanya. Biarlah ia tahu Reza akan berbohong lagi atau tidak. “Dikosan?” [Iya] “Oh yaudah aku tutup ya telponnya,” ucap Elina tidak ingin bertanya lebih lanjut Reza ada dimana. Lebih baik ia mencari tahu sendiri. [Loh kok ditutup? Kamu kenapa telpon?] “Gapapa Za, aku cuman mau tanya kamu lagi dimana doang kok.” Reza mempercayai ucapan Elina. Ia tidak curiga sedikit pun. Setelah itu, Elina menutup telponnya. Raut sedih dan kecewa terpancar di wajahnya. “Lu gapapa?” tanya lelaki itu yang masih ada di samping Elina. Walaupun telponnya tidak dispeaker tapi suara Reza dapat terdengar cukup jelas. “Gapapa. Makasih ya gue permisi dulu,” balas Elina sambil tersenyum. “Eh...” Lelaki itu menahan Elina agar tidak pergi. Elina menengok ke arah laki-laki itu, mengangkat alisnya menunggu lelaki itu berbicara. “Nama lu siapa?” tanyanya “Elina,” balas Elina. Aneh sekali dia menanyakan namanya. “Gue Jeno,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Elina menyambutnya dengan canggung. “Gue pergi dulu ya,” kata Elina lalu hendak pergi meninggalkan Jeno. “Mau kemana? Mau gue anterin?” Elina merasa risih mendengar penawaran baik Jeno. Masalahnya mereka baru tahu nama satu sama lain. “Gak usah, gue bisa naik jalan kaki kok,” ucap Elina. “Tapikan ini sudah malam,” balas Jeno merasa khawatir. “Gapapa, sudah biasa kok. Bye Jeno.” Tanpa berpikir panjang Elina pergi meninggalkan Jeno. Elina akan pergi menuju kosan Gisel. Ia ingin mengecek apakah Reza ada disana atau tidak. *** Perlahan tapi pasti, Elina jalan mendekati kosan Gisel. Kosan Gisel berada paling pojok lorong. Hatinya gundah dan dipenuhi rasa khawatir. Baru juga ia sampai, Elina sudah melihat sepasang sandal yang tak asing baginya. Itu sandal Reza. Ia hafaf betul itu sandal Reza dan tidak mungkin salah. Ia benar-benar kecewa. Dugaannya benar, mereka mengkhinati Elina dari belakang. Elina menghela nafas, tangannya sudah bersiap untuk mengetuk pintu. Segala yang ada dibalik pintu sudah terbayang dipikiran Elina. Ia tidak sanggup melihatnya langsung.  Tapi ini adalah salah satu cara untuk menyudahi rasa sakitnya sekarang. “Ayok Lin, lu kuat lu bisa.” Elina bermonolog. Elina menarik nafasnya panjang. Ia menghitung dalam hati. Elina mengetuk pintu itu dengan sekuat tenaga. TOK TOK Reza dan Gisel yang sedang tertawa di dalam berhenti sejenak karena mendengar suara pintu itu. Reza membuka pintu dan tidak ada siapapun di sana. “Siapa Za?” tanya Gisel. Reza masih menengok ke kanan dan kiri. “Siapa si Za?” tanya Gisel yang sudah berdiri di samping Reza. “Orang iseng kali ya,” balas Reza sambil menutup pintu. Mereka kembali duduk di pinggir kasur. “Mungkin,” ucap Gisel. “Atau jangan-jangan ... itu ibu kosan kamu?” Reza mulai gelisah. Jika benar maka mereka dalam bahaya. “Gak mungkinlah, dia gak pernah kesini kok. Lagian rumahnya itu jaug Za,” balas Gisel. Mereka mulai melupakan siapa yang mengetuk pintu. Elina jalan menuju kosannya dengan air mata yang mengalir deras dipipi. Ia melihat Reza keluar dari kosan Gisel.  Ia benci semua orang. Ia tidak suka semua masalah ini menimpanya beruntun. Mulai dari Martika, Misel dan Reza. Semuanya pergi dan membuatnya sedih. *** Keesokan harinya, mata Elina menghitam seperti panda karena habis menangis semalaman. Ia cek ponsel dan ternyata Reza sudah memberinya banyak pesan. Ia bilang jam delapan akan menjemputnya. Di sana juga ada pesan dari Gisel yang mengajaknya makan nanti sore. Elina tersenyum miris melihat semua pesan itu. Walaupun demikian Elina tetap mebalas mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Perbuatan jahat itu lebih indah jika dibalas oleh kejahatan dalam kebaikan. Elina menurunkan kakinya untuk pergi ke kamar mandi. Namun baru ia menapakkan kakinya, rasa mual tiba-tiba muncul. Perutnya seperti sedang dikocok dan ingin mengeluarkan semua yang ada didalam. Ia berlari menuju kamar mandi. Ia muntah tapi tidak mengeluarkan apapun. Mungkin Elina masuk angin karena semalam. *** “Hai Lin,” ucap Jeno yang duduk di sebelah Elina. Elina yang tadinya fokus membaca buku menengok ke samping kanan dan mendapati Jeno yang mengenakan jaket hitam sedang meletakkan tasnya. “Eh Jen, kok lu ada disini?” tanya Elina bingung. Dari gaya Jeno, ia bukan tipe mahasiswa yang menghabiskan waktu di perpustakaan. “Memang gak boleh?” Elina hanya tersenyum. “Boleh lah, cuman kaget saja ketemu lu disini.” “Kaget ketemu cowok ganteng di perpustakaan ya?” Elina terkekeh, mengapa dia begitu percaya diri. Walaupun apa yang dikatannya memang benar. Wajahnya bahkan lebih tampan dibandingkan Reza. “Lu sudah makan Lin?” tanya Jeno. “Sudah kok,” balas Elina berdusta. Sejak pagi ia belum makan apapun karena ia sangat mual jika memasukkan sesuatu kedalam mulutnya. “Seriusan? Tapi muka lu pucet banget,” balas Jeno perhatian. “Sudah kok. Muka gue memang gini Jen.” Elina kembali membaca, ia mencoba menyembunyikan wajah pucatnya. Tapi Jeno malah menunduk sehingga membuat Elina sedikit risih. “Masa si? semalam kayanya cakep deh,” goda Jeno. Mendengar celotehannya membuat mood Elina sedikit naik. “Apaan si Jen.” Mereka saling melempar senyum. Tapi tiba-tiba Elina menutup rapat mulutnya. Ia kembali merasakan mual. “Lin lu gapapa?” Jeno merasa ada yang salah. “Gue ... ” Elina merasakan kembali perutnya yang mual. Ia menutupi mulutnya. Ia bingung mengapa mual itu muncul lagi. Padahal sudah 4 obat yang ia minum. “Lin lu sakit?” “Jen gue gapapa kok. Gue mau ke kamar mandi dulu ya,” balas Elina lalu pergi. Diam-diam Jeno mengikutinya. Ia memang baru kenal dengan Elina. Tapi Jeno merasa tertarik dengan Elina dan merasa iba dengannya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN