Find

1214 Kata
Jam setengah tiga sore, Elina telah memantau Misel dari warung sebelah sekolahnya. Pada murid telah berhamburan keluar sedari tadi. Tapi ia belum menemukan Misel. Elina membuka matanya lebar-lebar dan fokus melihat satu persatu murid yang keluar. Tak disangka beberapa menit kemudian Misel keluar dan mendekati motor berplat F. Orang itu  tidak memakai jaket ojek online. Elina bertanya di dalam hatinya. Dari postur badannya Elina tidak mengenali orang itu. Dengan cepat Elina pergi ke pangkalan ojek yang berada tepat di sebelah warung dan mengikuti Misel. Misel tampak duduk sangat maju kedepan dan memeluk laki-laki itu. Elina berharap cemas mengikuti adiknya yang ntah akan pergi kemana. Pikiran positifnya sudah habis melihat mereka berdua yang sangat mesra selama perjalanan. “Mba ini mau kemana ya? Kok jalannya lurus terus kaya mau ke depok?” tanya tukang ojek yang sejak dari tadi fokus kepada motor di depannya. Laju motornya sudah ia perlambat dan punggung Misel tampak makin menjauh. Elina juga kebingungan, tinggal belok kanan maka mereka akan melintasi jalan menuju Depok. “Mas bisa puter balik saja gak ya? saya mau turun di PGC saja,” balas Elina. Ia terpaksa menyudahi semuanya karena kasihan dengan ojek yang ia tumpangi. Ucapan Elina membuat tukang ojek itu segera berhenti dan memutar jalan. Selama perjalanan, Elina sangat gugup dan takut. Ia coba memberi pesan kepada Misel tapi hanya meninggalkan ceklis satu. Ucapan Martika makin terasa benar. Mungkin memang Misel telah berpacaran dan itu semua membuatnya berubah menjadi pembohong. *** Elina tidak mendapatkan apapun dari hasil penelusurannya selama tiga jam. Hanya foto Misel dan lelaki miseterius itu yang ia dapat. Sekarang, Elina sedang termenung di kamarnya. Semua yang ia lihat tadi selalu berputar di kepala. Lalu ia berjalan ke kamar Misel. Tiba -tiba ide untuk menyisir kamar Misel muncul. Ia harus menemukan sesuatu yang bisa menjadi bukti agar Misel tidak bisa mengelak lagi. Pertama Elina mendekati meja belajar Misel. Ia membuka satu persatu laci yang ada di sana. Tapi tidak ada hal penting yang ia dapatkan. Kemudian Elina mendekati lemari dan mengeluarkan baju-baju Misel. Anehnya, ia banyak menemukan baju-baju yang tidak  pernah dilihat. Mungkin itu semua adalah hasil kebohongan Misel untuk membayar les. TAK! Sebuh buku berukuran A5 terjatuh dari sana. Itu adalah buku diary Misel. Ia tidak tahu bahwa Misel juga suka menulis diary sama seperti dirinya. Baru lembar pertama, ternyata Misel menulis tentang. Tulisan itu dibuat delapan bulan lalu. Bulan dimana Elina sebagai mahasiswa semester lima yang sedang sibuk-sibuknya kuliah. Isinya tentang kemarahan dan kekecewaan Misel. Dia selalu pergi dan hidup nyaman di sana. Aku benci Kak Elina. Penutup surat itu membuat hati Elina sakit. Badan Elina seketika dingin dan kepalanya pusing. Psikomatik menyerang tubuhnya. Elina segera merapihkan baju-baju Misel dan masuk ke dalam kamar. Ia mengeluarka buku diary yang selalu dibawa kemana-mana untuk menumpahkan segala yang ia rasa. Ini adalah bagian terapi untuk kesehatan mentalnya. Tiba-tiba terdengar suara pagar rumah yang terbuka. Elina kira itu adalah Misel. Ternyata Martika datang bersama Rio. *** “Ma,” panggil Elina saat masuk ke dalam kamar Martika. Di sana Martika sedang berbaring sambil memainkan ponselnya. “Kenapa si Lin? Mama baru aja pulang, capek”. Suara Martika sedikit meninggi. “Aku mau ngomong sebentar,” balas Elina menghampiri Martika. “Ma, sejak kapan Misel pacaran?” Balas Martika tanpa melihat ke arah Elina. Ia masih sibuk dengan ponselnya yang ntah sedang berbuat apa. “Udah lama, orang Misel sering kabur dari rumah,” balas Martika dengan mudahnya. Elina tentu terkejut dengan hal ini. Misel tidak pernah bilang apapun atau pergi ke kosannya. Lebih herannya lagi, Martika tampak tidak peduli. “Kabur sama pacarnya?” Martika hanya mengangguk. “Terus mama gak pernah larang? Kenapa mama diam saja?” Martika tidak merespon, ia malah tertawa melihat layar ponselnya. Elina sudah biasa di perlakukan demikian. “Ma!” bentak Elina sambil merebut ponsel Martika. Ia tahu ini tidak sopan. Tapi cara ini cara paling efektif agar Martika memberinya perhatian sebentar saja. “KAMU APA-APAAN SI!” bentak Martika yang jengkel karena ponselnya direbut. “Dengerin Elina dulu makanya,” ucap Elina menahan emosi. “Apa si? kamu mau tahu apa tentang adik kamu?” “Ma! Misel itu anak mama. Kenapa mama gak peduliin Misel?Kenapa mama cuman peduli sama orang-orang yang mama temuin di hp mama?!” “Gak usah melebar Elina! Kamu cuman mau tahu tentang Misel ‘kan?” Martika selalu mengelak kesalahannya. Ia tidak suka jika Elina membawa teman-teman onlinenya yang membuat Martika berubah. “Misel itu pacaran sudah lama semenjak kamu gak penah pulang ke rumah. Udahlah ... kamu ngertiin saja dia. Dia itu kesepian. Lagian kamu egois banget.” Elina terbelalak mendengar Martika yang menyebut dirinya egois. Selama ini Martika lah yang egois. Elina tidak pernah pulang ke rumah karena ia sibuk kuliah dan bekerja. Uangnya juga untuk memenuhi kebutuhan Misel dan membatu Martika membayar hutang. Elina tidak mau meledak-ledak, ia memilih pergi meninggalkan Martika sendiri. Hari ini belum selesai, tapi Elina yang sudah selesai. Ia lelah. *** Rasanya untuk berjalan saja tidak bisa. Elina benar-benar sakit dibohongi oleh adiknya sendiri. Selama ini. Misel menjadi orang utama alasan ia bertahan dari depresinya. Ketika lemah dan lelah, Elina selalu mengingat Misel agar bangkit. Tapi hari ini, semua itu diruntuhkan begitu saja. Elina sudah berada di depan pintu kosan Reza. Ia sangat butuh pelukan dan senderan sekarang. TOK TOK! Tak lama pintu terbuka, di sana ada Reza yang mengenakan kaos panjang berwarna abu-abu. Elina menatap Reza dengan berkaca-kaca. Elina ingin menangis tapi ia tahan. “Kamu kenapa?” tanya Reza meras ada yang salah dari Elina. Namun pertanyaan teritorikal in tentu tidak akan dijawab dengan benar oleh Elina. “Gapapa capek saja tadi berdiri di Tj,” balas Elina sambil tersenyum. Reza mengelus rambut Elina dengan lembut, kemudian ia menggenggam tangan Elina untuk mengajaknya masuk. Kemudian mereka duduk di pinggir kasur. “Kamu sudah makan?” tanya Reza yang di balas anggukan oleh Elina. “Seriusan?” tanya Reza tak percaya. Ia sudah paham dengan kebiasaan pacarnya yang selalu malas untuk makan. “Iya sudah kok,” balas Elina Tiba-tiba Reza menempelkan telinganya ke perut Elina seperti seorang suami yang mengecek keadaan bayi istrinya. Elina mundur kebelakang karena terkejut dengan tingkah Reza. “Keroncongan tahu,” ucap Reza sambil memperlihatkan gigi gigi nya. “Ihhh Reza, gak begitu juga dong” Elina memukul pelan Reza. “Ayok keluar yuk kita cari makan.” “Malas Za,” balas Elina dengan manja “Ayok ah. Nanti sakit Lin,” balas Reza yang sudah berdiri dan menarik tangan Elina agar ia bangkit juga. “Gak mau aku capek Za.” Reza melepas genggamannya. “Yaudah kita pesan online saja ya. kamu mau apa? Nanti aku yang beliin.” Elina menggeleng cepat lalu merebahkam diri di kasur milik Reza. Ia benar-benar tidak nafsu makan. “Kok kamu malah tiduran si?” tanya Reza yang duduk di samping Elina. Elina tidak merespon ucapan Reza. Kemudian Reza ikut tidur di samping Elina dan memeluknya dari belakang. “Kalau ada apa-apa cerita dong, jangan diem gini,” bisik Reza tepat di telinga Elina Elina berbalik badan sehingga mata mereka bertemu. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya membalas pelukan Reza dan masuk dalam dekapan. Saat ini yang ia butuhkan hanya pelukan nyaman. Ia harap Reza adalah orang yang tidak akan mengecewakannya seperti Misel dan Martika. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN