Baru saja Grace diantar oleh Marsha dengan mobil yang dikemudikan oleh seorang sopir sampai depan rumah, Edward tiba-tiba sudah ada di depannya tanpa menggunakan mobil atau memang sengaja disembunyikan oleh Edward di seberang sana.
“Kenapa ke sini? Jawabannya masih besok kan?” tanya Grace dengan santainya. Tapi berbeda dengan raut muka seorang Edward Thomas yang mengerutkan kening tipis dan menatap gadis ini dengan tajam.
“Kenapa masih kerja?” tanya Edward to the point.
Grace terkejut. Namun, dengan cepat Grace kembali menetralkan raut wajahnya agar tak terlihat seolah dia tengah ketakutan.
“Kau ngomong apa? Aku tidak sedang bekerja.”
“Memangnya kau pikir aku bodoh?!” sindir Edward. “Aku lebih pintar darimu.”
Menghela napas. Grace masih tak berani menatap ke arah Edward lama-lama. Biasanya degup jantungnya tak akan bisa ia kendalikan.
“Jika begitu, kau bahkan tahu jawabannya.”
“Untuk panti ini? Kau tenang saja. Setelah kau bekerja denganku, Thomas yang akan menanggung semua biaya sekolah maupun biaya rumah tangga panti ini setiap bulannya. Itu beda bukan uang gajimu.”
Grace kaget bukan main. Apa katanya? Menjadi beban Thomas family? Grace memang membutuhkan uang namun tidak sampai ia menjadikan Thomas sebagai orang satu-satunya yang menjadi donatur panti ini.
“Aku bisa bekerja. Aku bisa menghidupi panti ini dan aku ... tidak butuh semuanya dari keluargamu.”
Edward terkekeh. “Well, aku suka caramu. Tapi, menjadi donatur itu untuk umum kan? Jadi aku mau, terserah aku. Mau kau terima apa tidak, itu urusanmu. Yang penting adalah aku akan tetap menjadi satu-satunya donatur terbesar di panti ini.”
Grace merengut kesal. Baru kenal, bersikap lembut di awal, nyatanya dia menyebalkan dan menjadi seseorang yang begitu pemaksa. Ah, kesal sekali dia melihat wajag Edward ini yang begitu sombong dan angkuh ini.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut seorang Grace. Gadis itu langsung pergi dan masuk ke dalam rumah lewati pagar lalu menguncinya.
Edward yang menyadari itu, langsung berteriak namun sayangnya Grace sudah buru-buru tutup pintu pagar dan masuk ke dalam rumah.
Ah, s**l.
•••
“Kau kapan bertemu dengan Edward?” tanya Marsha ketika mereka sudah selesai kelas dan pergi ke kantin untuk makan.
“Semalam.”
“Ha? Apa? Semalam? Bukannya kau semalam bersamaku?” tanya Marsha sedikit terkejut. Sebenarnya tidak begitu kaget jika ada Edward di panti asuhan itu karena Edward akan selalu ada di mana-mana karena mata-matanya benar-benar tersebar di mana-mana. Meskipun Grace tak menyukai ini, tapi memang kalau Edward ingin ini pasti sudah terjadi dan tak ada larangan akan hal itu.
“Iya, semalam pas kamu antar aku pulang, dia tiba-tiba datang dan terjadilah.”
Mendengus. Memang benar jika Grace sangat malas dengan adanya Edward di hidupnya.
Tapi, tidak dengan apa yang dia tanyakan selalu di jawab ‘begitulah’ atau ‘terjadilah’ dan tidak menjawab dengan lugas dan jelas.
“Dia bicara apa saja?” tanya Marsha mulai kepo.
“Kenapa jadi kepo? Tumben tidak tanya soal Pak Kevin.”
“Hm, tidak. Karena aku sudah merencanakan sesuatu sendiri. Jadi, aku tidak akan butuh bantuanmu lagi.”
“Benarkah?” tanya Grace tak percaya. “Tumben sekali.”
“Iya, aku tahu masalahmu lebih banyak dari aku, makanya aku berinisiatif untuk tidak mengganggumu hingga masalahmu kelar dan beres.”
Grace tercengang. Ternyata temannya ini sudah mulai dewasa ya. Namun, ini bagus dan lebih baik. Daripada dia harus mengekori dan selalu menyetujui apa yang sebenarnya Grace tidak suka.
“Nanti sore aku tidak masuk kerja.”
“Kenapa?” tanya Marsha. “Nanti sore ketemuannya?”
Grace mengangguk. “Iya, walaupun ibu belum tahu.”
Marsha paham alasan Grace tidak terlalui suka dengan Edward adalah kepribadian dan kekuasaan Edward yang melebihi ekspektasinya. Dia memang suka banyak orang yang suka, tapi bukan dengan anak CEO dan di sukai orang banyak. Dia juga tidak mau karena bagaimanapun juga, dia mau suaminya nanti hanya bisa ia cintai dan tak dicintai oleh orang lain.
Sekali seumur hidup. Ya, dia masih memegang janji itu. Dia ingin menikah ketika dia sudah siap bukan saat dia ingin.
“Grace, sepertinya aku ada ide.”
“Ide apa?” tanya Grace.
Setelah memesan makanan, mereka mencari tempat duduk yang benar-benar strategis yang bisa mereka tempatkan dan aman dan sekiranya tak bisa orang-orang dengar.
“Kau katanya mau kerja di kantor Thomas kan?” tanya Marsha berbisik memastikan. “Jadi...”
“Apa?” tanya gadis itu lagi. “Jangan sampai idemu kali ini tidak masuk akal dan malah menambah masalah baru.”
“Aku yakin kali ini tidak.”
“Ya sudah apa?” tanya Grace mulai serius.
“Aku kemarin sudah izin pada ayah diam-diam.”
“Soal apa?” tanya Grace. “Jangan bilang soal aku dan Edward.”
Marsha menggeleng. “Ini sama sekali bukan soal kalian.”
“Lalu apa?” tanya Grace.
“Bagaimana jika aku saja yang menggantikan posisimu sebagai waiters di restoran itu? Ayah sudah setuju.”
•••
“Mas, sudah pulang?” tanya Diva saat melihat suaminya pulang dari tempat kerjanya dan baru saja masuk ke dalam rumah namun tidak sendirian. Ya, suaminya datang bersama seseorang.
Reno—suami Diva kakak dari Grace mengangguk. Ya, dia saat ini tengah bersama seorang gadis yang mungkin usianya di atas Grace beberapa tahun bahkan mungkin sebaya dengan Diva.
“Ini Amanda. Dia adalah sepupuku. Kebetulan dia baru saja pulang dari sekolahnya.”
“Oh masih sekolah?” tanya Diva dengan tatapan lembut dan senyuman tipisnya.
“Iya, masih ambil sarjana kedua di luar negeri.”
“Ah, ya. Dia juga kenal sama Edward Thomas. Siapa tahu, kau mau tanya-tanya banyak tentang lelaki itu pada Amanda. Boleh kan dek?” tanya Reno pada Amanda yang dibalas dengan anggukan oleh Amanda.
“Boleh. Tapi sayangnya, aku belum bertemu dengan dia.”
“Tapi, sudah berapa lama kenal dengan Edward?” tanya Diva langsung.
Amanda menatap ke arah Diva. Dalam hati, Amanda pasti terheran-heran kenapa sepertinya menggebu sekali bertanya dan ingin tahu siapa Edward sebenarnya.
“Kami berteman sejak SMA. Kenapa kakak bisa kenal dengan Edward? Setahuku, Edward tidak pernah merendahkan posisinya dan menyamakan kedudukan dia dengan orang yang menurutnya tak selevel. Dia orangnya begitu tinggi tapi dia juga baik. Super tampan dan dia memang tipe-tipe wanita jaman sekarang.”
“Termasuk kamu?” tanya Diva basa-basi.
“Iya.” Sayangnya, Amanda hanya menjawabnya dalam hati. Ia tidak mau, perasaannya pada Edward diketahui oleh orang lain selain dirinya sendiri.
Reno akhirnya berpamitan untuk mandi dan Diva pamit untuk menyiapkan makanan. Amanda masih menetap di rumah sepupunya itu. Ya, Amanda tidak mau pulang ah bukan memang ditahan lebih dulu karena Reno begitu merindukan adik sepupunya ini. Amanda memang hanya sebatas sepupu tapi Amanda adalah orang terdekat Reno saat itu dan bahkan masih saat ini sebelum kehadiran Diva.
“Mas, Amanda itu... Baik ya?”
•••
TBC