Warning 21+
"Ma, kayaknya aku bakalan pergi ke kantor sekarang," ujar Bian.
Bian dan Widya telah tiba di apartemen dengan barang belanjaan yang lumayan banyak, hingga Bian membantu Widya untuk membawanya.
"Loh? Sarapan dulu saja, baru berangkat ke kantor," jawab Suci.
"Nanti saja, takutnya telat," jawab Bian. Dia buru-buru ke dalam kamar untuk mengambil tas kerjanya.
"Bukannya Kak Bian itu BOS ya Tante? Kok bisa takut telat gitu, lagian tidak ada yang berani memecatnya," ujar Widya dengan polos.
Suci terkekeh geli, membenarkan dalam hati ucapan Widya yang sangat polos. "Biarkan saja, lebih baik kau ikut juga." Suci menyodorkan dua kotak makan kepada Widya. "Ini untuk kalian, dijaga ya Biannya," pinta Suci.
"Emang bisa Tante? Kak Bian sepertinya tak memperbolehkan," ujar Widya.
"Itu urusan Tante, intinya dimanapun dan apapun keadaannya Bain tolong jaga dia ya, Nak. Bian satu-satunya anggota keluarga Tante." Suci tersenyum syarat akan kegetiran di dalam hati.
"Baik, Tante. Lebih baik aku mengganti pakaian terlebih dahulu," ujar Widya.
Tak lama kemudian, secara kebetulan Widya dan Bian keluar bersamaan. "Loh? Widya mau kemana? Samaan saja denganku," ajak Bian.
"Em i-itu Widya mau ke ---" Suci sangat gemas dengan tingkah laku Widya, akhirnya dia pun menyela pembicaraan. "Widya ikut denganmu, Nak. Mama merasa tak enak kalau kau pergi sendirian," ujar Suci.
"Aku bukan anak kecil lagi, Mama. Widya juga bakalan bosan di sana," jawab Bian.
"Aduh, Mama gak mau tahu ya, pokoknya kau harus pergi bersama Widya." Bian hanya memutar matanya dengan malas, lalu melangkahkan kakinya ke luar apartemen tanpa berkata-kata. Widya langsung saja mengekori Bian yang terlihat sedang mengatur napas.
"Kak Bian, kalau Kakak kurang nyaman dengan adanya aku, lebih baik gak jadi ikut ke kantor saja." Widya nampak berpikir lalu menyodorkan makanan yang dia tenteng. "Ini, makannya jangan telat ya. Kasihan Tante Suci sudah susah payah siapkan," ujar Widya.
Bian menghela napasnya. "Ya sudah, ayok pergi sekarang. Jangan bosan nanti kalau aku lama di kantor," ujar tegas Bian. Widya hanya bisa mengangguk patuh sambil memasuki mobil.
Bian berbalik. "Kok kamu duduk di bangku belakang sih!" Widya mengerjapkan matanya dengan lucu. "Emang salah?" tanya Widya dengan polos.
"Duduk di depan, aku bukan supir kamu!" ketus Bian.
Widya hanya cengir tanpa dosa lalu keluar dari mobil dan masuk melalui pintu depan mobil. "Maaf," cengir Widya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Bian hanya memutar matanya dengan malas, lalu segera menginjak pedal gas dengan laju yang lumayan tinggi.
"Pelan-pelan dong Kak." Widya menatap ngeri ke depan saat Bian dengan santainya menyalip mobil ataupun kendaraan besar yang lainnya.
"Tutup mata saja kalau kau takut." Tanpa dosa Bian menyahut seperti itu, ingin sekali Widya masukkan majikannya itu ke dalam lembah neraka yang sangat dalam.
"Ya Allah, maafkan dosa Widya ya Allah." Widya menutupkan matanya dengan kencang sambil berkomat-kamit. Bian tentu saja terkekeh geli, ada-ada saja kelakuan anak kecil yang ada di sampingnya sekarang.
Tak lama kemudian, mobil pun tiba di perusahaan milik Bian dan sekarang keduanya sedang bersiap untuk masuk ke dalam kantor.
"Mual," lirih Widya sambil menyenderkan punggung kecilnya ke sandaran kursi.
"Baru saja pakai kecepatan rendah," ejek Bian.
Widya tak menyahut, dia lebih memilih untuk berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam kantor dengan posisi yang sempoyongan.
"Lihatlah sekarang, dia berlagak seperti seorang BOS di sini!" gerutu Bian.
Bian tak habis pikir dengan anak kecil yang dia bantu beberapa minggu lalu, ingin rasanya dia lempar ke rawa-rawa.
Kemudian, tak ingin dia menghabiskan waktunya Bian langsung saja menuju ke ruangan khusus seorang CEO. Di dalam sana, ada Widya yang masih memijat kepalanya dengan pusing. Bayangkan saja, rohnya seperti keluar masuk ke dalam tubuhnya.
"Istirahatlah." Bian mendudukkan dirinya di kursi kerjanya. "Kau sangat kampungan sekali, bagaimana bisa kau mabuk daratan hanya karena laju mobil yang terlalu tinggi," omel Bian.
"Aku tak bisa berpikir untuk menyahut Omelan dirimu Kak Bian, jadinya biarkan saja aku untuk memejamkan mata terlebih dahulu," ujar Widya.
Ingin menyahut ucapan yang menyebalkan dari Widya, tapi terurung karena pintu ruangan Bian yang terbuka.
"Maaf Tuan Bian, para dewan direksi ingin melakukan rapat kembali," ujar Jack.
"Mendadak sekali," ujar Bian. "Bukankah, permasalahan di kantor telah usai? Apa ada kendala yang lain lagi?" tanya Bian.
"Masalah di kantor telah usai, tapi dewan direksi ingin melakukan rapat kembali Tuan."
"Baiklah, aku bersiap dahulu." Jack mengangguk lalu sedikit melirik Widya yang memejamkan mata dengan posisi duduk.
"Dia sedang mabuk darat, jadi jangan hiraukan dia." Bian menyahut dengan kekehan geli.
"Maaf Tuan, Ibu Suci memeberikan perintah untuk Widya tetap ikut walaupun itu rapat dengan orang penting."
"Benarkah? Kenapa Mama tak memberitahu terlebih dahulu?" tanya Bian.
"Hanya Ibu Suci yang tahu alasannya, Tuan."
"Baiklah, terima kasih sebelumnya."
Jack mengangguk, lalu dia langsung keluar dari dalam ruangan Bian. Sepeninggalan tangan kanannya, Bian langsung saja membangunkan Widya.
"Bangun, kau harus ikut denganku dalam rapat ini."
Widya membuka matanya sebelah. "Baiklah," ujarnya pasrah.
Di dalam ruang rapat, di pojokan kanan ada Widya dan Jack yang sedang berdiri sedangkan para dewan direksi telah duduk dengan Bian yang ada di posisi paling ujung sebagai seorang pemimpin.
"Langsung saja, apa ada permasalahan di sini?" tanya Bian tanpa basa-basi.
"Jujur saja Pak Bian, kami merasa lega karena Bapak telah menyelesaikan permasalahan yang pelik kemarin. Akan tetapi, sepertinya kami belum bisa percaya, em sangat percaya kalau perusahaan ini sudah kokoh!" sahut salah satu dewan direksi yang yang berperawakan tinggi dan sedikit kumis
"Kalau saran saya, lebih baik kita melakukan kerja sama dengan salah satu perusahaan yang dapat membantu kita dalam membangkitkan perusahaan kembali," timpal dewan direksi yang berbadan tambun.
"Itu ide yang sangat bagus, tapi ada yang bisa saran kita melakukan pengajuan kerja sama ke siapa?" tanya Bian.
"Kalau saya pribadi Pak, lebih baik kita ke H Corporation. Kami lihat semua perusahaan yang hampir bangkrut tersebut melakukan kerja sama dengannya dan hasilnya sangat memuaskan," jawab dewan direksi yang memiliki jambang panjang.
Bian nampak berpikir sebentar. "Apa lagi yang menjadi alasan kalau H Corporation sangat baik untuk dijadikan tempat kerja sama?" tanya Bian.
"H Corporation sangatlah memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian dunia, Pak. Jadinya, dia masuk ke dalam peringkat tiga dunia dalam perusahaan yang bagus."
Bian mengangguk kepalanya, lalu menoleh ke Jack. "Jack, kau harus menyiapkan berkas untuk pengajuan kerja sama kita. Ah iya! Satu lagi, kau harus bisa membuat pimpinan H Corporation menyetujui pengajuan kita."