bc

Bunda Untuk Putri Sang Duda

book_age18+
6.8K
IKUTI
66.7K
BACA
stepfather
scary
like
intro-logo
Uraian

Hidup bukan melulu tentang uang, harta, kedudukan, juga jabatan. Ketenangan, kenyamanan, bahkan kasih sayang yang hangat, lebih dibutuhkan untuk tetap menjaga kewarasan. Banyaknya harta tidak menjamin ketenangan. Tingginya jabatan, belum tentu menumbuhkan kenyamanan. Seperti yang dirasakan sosok Frida Garini, gadis muda, mandiri, energik, selalu ceria. Segala bentuk fasilitas dan kemewahan yang diberikan kedua orang tuanya justru menbuatnya merasa kesepian.

Dua tahun sudah Frida keluar dari rumah orang tuanya, sekadar ingin membuktikan kalau dia mampu mandiri tanpa segala fasilitas dari kedua orang tuanya. Hingga takdir mempertemukan Frida dengan sosok malaikat kecil yang juga sedang kesepian. Emira Halime, nama gadis kecil yang mengira Frida adalah ibunya, selalu membayangi setiap langkah gadis berambut panjang tersebut.

Rasa iba dan sayang perlahan tumbuh di hati Frida, hingga mencoba menerima kehadiran Emira, walau pada awalnya Frida sangat risih dengan kehadiran Emira. Kedekatan dua perempuan beda usia itu, ternyata disalah artikan oleh keluarga Emira. Beberapa kali Frida mengalami teror dari orang-orang tak dikenalnya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1 Insiden
Suara benturan benda keras, disusul bunyi beberapa perkakas yang jatuh dan beradu dengan kerasnya aspal, cukup membuat gaduh suasana siang, di tepi jalan ramai lalu lalang kendaraan. Tidak lama, terdengar lagi roda sebuah mobil melindas salah satu perkakas yang berhamburan ke tengah jalan. “Mati aku.” Suara lirih terdengar dari bibir tipis seorang gadis dengan posisi jongkok di pinggir jalan. “Da, bagaimana ini?” tanya lirih gadis satunya yang juga ikut jongkok di samping motor. “Aduh, ini kenapa perkakasku berhamburan? Mana ada yang terlindas, apa yang harus aku katakan pada nyonya besar, bisa dipecat aku!” pekik seorang lelaki yang baru keluar dari toko bahan-bahan kue, begitu melihat sepeda motor yang sarat muatan terguling. Barang dalam keranjang yang terpasang di jok belakang sepeda motornya, berhambur ke jalan. “Pa—pak, maaf, ini semua salah saya, karena telat mengerem, hingga menabrak sepeda motor Bapak. Saya akan ganti semua barang-barang yang rusak,” ucap salah satu gadis yang berjongkok tadi. “Jadi kamu yang menyebabkan kekacauan ini! Bukan hanya mengganti, kamu juga harus ikut saya, bilang pada nyonya besar, kalau memang kamu yang telah menghancurkan perabot pesanan majikan saya. Ayo ikut saya!” murka lelaki pemilik barang yang berhamburan tersebut. “Saya bawa motor sendiri saja, ya, Pak. Kebetulan saya dengan teman saya,” pinta gadis berambut panjang tersebut. “Nggak bisa, nanti kalian kabur, bisa kena gorok saya! Sini KTP kamu, atau identitas yang lain, saya tahan dulu sampai urusan ini selesai,” ujar lelaki berperawakan pendek dan berkumis. Dua gadis yang masih tampak kebingungan itu saling pandang. Ada rasa ragu untuk menyerahkan kartu identitas mereka pada lelaki berwajah sangar tersebut. Tapi, walau bagaimanapun, dua gadis tersebut harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya. “Buruan, atau mau dibawa ke polisi, bagaimana?” gertak lelaki yang wajahnya semakin bertambah sangar menahan geram juga terik matahari yang menyengat. “Da, polisi, Da. Udah kasih aja KTP kamu, trus nanti kita ganti kerugiannya, ingat tujuan kita ke sini belanja buat besok, bukan cari keributan,” saran gadis berambut pendek. Sementara gadis yang dipanggil Da masih terdiam. Menimbang dan memikir apakah harus menyerahkan identitasnya sebagai jaminan atau hanya menganti kerugian si bapak. Dering ponsel lelaki pemilik barang menjeda kemarahannya pada dua gadis yang masih tampak bingung. Wajah sangar lelaki berperawakan pendek itu tampak terkejut, lalu berubah pias setelah berbicara dengan si penelpon. Setelah meyelesaika panggilannya, lelaki itu kembali ke hadapan dua gadis pembuat masalah, dengan langkah gontai. “Pak, maaf ada apa?” Gadis yang dipanggil Da mendekat. Lelaki berkumis itu sedikit mengangkat wajahnya yang sudah sembab karena air mata. “Kami bakal dipecat kalau sampai hari ini acara batal. Mana istri saya sedang hamil, kalau saya sudah nggak kerja, lalu bagaimana nasib kami,” terang lelaki tersebut semakin tergugu. Ada perasaan bersalah dan menyesal di hati dua gadis yang saling melempar pandang. “Kalau boleh tahu, apa yang terjadi, mungkin kami bisa membantu. Perkenalkan, nama saya Frida, dan ini teman saya Aini. Sebelumnya saya minta maaf, karena kecerobohan saya, barang-barang Bapak jadi berantakan. Bapak tidak usah khawatir, kami akan tetap mengganti kerugian yang kami sebabkan,” tutur gadis yang ternyata bernama Frida. “Masalahnya nggak hanya itu, Mbak. Chef yang biasanya memasak untuk acara di rumah nyonya besar tidak bisa datang, padahal acara malam ini jam delapan harus sudah dimulai. Mau cari juru masak di mana kalau mendadak begini?” “Memang mau ada acara apa, Pak di rumah majikan Bapak?” Kali ini Aini yang angkat bicara. “Ulang tahun Non Emira, cucu majikan saya, Mbak,” jawab lelaki itu dengan sangat putus asa. “Ni, bisa tolong belikan minuman di mini market sebelah?” Frida meminta tolong pada Aini, dan gadis bertubuh sedikit subur itu gegas beranjak ke mini market yang memang hanya berjarak 50 meter. “Pak, saya sudah pesankan tiga perabot Bapak yang rusak, nanti sama-sama kita pikirkan permasalahan yang sedang merundung Bapak dan teman sekerja Bapak. Ini diminum dulu, biar hati Bapak sedikit tenang.” Frida menyerahkan sebotol minuman dingin, dan sebungkus roti, yang dibeli Aini. Setelah gadis itu selesai memunguti barang-barang Pak Nardi yang berserakan akibat ulahnya “Terima kasih, ya Mbak,” ucap bapak tersebut dengan senyum yang menghias wajah kalutnya. Suara nofit pesan masuk di ponsel Frida memecah kebisuan di antara ketiga orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Seulas senyum terkembang dari bibir sensual Frida. “Alhamdulillah, perabot pengganti nanti selepas ashar sudah bisa dikirim, Pak. Bisa minta alamatnya, supaya langsung diantar ke sana,” ujar Frida dengan senyum semringah. “Terima kasih, Mbak. Tapi sekarang saya harus cari juru masak di mana?” Suara lelaki yang usianya mungkin sekitar empat puluh tahun itu terdengar bergetar. Suasana kembali hening, hanya kebisingan arus lalulintas menjadi backsound tiga orang yang sedang tepekur duduk di tepi jalan dengan pikiran masing-masing. Pak Nardi tammpak sesekali mengusap wajahnya dengan kasar, hal itu tak luput dari perhatian Frida. “Bagaimana kalau saya yang masak, Pak? Kebetulan saya juga buka jasa catering. Ya, tapi memang belum cukup terkenal, sih. Tapi paling tidak masalah Bapak terselesaikan.” Frida menawarkan diri dan langsung disambut pelototan Aini. “Sebentar, ya, Pak,” izin Aini menarik lengan Frida sedikit menjauh dari posisi mereka tadi. “Gila lu, ya? Kita besok ada orderan 100 nasi kotak, malah mau masak di rumah orang yang nggak kita kenal,” protes Aini pada rekan kerja sekaligus sahabatnya. “Kasihan bapak itu juga teman sekerjanya kalau sampai harus dipecat, Ni. Kamu dengar sendiri’kan tadi,” balas Frida. “Itu urusan mereka, urusan kita sekarang belanja buat besok!” geram Aini, kadang merasa jengkel dengan sikap Frida yang terlalu baik sama orang, bahkan yang tidak dikenalnya. “Ya sudah, begini saja, kamu belanja apa yang kita butuhkan untuk besok. Aku tetap memasak untuk majikan si bapak,” usul Frida yang langsung ditolak Aini. “Nggak bisa gitu, Da. Elo kan tahu kalau gue belanja pasti boros, nggak bisa nawar,” keluh Aini, karena memang itu kelemahannya sebagai perempuan. Selama ini selalu Frida yang berbelanja, sedang dirinya hanya mengekor sahabatnya itu, sambil membawa barang belanjaan. “Makanya belajar, Ni. Toh nggak selamanya yang belanja harus aku terus, kamu juga berhak untuk berbelanja, usul menu masakan, atau bahkan menghitung anggaran orderan dari pemesan, nggak mulu aku. Usaha ini kita dirikan bareng, jadi kalau maju dan pinter juga harus bareng, Ni.” Frida mulai mengeluarkan uneg-uneg di hati, yang selama ini hanya dipendamnya. “Maaf kalau selama ini gue nggak banyak membantu, Da,” ucap Aini lirih, merasa tertampar dengan perkataan Frida. Karena selama ini dirinya memang hanya bersikap pasif, sahabatnya itu yang menjadi motor penggerak usaha mereka. “Bukan gitu, Ni. Aku mau kita sama-sama maju, jadi nggak cuma aku aja yang paham seluk beluk usaha kita, kamu juga punya andil, Ni, oke,” balas Frida memeluk erat tubuh sekal Aini. “Mbak, maaf, jadinya bagaimana?” Suara si bapak memecah episode melow antara dua sahabat. “Eh, iya, Pak, saya akan ikut ke rumah majikan Bapak,” balas Frida dengan seulas senyum menenangkan. Aini akhirnya menjalankan tugas yang dipercayakan Frida untuk berbelanja. Sedang gadis berambut panjang itu memesan ojek online, lalu mengikuti laju kendaraan si bapak menuju rumah majikan, tempatnya bekerja. Perjalanan mereka tidak memakan waktu lama, sepuluh menit sudah memasuki gerbang perumahan di kawasan perumahan elit. Degup jantung Firda berdetak agak cepat, apakah keputusannya salah untuk membantu si bapak. "Aku kira rumah majikan si bapak hanya di perumahan biasa, kalau masuk kawasan ini, berarti majikan si bapak bukan orang sembarangan dong, nyesel juga nggak nurutin perkataan Aini. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur juga," keluh batin Frida. “Mbak, sudah sampai,” ucap driver ojek online yang mengantarkan Frida. “Iya, Pak. Makasih, ya. Sudah dibayar pakai aplikasi, ya, Pak,” balas Frida santun. Dan mendapat anggukan sebagai jawaban. Gerbang tinggi dengan pintu besar yang terlihat kokoh, menjulang di hadapan Frida. Seorang satpam mempersilakan gadis bermata teduh itu, untuk masuk. Langkah kaki jenjang itu perlahan melewati pintu berwarna hitam pekat, dengan ornament bunga berwarna keemasan, di beberapa bagian sudutnya. Frida disambut seorang wanita setengah baya, yang mengekor langkah Pak Nardi. “Selamat datang, Mbak, perkenalkan saya Mbok Jum, terima kasih sudah mau membantu kami. Mari silakan masuk,” sapa wanita yang memperkenalkan dirinya pada Frida. “Iya, Mbok, saya Frida. Kebetulan saya juga ada salah dengan Bapak ....” “Nardi, nama saya Sunardi, dari tadi malah belum sempat kenalan, ya, Mbak,” kekeh Pak Nardi sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak terasa gatal. Mbok Jum menggiring Frida memasuki rumah yang lumayan besar. Bangunan megah dengan dua lantai, sangat mewah, apalagi dengan halaman sangat luas. Pagar tembok tinggi sebagai pelindung berdiri kokoh. Berbagai tanaman hias, tertata apik memperindah beberapa bagian halaman. Bahkan ada kolam dan air mancur buatan. Sungguh menyejukan mata saat menikmati keindahannya. Sejuk cenderung dingin, kesan pertama Frida begitu memasuki rumah besar tersebut, melalui pintu garasi. Frida bahkan sampai terjengkit saat telapak kakinya menyentuh lantai, saking dinginnya. Mbok Jum memberikan sepasang sandal untuk digunakan Frida. “Terima kasih, Mbok,” ucap Frida langsung memakai sandal dengan warna biru, lalu mengikuti langkah Mbok Jum menuju dapur. “Mbak ini dapur bersih, dapur kotornya ada di sebelah sana. Silahkan Mbak Frida mau menggunakan yang mana, kalau Mbok lebih sering pakai dapur kotor, Mbak. Tapi senyamannya Mbak Frida saja,” terang Mbok Jum sambil menunjukan peralatan di utensils room. “Masak di dapur kotor saja, Mbok, toh sama saja peralatannya. Oya, hari ini kita masak menu apa saja?” tanya Frida sambil mulai menaikan kuncir rambutnya dan memasukan pada pet, supaya rambutnya tidak berantakan. Nggak lucukan kalau masakan yang disajikan ada sehelai rambut tercampur di dalamnya. Frida memang sangat menjaga kebersihan dan kehigienisan masakannya. Sarung tangan plastik juga selalu dipakainya. Celemek sudah menempel sempurna pada tubuh bagian depannya. Badan mungil Frida berdiri di depan lemari pendingin berukuran besar. Mata indah terbingkai alis tebal dan rapi itu, menyusuri deretan huruf yang tertera pada kertas menu. Pemilik rumah rupanya sengaja menempelkan di pintu lemari pendingin berwarna hitam mengkilap tersebut. Tiga menit, Frida berdiri di tempatnya dengan tangan sibuk menulis rencana kerjanya. Menu mana dulu yang harus disiapkan. Pemilik rumah menulisakn sepuluh menu, masing-masing masakan lumayan banyak, untuk dua ratus porsi. Frida tersenyum dan tidak merasa heran, kalau acara ulang tahun mengundang tamu sebanyak itu, mengingat besar serta megahnya bangunan yang menaunginya sakarang ini. “Bismillah, semoga bisa selesai tepat waktu.” Frida mulai menyemangati dirinya, lalu segera memulai menyiapkan bahan dan alat tempur yanga akan dipergunakan. Dua orang asisten rumah tangga pemilik rumah, diminta Mbok Jum membantu pekerjaan Frida. Cekatan tangan gadis bertinggi 160 senti meter, dan berat 50 kilo gram itu, meracik bahan makanan beserta bumbunya. Aroma minyak zaitun beradu dengan racikan rempah memenuhi setiap sudut dapur, bahkan sampai terbawa hingga ke ruangan-ruangan lain di dalam rumah besar tersebut. Di bagian lain rumah didominasi warna biru dan putih, dengan perabot serba mewah, juga tampak kesibukan lain. Beberapa orang menghias ruangan tersebut dengan ornament pesta. Balon berwarna merah muda dipadukan dengan warna ungu muda, tampak menghias sudut-sudut ruangan. Sebagian dirangkai, lalu dibentuk menyerupai gerbang. Ada panggung mini dengan background poster bergambar seorang gadis sedang tersenyum sangat cantik. Berhiaskan tulisan Happy Britday Emira Halime Latif, dari balon abjad yang tersusun estetik, terlihat sempurna. “Nardi!” Suara seorang perempuan menggema di seantero penjuru rumah. Lelaki yang merasa namanya dipanggil, tergopoh mendatangi sumber suara. “Saya, Nya?” Pak Nardi mengatur napas begitu berdiri tidak jauh dari Nyonya Gulizar Latif, sang majikan. “Dapur bagaiamana, aman?” Nyonya Gulizar bertanya memastikan persiapan acara ulang tahun cucu kesayangannya berjalan sesuai rencana. “Sampai saat ini, aman, Nya, tapi ....” “Tapi apa? bicara yang jelas.” Suara wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah memasuki setengah abad, mulai meninggi. Terbiasa dengan kesempurnaan membuat hati wanita berdarah Arab Turki tersebut khawatir. “Chef yang biasa masak untuk acara besar, tiba-tiba tidak bisa datang. Ibunya meninggal begtu ka—“ “Lalu siapa yang menyiapkan semuanya, Mbok Jum?” Kecemasan tampak jelas tergambar pada wajah Timur Tengah tersebut. Langkah kaki Nyonya Gulizar tergesa menuju dapur. Gerutunan tidak jelas terdengar oleh Pak Nardi yang mengekor. Jantung lelaki asal Purwokerto itu berdegup lebih cepat lima kali lipat. Ketakutat jelas membayang di wajahnya, walau sudah ada Frida tetap saja rasa itu mendominasi hatinya. Dia tidak tahu, apakah masakan gadis yang pada awal perjumpaan, membuatnya naik darah, sesuai dengan standar majikannya atau justru akan membuatnya ditendang dari rumah yang sudah menjadi tempatnya mengais rejeki lima tahun terakhir. “Wangi sekali aroma ini,” guman Nyonya Gulizar saat mencapai ambang pintu dapur, tapi tidak terlihat aktifitas di sana. Hanya ada tempat masakan yang biasanya untuk prasmanan berjejer rapi, di atas meja persegi yang terletak di tengah-tengah dapur bersihnya. Wanita berhijab itu hanya merasa heran saja, kenapa orang yang menyiapkan ini semua, tidak menggunakan dapur besih seperti chef langganannya. Tangan Nyonya Gulizar membuka tudung yang menutup tempat masakan yang sudah terisi. Aroma rempah yang kuat menguar begitu tudung terbuka, menampilkan visual nasi berwarna kuning cantik, dengan bulir-bulir panjang dari beras basmanti. Pemilik rumah mengambil piring dan sendok yang telah tertata rapi di meja terpisah, lalu menyendok nasi kebuli ke atas piring untuk dicicipi. Dihirupnya aroma rempah yang kuat tapi tidak membuat eneg. Sesuap nasi khas Timur Tengah sudah masuk ke dalam mulut wanita berhidung macung tersebut. Pak Nardi menahan napas menunggu reaksi dan komentar dari majikannya, kali ini perkejaan dan nasib keluarnya dipertaruhkan. Ekspresi Nyonya Gulizar tampak terkejut, kedua matanya yang lebar semakin melebar. Kunyahannya juga sangat lambat, berbanding terbalik dengan degup jantung Pak Nardi yang semakin cepat. “Nyo—nya ....” Mbok Jum terkejut sampai wajahnya pias, saat mengetahui Nyonya Gulizar sedang berdiri, memegang piring ditanganya. “Siapa yang masak ini?” Suara Nyonya Gulizar, sudah seperti genderang hukuman pancung, terdengar di telinga Pak Nardi dan Mbok Jum. Mulut kedua pegawai itu seperti terkunci, sulit untuk menjawab. “Mbok Jum!” panggil sang majikan, semakin membuat keringat dingin mengucur deras, di sekujur tubuh gempal wanita berusia empat puluh tahun itu. Ketakutan pemecatan membayang di hadapannya, walau sudah bekerja di rumah itu selama lebih dari lima belas tahun, tidak menjamin dirinya lepas dari hukuman, karena sudah lancang, mempercayakan orang asing memasak untuk acara besar cucu majikannya, tanpa meminta izin terlebih dahulu. “Nardi! Mbok Jum!” “I—ya, Nya, maaf, yang masak Mbak Frida. Maaf kalau tidak sesuai dengan selera Nyonya. Saya bingung waktu Chef Ahmad memberi kabar kalau tidak bisa datang, karena ibunya meninggal. Kebetulan Pak Nardi bertemu dengan Mbak Frida di pasar.” Mbok Jum menjelaskan dengan badan gemetar, keringat dingin semakin membanjir. “Dimana wanita itu?” Gelegar suara Nyonya Gulizar bersamaan dengan piring yang diletakan kasar ke atas meja, membuat Mok Jum dan Pak Nardi semakin tidak berdaya, seperti pesakitan yang hanya menunggu pelaksanaan hukuman mati. Derap langkah Nyonya Gulizar, mengiringi degup jantung dua pegawai yang mengekor di belakangnya. Jemari Mbok Jum meremas ujung kerudung yang menjuntai di depan dadanya. Tidak jauh dengan Pak Nardi, lelaki yang biasanya terlihat gagah itu, tampak lemas bahunya. Mereka berdua hanya bisa berdoa dalam hati, supaya Allah memberikan keajaiban, hingga nasib mereka terselamatkan, dari pemecatan. Langkah Nyonya Gulizar terhenti, begitu melihat sosok perempuan muda terlihat terampil menggerakan tangan, di atas wajan besar. Dari aromanya, sepertinya sedang menggoreng ayam krispi, kesukaan Emira. Tidak berapa lama, lalu tubuh mungil gadis itu berpindah ke depan meja, kembali jemarinya lincah menggerakan spatula, sedang mengaduk mayonaise dan saos tomat rupanya. Selesai dengan cairan kental yang telah berubah warna orange itu, kembali Frida bergeser ke depan kompor. Mengaduk sebentar, lalu mengangkat ayam krispi dari penggorengan. Dan memasukan kembali potongan ayam berbalut tepung ke dalam wajan. Aroma wangi, persis seperti harum di restoran ayam goreng siap saji, dengan gambar lelaki tua seketika menyebar ke seluruh penjuru dapur. "Siapa gadis muda itu, gerakannya sungguh lincah. Bahkan nasi kebulinya juga terasa lebih nikmat dari buatan Chef Ahmad. Ini sungguh kejutan yang luar biasa," guman Nyonya Gulizar dengan pandangan tanpa jeda pada sosok yang sedang menguasai dapurnya. "Mbok Jum, Nardi!" Dua manusia yang sedari tadi berdiri dengan tubuh gemetar di belakang Nyonya Gulizar, medekat ke depan. "I--iya, Nyonya," jawab keduanya hampir bersamaan. "Tetap awasi gadis itu dan pastikan semua menu yang dihidangkan tidak mengecewakan. Saya mau menjemput Emira dulu," perintah Nyonya Gulizar lalu kembali ke ruang tengah. Mbok Jum dan Pak Nardi hanya saling tatap setelah mendengar perintah sang majikan. Kemarahan besar yang sedari tadi sudah membayang di pelupuk mata ternyata tidak terdengar di telinga mereka. Seketika senyum menggembang di wajah-wajah polos orang-orang jujur tersebut. "Masyaallah, Di, Nyonya tidak marah. Berarti masakan Mbak Frida enak, dan cocok dengan lidah Nyonya," pekik Mbok Jum sambil melompat-lompat, tidak peduli dengan tubuh gempalnya yang juga ikut terguncang. "Alhamdulillah, Mbok. Aku tadi sudah membayangkan kalau pasti dipecat. Beruntung tadi ketemu Mbak Frida, semua sudah jalan dari Allah, Mbok." Pak Nardi juga tidak kalah antusias. "Mbok Jum!" Suara Nyonya Gulizar terdengar dari luar seketika menghentikan uforia dua orang kepercayaan tuang rumah. "Saya, Nya!" balas Mbok Jum gegas menuju sumber suara meninggalkan Pak Nardi yang juga langsung menuju dapur. Mengecek pekerjaan Frida.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
57.1K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook