Dafi : Same Mistake

3309 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Tapi emang aneh tahu. Kayak gak ada cewek lain aja si Dafi, tuh, sampai macarin yang lebih tua.” “Iya, mana ceweknya bar-bar pula.” “Gak bar-bar doang, kali. Gak lihat lo dia tiap hari pakai serba item? Dikira kampus, nih, kuburan apa gimana?” “After all, intinya Dafi gak cocok sama si itu. Ceweknya. Siapa, sih, namanya? Mita?’ “Metta!” “Oh. Whatever you named it. Mending sama gue atau kalau gak mau ya cari yang sepantaran, kek, atau yang kelakuannya manis kayak pacarnya anak Lima Hari yang lain.” “Nah, iya. Setuju banget gue sama yang itu. Padahal pacarnya Kak Jefran juga kelihatan bar-bar tapi kok vibesnya beda sama Metta, ya?” “Iya banget. Gak tahu, deh. Paling dia pakai dukun?” “Hahaha! Ngaco banget mulut lo!” Ini bukan pertama kalinya. Benar-benar bukan pertama kalinya Dafi denger yang kayak gitu. Sejak seminggu yang lalu dia meresmikan hubungannya dengan Metta—yang mana gak bakal ada orang yang ngeh kalau Dafi gak lagi jomblo kalau aja anak Lima Hari gak pada rame-rame bikin snap di i********: motoin Metta sama Dafi yang lagi nempel di studio—semuanya gak bakal gini/ Dafi gak nyesel. Demi Tuhan dia sama sekali gak pernah nyesel kalaupun hubungannya sama Metta bakal diketahui orang. Gak usah, deh, anak kampus. Kalau satu Indonesia tahu pun dia gak bakal peduli. Tapi tentu aja. Dafi ini manusia biasa. Dia punya batas kesabaran walau katanya yang bener, tuh, kesabaran seharusnya gak punya batas. Sebaik dan seramah apapun Dafi selama ini dikenal masyarakat luas, Dafi juga masih punya emosi. Dia masih bisa marah, sebal, muak, dan perasaan lainnya yang umum dan normal dimiliki manusia biasa. Sejak awal kedeketannya dengan Metta setelah dia pulang dari Jember kemarin untuk studi mahasiswa, sudah banyak bisik-bisik dari cewek-cewek julid yang mulai berkomentar. Tapi Dafi kira semua juga bakal berlalu karena.. emang sampai kapan, sih, topik yang dibahas bakalan Dafi sama Metta terus? Tapi ternyata tebakannya salah. Bahkan setelah satu bulan dekat dan satu minggu jadian, namanya masih jadi perbincangan orang banyak. Dia gak masalah kalau namanya doang yang dibawa-bawa. Toh sebelum dengan Metta, Dafi yang belum pernah deket sama siapa-siapa ini udah sering diterpa isu miring. Homo, lah. Punya pacar diem-diem, lah. Ngehamilin anak orang karena katanya anak Band itu nakal-nakal, lah. Asam pahit duia pergosipan sudah pernah ia telan. Tapi kalau bawa-bawa namanya, jelas bakal jadi beda cerita. Dafi gak suka denger gimana orang lain selalu menjelek-jelekkan Metta. Apa yang diketahui mereka tentang pacarnya? Mereka hanya menilai dari penampilan—yang sialnya dia ingat dia dulu juga pernah mikir negatif tentang Metta hanya karena dia kelihatan tomboy dan bar-bar. Oh, ataukah mungkin ini adalah karma? Namun, sungguh. Sungguh Dafi ingin menyumpal satu persatu mulut lancang yang suka ngomongin Metta. Dia gak butuh dipuji-puji, gak perlu dibandingin sama Metta. Karena kalau orang lain tahu gimana Metta yang asli, mereka bakal bilang bukan Metta yang beruntung karena dia jadi pacar Dafi, tapi sebaliknya. Dafi, lah, yang beruntung karena dapet cewek sebaik Metta. Ayo, lah. Apa, sih, bagusnya ngelihat fisik doang tapi gak tahu karakternya yang asli? Dibalik Metta dan pakaian warna hitamnya—ini juga udah pernah dikonfirmasi sama Dafi yang dijawab Metta dengan alasan sesederhana dia suka warna hitam—Metta punya sifat seperti ibu peri. Pacarnya itu beneran punya rasa simpati dan empati yang besar, suka gak tegaan padahal udah dijahatin, dan mau-mau aja dimanfaatin orang padahal dia sadar kalau emang lagi dimanfaatin. Gak ada yang tahu kalau Metta betulan punya sifat kayak gitu kecuali bener-bener kenal dia. Contohnya, Jefran dan Dafi. Mengingat Jefran emang satu-satunya temen deket yang dimiliki Metta, ada Dafi yang jadi jatuh cinta karena tahu sifat baik Metta. Ya, jatuh cinta sampai akhirnya jadian. Bukankah ini karma banget? Masih inget gimana dulu Dafi sungguhan risih karena diganggu terus-menerus sama cewek itu? Sekarang udah gak ada Dafi yang kayak gitu. Yang ada, hanya Dafi yang cemas kalau Metta sampai gak ada kabar, Dafi yang greget sama Metta karena mau-maunya nolongin temen yang jelas bermuka dua, Dafi yang pernah hampir ikut nangis pas ngelihat Metta nangisin nenek-nenek di jalan yang dijahilin sama anak kecil. Hal-hal sederhana seperti itu. Dafi mencintai Metta karena ha-hal sesederhana itu. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Waduh, ada apa, nih adik kita bersama?” Kalimat itu muncul dari bibir Jefran dengan seringai tengil. Gak usah kaget, lah. Dafi emang dapet julukan ‘adik kita bersama’ dari anak Lima Hari hnaya karena usianya yang paling muda di antara yang lain. Dulu di awal sih dia protes. Berasa geli banget dia dipanggil adik sama abang-abangannya. Tapi karena mereka malah suka menjadi-jadi manggil Dafi pakai sebutan itu, dia akhirnya mengalah aja. Sesuka abang-abnagnya mau manggil dia apa. Karena ucapan Jefran barusan, anak Lima Hari yang lain—tiga orang di samping Jefran—ikutan noleh kompak. “Kenape itu muka kusut banget?” Satria nanya. “Telat masuk kelas lagi?” “Gak papa.” Dafi bukan cewek yang suka mengandalkan gak papa gak papa, tapi karena kali ini dia udah capek abis naik tangga dari lantai satu ke lantai tiga karena lift rusak, juga kemudian langsung latihan ke studio hanya karena Satria memintanya, moodnya udah rusak. Oh, jangan lupa dengan alasan yang paling tepat : Metta. Karena dia males jelasin, akhirnya kata ‘gak papa’ adalah yang keluar dari bibir Dafi. “Siapa yang kayak ceweeeeek?” Brian ngeledek, Yang lain langsung ketawa sambil kompak menjawab. “Dafi, dooooong.” “Cerita dulu cerita. Kita masih ada waktu satu jam sebelum latihan.” ‘Setengah jam, anjir,” Satria mengoreksi. “Jam tiga pas kita mulai latihan.” Dafi ngelirik jam. Mendapati jarum menunjuk ke titik di antara dua dan tiga siang. Beuh, dia baru sadar dia telat ke studio. Karena awalnya, Satria udah nelpon dia tadi pagi buat ke studio jam dua, bukan setengah tiga. Tapi kayaknya leader  Lima Hari yang satu itu moodnya lagi bagus, makanya gak ada bahas-bahas yang lain apa lagi perihal keterlambatan Dafi. “Kayak biasanya, Daf?” Wildan kini membuka suara, membuat empat orang yang lain langsung menoleh bersamaan ke arah cowok itu. “Woah, kok lu tumben sih bisa peka?!” Jefran terheran-heran. “Biasanya yang paling ngang-ngong doang.” “Ngang-ngong sialan. Ngakak banget.” “Eh, tapi beneran? Kayak biasanya?” Dafi mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan dari Wildan yang ditanyai sudah dua kali tersebut. “Eh, biasanya tuh apa sih maksudnya? Guie kayak bloon anjir Wildan ngomong biasanya-biasanya tapi gue gak tahu apa-apa.” “Sama,” Brian sama Satria berujar barengan. “Kayak orang t***l cuman hah heh hah heh.” “Ya... biasanya aja Dafi kalau lagi kayak gini gara-gara apa, sih.” “Ceweknya?” “Si Metta?” “Kucingnya?” Tiga tebakan itu muncul bersamaan, hampir gak terdengar jelas karena bebarengan bunyi semua. Tapi baik Wildan, Dafi, Brian, dan Jefran sama-sama menatap aneh ke arah satu sama lain. Seolah lagi kirim kode. “Ngapain jadi kucingnya Dafi anjir, Bapak?!’ Jefarn ngakak. “Baik-baik aja Debby, mah.” “Ya, kan, tanya biar tahu. Dulu si Dafi mukanya juga pernah sepet cuman karena kuncingnya nakal.” “Ya elah, Bang. Jangan diingeitin lagi,” Dafi udah mohon-mohon. “Malu banget kalau inget.” “Hahahaha!” yang lain ngakak. “Jadi beneran gara-garra Metta?” Dafi mengangguk lemas tapi kemudian menggeleng. “Iya, ada hubungannya sama Metta. Tapi bukan gara-gara dia gue betenya.” Kemudian cerita singkat tentang bagaimana kemudian Dafi mendengar segala gosip dan omongan tentang dia dan pacarnya mengalir begitu aja. Empat orang yang lain jadi pendengar yang baik. “The same mistake. Dari dulu lo sama Metta selalu aja ada yang ngrecokin,” komentar Brian sambil menghela nafas, menatap Dafi. “Jangan-jangan gak jodoh, nih, sebeenernya?” “Waduh, ngeri ngomongnya!” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * And I know it's long g one and there was nothing else I could do And I forget about you long enough to forget why I needed to 'Cause there we are again in the middle of the night We're dancing 'round the kitchen in the refrigerator light Down the stairs, I was there I remember it all too well, yeah And maybe we got lost in translation Maybe I asked for too much But maybe this thing was a masterpiece 'til you tore it all up Running scared, I was there I remember it all too well Metta menyanyikan lagu terbaru milik Taylor Swift yang lagi booming itu dengan ekspresi menghayati. Sampai kemudian dia noleh ke arah Dafi yang mana dia baru sadar kalau Dafi sore ini agak lebih diam dari biasanya. “Lo mikirin apa, deh?” Dafi ikutan noleh. “Apa?” “Lo. Kelihatan banget kalau lagi mikir,” ujar cewek itu sambil mengusap kening pacarnya. “Mikirin apa, sih?” “Enggak.” “Ih, kayak cewek aja, sih, ditanyain sok bilang enggak.” ledek Metta. Dafi cuman diem aja, gak jawab apa-apa lagu. Hanya helaan nafas yang kemudian keluar memuat Metta jadi betulan khawatir saat ini. Dia menyentuh lengan pacarnya, ekspresi khawatir mulai nampak.  "Hei, something bad happens?" Ditanya begitu, Dafi menoleh sambil tersenym, kemudian menggeleng sembari tangannya mengusap punggung tangan Metta yang berada di lengannya. "Nope." "Ayo, dong, cerita," Metta berdecak. "Gue aja kalau ada apa-apa selalu lo paksa buat cerita. Masa giliran lo yang ada masalah lo gak mau cerita," "There's nothing to be worried about, Metta." Metta berdecak, dia menjauhkan tangannya dan langsung mengalihkan wajah. "Awas aja lo kapan-kapan maksa gue buat cerita. Lo nya aja kalau ada apa-apa gak mau cerita ke gue." Diancam begitu, bukannya bikin Dafi jadi takut, yang ada dia makin terkekeh geli.  Pasalnya dia bukan menyembunyikan sesuatu dan menutupi dari Metta, tapi karena dia betulan males aja harus inget-inget sesuatu yang dampaknya buruk ke dia. Ngomongin masalah itu hanya akan bikin mood Dafi down, jadi mending gak usah diomongin, kan? Tapi ngelihat ceweknya itu lagi ngerajuk karena pengen dikasih tahu, Dafi bisa apa? * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Met...” “Gak usah, deh, lo nyolek-nyolek.” Dafi ketawa. Dia mencubit pipi pacarnya, membuat Metta mengaduh. “Hih, apa sih lo cubit-cubit? Noh nyetir yang bener.” “Lo sekarang kok jadi ngambekan, sih?” “Bodo.” “Gue beneran males bahasnya aja, Met.” “Ya udah gak usah bahas.” “Lo-nya jangan ngambek.” Metta pura-pura tuli. Dia malah mengeluarkan ponselnya  dari arah tas, bersiap hendak menyibukkan diri dengan aplikasi apapun disana—sengaja. Iya dia sengaja mau main hape padahal Metta tahu banget Dafi paling gak suka kalau Metta main hape pas lagi sama dia, apa lagi pas keduanya ngobrol begini. Karena menurut cowok itu, hape hnaya akan jadi orang ketiga yang bikin quality time mereka gak bagus kualitasnya. Dafi meraih ponsel Metta yang baru dikeluarkan dari tas, kemudian mengantonginya di saku celana. “Dafi!” “Gak ada lo main hape.” “Apa, sih, kok lo jadi rese? Balikin, gak?” “Gue mau cerita. Mau dengerin, gak?” “Gak!” Metta melotot, kemudian melipat kedua tangan di depan d**a, membuang wajah ke arah jendela mobil. “Ngomong, noh, sama spion mobil.” Dafi malah ngakak ngelihat Metta begini. Apa, ya. Sejak dia suka sama Metta, ngelihat Metta dari berbagai ekspresi itu bikin Dafi gemas dan gregetan. Metta seolah udah jadi candunya—wait, jangan mikir macem-macem kemana-mana. Atau mungkin belum waktunya aja. “Jelek lo kalau ngambek.” “...” “Masa baru seminggu pacaran lo mau ngambek, sih, Met?” “...” “Metta.” “...” “Sayang.” Kebetulan karena di depan lampu sudah hendak berubah jadi merah dalam hitungan detik, Dafi langsung menginjak rem, membuat mobil berhenti dan Dafi langsung menghadapkan badannya ke samping. Dia mencubit pipi Metta. “Aduh, Dafi!” “Ngadep sini makanya.” “Ogah.” Dafi menghela nafas sebelum kemudian mulai bercerita, “Tadi gue denger dari Bang Jefran katanya lo abis disindir sama anak kelas?” Metta langsung noleh. Dia menghembuskan nafas malas. “Jefran, tuh, apa banget deh segala-galanya dilaporin ke elo.” “Berarti iya?” “Iya,” Metta gak perlu susah payah menutupinya. “Tapi ya udah, mau diapain lagi? Males juga gue bahasnya.” “Karena lo pacaran sama gue?’ Metta diem. “Kenapa lo diem aja pas dituduh numpang panjat sosial ke gue? Kenapa lo gak bungkam mulut mereka dan bilang kalau gue yang tregila-gila sama lo?” Mendengar kalimat yang itu, Metta jadi gak bisa menahan lengkung senyumya. Dia menatap Dafi dengan mata memicing. “Cie, jadi lo tergila-gila sama gue?” “Lo tahu jawabannya.” “Cie—“ “Met, serius. Gue gak suka lo selalu diem aja. Oke, gak papa diem kalau mereka cuman bisanya nyindir kayak bocah. Tapi kalau udah tahu begitu, lo gak perlu baikin mereka sampai-sampai mau aja dititipin absen.” “Kok lo tahu semuanya, sih?” Dafi diem, gak mau jawab. Yah, dua-duanya tahu, lah, kalau ada informasi yang nyebar dari salah satu pasti itu karena ulah Jefran. Tapi dua-duanya juga gak masalah. “Ngerti gak gue bilang apa?” “Ngerti.” Dafi mengusap  kepala Metta dengan sayang. “Gue tahu lo baik. Tapi gue yang gak terima karena baiknya elo jadi dimanfaatin sama yang lain. Lo boleh, kok, jahat sekali-kali. Kali aja lo mau nympel mulut mereka pake tisu atau sendal. Boleh banget, biar mereka tahu kalau lo juga punya batas sabar.” “Gue, tuh, mikirnya... ya, ngapain aja gitu, loh, Daf? Ngapain repot-repot ngurusin orang yang jelekin kita? Mau mereka jelekin gue, di depan atau di belakang, itu udah manusiawi banget. Gue juga pernah kok julidin orang. Namanya juga manusia. Tapi apa harus ditegur mulu? Yang ada mereka jadi makin seneng kalau direspon. Dikira mereka menang karena berhasil bikin gue panas. Iya, gak?” Betul juga. Dafi beneran gak pernah mikir sampai kesana. Metta kini mengangkat tagannya, mengusap rahang Dafi yang mana cowok itu lagi menatapnya dalam. “Gue juga tahu, kok, elo habis bete tadi sianng gara-gara denger yang enggak-enggak dari orang.” Ah, pasti Jefran juga yang cerita ke cewek itu. “Kenapa lo juga diem? Kenapa gak marah?” “Gue males aja ngeladenin.” “Ya udah, same reason with me. Buang-buang waktu banget, kan, ngeladenin orang kayak mereka?” Metta tersenyum kecil. “Tapi gue beneran penasaran, deh. Dari sekian banyak cewke yang suka sama lo, kenapa milih gue?” “Lo duluan yang ngejar-ngejar gue.” “Iya, tahu. Gak usah ditekanin gitu juga gue bakal inget selamanya soal itu.” Dafi terkekeh. “Maksud gue, kenapa akhirnya malah pacaran sama gue? Kalau dipikir-pikir, kadang keputusa lo emang gak masuk akal dikit, sih. Lo cakep, tenar, bertalenta. Kenapa mau sama gue, yang usianya lebih tua dari lo, yang bar-bar, yang—“ “Gue sayang sama lo. Is it enough to answer your question?” Senyum malu-mlau Metta terbit, membuat Dafi gak tahan untuk memberikan kecupan singkat di bibir perempuan itu sebelum kembali melajukan mobil. “Mau ada seribu cewek di luar sana yang lebih cakep dan lebih muda dari lo, kalau gue sayangnya sama lo mau gimana? Sama aja pertanyaannya kayak, kenapa lo milih gue yang lebih muda dari pada elo? Padahal lo aja kemana-mana sama Jefran yang gak kalah cakep, gak kalah tenar. Atau siapa, kek, yang seumuran sama lo. Tapi lo disini, kan?” Dafi menatap pacarnya sekilas. “Lo disini, milih gue. That’s freaking enough. i don’t want something more.” “Diajarin siapa ngomong manis begitu?” Dari sekian banyak respon yang bisa diberikan oleh Metta, kalimat itu malah yang keluar. “Gue mah ngomong dari hati.” “Dih, geli banget.” “Ye, dikasih tahu juga.” Metta ketawa. Setelah meredakan kekehannya, dia berujar dengan senyum tulus. “Gue kayaknya beneran gak salah jatuh cinta, deh, Daf. You worth every single fight.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  We could leave the Christmas lights up 'til January And this is our place, we make the rules And there's a dazzling haze, a mysterious way about you, dear Have I known you twenty seconds or twenty years? Can I go where you go? Can we always be this close? Forever and ever, ah Take me out, and take me home You're my, my, my, my lover We could let our friends crash in the living room This is our place, we make the call And I'm highly suspicious that everyone who sees you wants you I've loved you three summers now, honey, but I want 'em all * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN