* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bikin orang lain tiba-tiba jatuh hati sama Metta itu gampang, kok. Karena gimanapun, gadis itu emang terlahir jadi orang yang penyayang. Kemudian ditambah parsnya yang bisa diadu, siapa sih yang gak bakalan suka sama Metta?
Metta, nih, langganan jadi inceran cowok-cowok, termasuk kating-kating di kampsu yang sering banget deketindia, entah secara langsung ataupun lewat DM. Biasanya, di setiap minggu atau bulan, ada DM masuk ke akun i********: cewek itu—yang kebetulan juga nyantol di hapenya—buat nanyain apa kabar, boleh kenalan apa gak, ini, atau itu.
Dafi kadang kalau udah kayak gitu suka males sendiri. Dia bukan tipe cemburuan, tapi gak tahu kenapa dia suka tiba-tiba ngerasa terancam kalau udah ada cowok yang ebrnai deketin Metta. Apa lagi kalau dari seigi segala-galanya, dia kalah. Entah kalah banyak atau kalah sedikit.
Harusnya dari awal dia menyukai Metta, dia tahu kalau dia bakal punya saingan. Oke, kelebihan yang dipegang Dafi adalah bahwa Metta sudah memilihnya di antara bermacam-macam laki-laki yang mendekatinya di muka bumi ini. Hati Metta sudah ada yang memiliki, dan itu dia. Disitulah Dafi merasa menang.
Tapi insecure tetap ada, dan katanya itu wajar. Namanya juga udah terlanjur sayang, suka takut kalau pasangan bakal tiba-tiba oleng ke orang lain itu wajar banget.
Seperti saat ini.
Menemukan Metta membalas satu DM masuk walaupun katanya karena mereka memang temen jaman SMP, Dafi rasanya udah kayak kebakaran jenggot. Dia membaca lamat-lamat isi pesan disana. Udah dari kemarin malem pacarnya bales-balesan DM di i********:.
Awalnya...
Tian Raharja :
halo mett
inget gue, ga?
Metta Renjani :
haloo
siapa, ya?
Tian Raharja :
parah temen sebangku lo sampai setahun gak inget?
Metta Renjani :
oh astaga
Tian anak voli?
Tian Raharja :
iya.
bagus deh kalau inget
follback dulu dong btw
akun gue baru
yang lama unfoll aja
Kemudian percakapan berlanjut ke arah gak penting.
Tian nanyain kabar Metta, Metta menanyakan hal yang sama. Tian tanya kesibukan cewek itu sekarang, Metta juga menanyakan hal yang sama. Tian memuji Metta dengan kalimat “makin cantik aja lo guelihat-lihat. perasaan dulu tomboy banget.”, sampai kemudian merambah ke Tian yang minta nomor Whats App Metta dengan alibi biar bisa jalin hubungan pertemanan aja karena udah lama mereka gak contact.
Dafi mendecih dalam hati.
Kelihatan banget modusnya si Tian-Tian ini.
I'm jealous, I'm overzealous
When I'm down, I get real down
When I'm high, I don't come down
I get angry, baby, believe me
I could love you just like that
And I could leave you just as fast
'Cause I got issues, but you got 'em too
So give 'em all to me and I'll give mine to you
Bask in the glory of all our problems
'Cause we got the kind of love it takes to solve 'em
Yeah, I got issues
And one of them is how bad I need ya
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Wait a minute, this love started out so tender, so sweet
But now she got me smokin' out the window
Mh, mh, mh
Must've spent thirty five
Forty five thousand up in Tiffany's
Got her badass kids runnin' 'round my whole crib
Like it's Chuck E. Cheese
Put me in a jam with her ex-man in the UFC
Can't believe it
I'm in disbelief.”
Metta memasuki ruang studio anak Lima Hari dengan menenteng satu plastik yang berisi camilan yang dia beli di minimarket sambil nyanyi-nyanyi seenak hati.
Ceritanya, cewek itu janjiin Dafi buat nemenin dia di studio kalau Metta udah balik kelas. Ya karena Metta kebetulan bawa mobil sendiri, akhirnya diiyain aja. Sebetulnya, sih, gak ada jadwal rapat ataupun latihan sama anak Lima Hari, tapi karena jarak antara kampus dengan kosnya lebih jauh dibanding sama studio, maka Dafi lebih nyaman kesini aja kalu udah terlanjur capek mau nyetir jauh.
Toh, studio ini udah lengkap banget fasilitasnya. Sofa yang empuk, AC, wifi, ranjang kecil, alat buat bikin minum kopi instan, semuanya ada. Udah kayak tempat istirahat kedua atau biasanya anak Lima Hari nyebut studio mereka dengan sebutan Rest Area.
“Masuk, tuh, salam. Bukan malah nyanyi-nyanyi,” tegur Dafi ketika melihat pacarnya menutup pintu dan kini mulai jalan mendekat.
Metta nyengir. “Galak amat, Bang.”
Cewek itu mendudukkan p****t di samping Dafi yang lagi duduk nyender ke punggung sofa dengan tangan yang terletak di atas kepala sofa, memanjang. Metta mengulurkan minuman vitamin C ke arah Dafi.
“Mampir minimarket dulu tadi?” tanya Dafi sambil membuka tutup botol. “Ada beli kopi s**u apa kopi apa gitu, gak?”
Metta menggeleng. “Lo ngantuk emang?”
“Iya.”
“Masih ada kelas abis ini?”
“Nanti sore, sih.”
“Ya udah kan bisa dipake buat tidur dulu, Lima Hari gak ada latihan juga, kan?”
“Iya, gak ada. Tapi gue mau nugas.”
“Tugasnya dikerjain nanti malem aja abis ngampus. Jadi sekarang bisa buat tidur,” Metta mengusap bawah mata Dafi yang terlihat sedikit menghitam. “Lo begadang dua hari doang bawah mata lo bisa sampe kayak gini.”
“Tahu. Kayak zombie gak gue?”
Metta ketawa dan mengangguk. Cewek itu sempat mendekat dan mencium pundak Dafi sekilas. “Iya, jelek.”
“Sialan.” Dafi ikut ketawa.
Cowok itu bergerak, mengambil posisi untuk menempatkan kepalanya di atas paha Metta, menghadapkan wajahnya ke perut cewek itu.
“Kalau lo tidurnya begini, yang ada paha gue keram.”
“Gue tidur bentar, kok. Setengah jam doang.”
“Mana mungkin lo tidur cuman setengah jam. pindah, gih, ke kasur.”
“Gak mau.”
Metta menghela naas, mengalah. Dari pada dia ngedebat terus, yang mana itu bakal sia-sia karena Dafi pasti ngeyel minta buat dia diem dan gak protes.
“Geli,” komentar Metta pas mendapati hidung mancung Dafi menyentuh perutnya, seiring dengan cowok itu yang mengeratkan tangan mengelilingi pinggang ramping sang pacar.
“Ta.”
“Hm?”
“Kita pacaran berapa lama, sih, udah?”
“Hm...” Metta mikir. Jemarinya mulai menghitung karena dia sendriri sejujurnya juga gak apal dan gak pernah ngitung juga. Buat apa? “Kayaknya udah masuktiga bulan.”
“Tiga atau empat?”
“Gak tahu. Lupa gue kita jadian bulan apa. Pokoknya kalau gak tiga, ya, empat. Kenapa? Mau ngasih kado annive?”
Dafi diem bentar sebelum kemudian bergumam, tapi suaranya tetap bisa tertangkap telinga Metta. “Lo udah pernah ada di fase bosen atau nyesel karena pacaran sama gue, gak, Ta?”
“Hah apaan kok nanyanya begitu? Ya gak ada, lah.”
“Jujur.”
“Ya elah, gak pernah. Sama sekali gak pernah, Daf. Ngaco lo nanyanya.”
“Ya, kan, siapa tahu...”
“Kalau gue prbadi, sih, gak pernah. Gak tahu kalau lo. Emang lo udah kerasa bosen pacaran sama gue?”
Dafi menggeleng.
“Nyesel pacaran sama gue?”
Dafi menggeleng lagi.
“Terus kenapa nanya gitu?”
“Gue tanya aja. Mastiin.”
Metta menepuk kening Dafi pelan. “Aneh dasar,”
“Ta.”
“Hm?”
“Masih sayang sama gue, kan?”
Metta jadi tertawa. Ada apa dengan Dafi yang tiba-tiba jadi clingy begini? Gak biasanya banget. Ya biasanya juga pernah, tapi biasanya karena didukung oleh suasana yang mendukung, kayak habis noton film romance di bioskop, atau habis romantic dinner. Lah ini? Gak ada apa-apa tapi tiba-tiba ngomong deep banget.
“Masih, Dafi.”
“Gue doang apa ada cowok lain?”
“Lo doang. Ya kali ada yang lain. Bentar, deh. Lo kenapa, sih, tiba-tiba dari tadi nanyain begini? Ada yang ganggu pikiran lo?’
Dafi gak repot-repot menutupi. Jadi dia mengangguk sebagai jawaban.
“Iya.”
“Siapa? Kenapa? Denger gosip gak enak lagi? Ada yang bilang gue selngkuh dari lo?”
“Bukan, Ta,” Dafi menenggelamkan hidungnya ke perut Metta, diiringi usapan lembut di kepalanya oleh tangan halus milik kekasihnya. “Gue baru sadar aja selama ini banyak yang naksir lo.”
“Emang. Gue, kan, cantik. Wajar kalau banyak yang suka.”
“Iya. Makanya gue mikir, Metta nyesel gak ya pacaran sama gue? Soalnya yang deketin lo juga gak kalah cakep. Metta bosen gak, ya, sama gue?”
“Ini ceritanya lo lagi insecure?”
“...”
“Kenapa, sih, Daaaf?” Metta tertawa lagi sambil mencubit hidung cowok itu. “Emang lo abis bandingin diri sendiri sama siapa?”
“Gue habis lihat-lihat DM lo. Cewek gue banyak banget yang nge-DM.”
“Tapi kan gak ada yang gue balesin.”
“Ada. Tian itu?”
Ah, Metta langsung paham. Pasti pacarnya, nih, habis bacain DM i********: milik akunnya dan menemukan nama Tian yang dibalesin pesannya sama dia.
“Dia temen lama gue.”
Dafi mengangguk. “Iya, tahu. Gue udah baca.”
“Terus?”
“Tapi dia kelihatannya naksir sama lo.”
“Haduh, ngaco! Semuanya aja lo bilang naksir sama gue.”
Emang. Apa yang dibilang Metta ada benernya. Setiap kali ada cowok nyapa atau cowok DM, pasti Dafi tiba-tiba bilang, “naksir tuh dia sama lo.”, padahal kalau kata Metta, mah, biasa aja. Emang lawan jenis nyapa, tuh,tandanya naksir? Kan enggak. Namanya fitnah yang ada.
“Tapi sumpah, kelihatan banget, Ta, modusnya. Mana lo kasih pula nomor WA-nya.”
“Dafi, emangnya lo gak pernah contact sama temen lama yang beda jenis kelamin?”
Dafi diem.
“Pasti pernah, kan? Emang mereka semuanya naksir lo? Gak, kan?”
“Iya, Ta, tapi yang ini beda.”
“Apa bedanya?”
“Ya kayak firasat gue bilang dia naksir lo.”
Metta jadi ngakak denger itu. “Aduh, sayang oh sayang,” ujarnya lebay sambil mengusap pipi Dafi kayak ke anak kecil. “Lo kalau cemburu begini lucu, deh. Pantes emang jadi brondong gue.”
“Apa, sih, brondong-brondong.”
Nah, itu dia.
Selain Dafi ini anaknya suka sensitif sama cowok yang nyapa dan ngeDM Metta, dia juga paling gak suka kalau udah bawa-bawa umur di hubungannya dengan Metta. Orang lain yang gak terlalu dia kenal aja bisa kena semprot Dafi kalau sampai ketahuan ngomongin age gap in a bad way di antara hubungannya dengan Metta. Lah ini? Metta sendiri malahan yang suka bercandain.
“Ih, gak bisa diajak bercanda lo emang.”
“Bercanda lo aja gak lucu.”
“Ya udah, sekarang lo maunya gimana? Gue deactive i********:?”
“... ya gak gitu juga, Ta.”
“Iya, terus gimana, Sayang?”
Dafi diem.
Tuh, udah pasti selalu berakhir kayak gini.
Dafi selalu menggemborkan masalah yang sebenernya, tuh, gak ada sehingga ya gak ada solusi juga. Orang masalahnya aja gak kelihatan yang mana.
“Kalau dia chat gak usah dibales.”
“Kalau penting?’”
“Temen lama tuh paling penting bakal cuman ngasih undangan reuni atau nikahan. Gak sekampus gak sekantor, udah pasti gak bakal ada yang penting.”
“Iya, iya.”
“Beneran, loh, Ta.”
“Iya, Daaaaf. Bawel lo.”
“Bawel gini juga karena gue sayang.”
“Biwil gini jigi kirini gii siying,” Metta mengulang dengan nada meledek. “Dulu aja lo suka sinisin gue.”
“Ya, kan, dulu, Taaaaaaaaaaa,” Dafi nyolot sambil ngejewer pipi Metta dari bawah—iya karena posisinya kan dia masih tiduran di paha cewek itu. “Suka banget lo bawa yang dulu-dulu.”
“Ye, gue kan ngomong fakta.”
“Eh, Ta.”
“Apa lagi?!”
Denger nada sewot keluar dari bibir pacarnya bukan Dafi sakit hati, yang ada dia malah ketawa gemes.
“Kenapa?!”
“Lo sebel gak sih kalau gue posesif begini?”
Jujur aja, di antara kecemburuan yang dari tadi Dafi rasain, ada rasa bersalah yang bersemayam di benaknya. Dia sadar diri sikapnya yang satu ini tergolong posesif dan menyebalkan. Kemudian selain rasa bersalah, Dafi juga takut kalau Metta sebal—bener-bener yang sebel sampai gak nyaman. Yang mana dari rasa gak nyaman itu, bisa aja kan—
Stop, Dafi.
Cowok itu menegur dirinya sendiri.
Stop overthinking dan takut berlebihan!
“Ya sebel, lah!”
Dafi melebarkan mata. Menatap pacarnya dari bawah dengan mata melotot. “Serius?!”
“Iya. Ini udah jawab jujur loh gue. Ya lo kira orang waras mana yang gak sebel kalau gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba dituduh begini begitu padahal enggak?!”
“Gue kan gak nuduh lo, Ta...”
“Tapi lo gak percaya kalau si Tian gak naksir gue.”
“Gue cuman jaga-jaga. Masa salah, sih, begitu ke pacar gue?”
“Itu namanya lo gak percaya sama pacar sendiri.”
“Gue percaya sama lo, tapi gak sama cowok-cowok di sekitar lo.”
Metta memutar bola matanya. “Terserah, deh.”
“Lo tuh sebel begini soalnya lo gak bisa ngelihat diri lo sendiri, Ta.”
“Hah?”
“Coba kalau lo bisa ngelihat diri sendiri—bukan pas ngaca, ya, maksud gue—lo bakal tahu kalau sekali lihat aja orang bisa naksir.”
“Halah, peres lo.”
Dafi meraup wajah pacarnya dari bawah. “Dibilangin juga.”
“Terus kenapa lo gak pernah ketar-ketir kalau gue sama Jefran? Gue kan malah kemana-mana sama dia kalau gak ada lo. Di kelas duduk sebelahan terus, sekelompok terus, ke perpus bareng—“
“Ya soalnya anak Lima Hari gak ada yang suka makan temen, Ta,” jawab Dafi yakin. “Lagian seleranya Bang Jefran gak kayak lo.”
“Apa? Lo mau bandingin gue sama pacarnya Jefran? Gea?”
Dafi tanpa rasa bersalah mengangguk. Metta langsung melotot dan bersiap mendorong kepala Dafi kalau aja pacarnya gak langsung ngelanjutin dengan kalimat yang bikin dia terbang ke langit ke tujuh.
“Cewek gue lebih segala-galanya dari pada cewek manapun, Ta,”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
So desperately hoping
I was wrong this time, but why
Just walk away from your words
Pierce right through me
Spinning out of control
My heart beating for you
Shatters and breaks into
A thousand little pieces
This is the end of my love
Itu bukan lagu.
Dafi dan Metta bukan sengaja dengerin lagu melainkan nada dering dari ponsel Metta, lah, yang bunyi. Cewek itu emang sengaja pakai ringtone dari lagu band pacarnya sendiri sih. Biar kelihatan bangga aja sama pacarnya. Toh dia emang bangga betulan punya pacar seorang Dafi anak drummer dari Lima Hari ini.
Tapi bukan itu permasalahannya.
Melainkan Dafi yang gak membiarkan pacarnya menjauh barang satu senti. Gimana nggak? Mereka, nih, jarang banget mesra-mesraan. Mesra-mesraan yang dimaksud adalah touch lips to lips alias ciuman maksudnya.
Iya, padahal keduanya sama-sama sering banget berduaan di tempat sepi tapi mereka emang sejarang itu ciuman yang intimate. Selama ini keduanya lebih suka merangkul dan kecup doang kalau mau pisahan sebagai formalitas.
Toh mungkin ini juga didukung oleh love language mereka berdua yang bukan physical touch tapi quality time. Maka dari itu, mereka gak kayak Brian dan Jefran yang apa-apa cium, apa-apa gelendotan, apa-apa ke kamar. Karena bagi mereka berdua, quality time jelas lebih penting dari pada apapun.
Nah, kali ini, mungkin karena suasana dan momennya lagi pas aja karena mereka berdua abis ngeluarin unek-unek satu sama lain dan berakhir bilang sayang juga satu sama lain, Dafi akhirnya nyium si pacar, yang mana dapet respon bagus.
Dafi baru ngeh kalau dia sekangen dan sesayang ini sama Metta. Makanya itu dia juga gak ciuman yang buru-buru, tapi pelan dan lembut banget, malahan Metta yang kayak gak sabaran.
Wait, emangnya gak sabaran, tuh, gak sabar mau ngapain, sih? Orang mereka juga gak pernah lebih dari pada ini intimatenya.
Kala ciuman Dafi lebih menuntut dari biasanya, apa lagi tangannya yang berada di pinggang Metta lebih kerasa menekan dan bergerilya lembut bikin ceweknya geter, Metta berusaha menjauh, melepaskan pagutan—tapi Dafi malah menggigit bibirnya, pertanda menolak tawaran Metta buat melepas ciuman.
Bahkan sampai dering telepon yang dimaksud Metta tadi berdering, Dafi masih gak ada tanda-tanda ngelepasin Metta. Cewek itu mendorong paksa pundak sang pacar, yang mana jadi mengundang tatapan penuh protes dari Dafi diiringi decakan kesal.
Belum sempat Metta menjauh demi meraih ponselnya yang ada di tas—dan sialnya tasnya dia taruh agak jauh dari sofa dan harus berdiri dulu kalau mau ambil—Dafi udah kembali menghujami kecupan di leher Metta.
Gila. Cowok itu pasti udah gila.
Tiga bulan—atau udah empat bulan, entahlah, dia lupa—mereka udah resmi jadi pacar, Dafi gak pernah menyentuhnya lebih dari bibir. French kiss aja juga gak pernah.
Tapi lihat apa yang sekarang cowok itu lakukan. Bisa-bisanya tiba-tiba bibir laki-laki itu berlabuh di lehernya yang suci ini. Mana Dafi menahan pinggangnya agar gak menjauh dan kemana-mana pula.’
“Dafi.”
Sialnya, suara yang diniatkan buat negur dan berhentiin Dafi itu malah terdengar jadi erangan di telinga Dafi. Membuat cowok itu menyeringai senang dan semakin semangat memberi kecupan basah di perpotongan leher Metta.
“Daf, jangan. Nanti merah.”
Dafi menjauhkan kepala dan menatap Metta dengan seringai jahil. “Oh, ya? Kok tahu kalau bakal merah?’
“Ya gue gak sepolos itu, kali!”
“Gue gak tahu, tuh, kalau bakal merah. Kita buktiin aja kali. ya?”
“Daf—sial.”
Telat lagi. Ucapannya selalu didahului dengan Dafi yang dengan cekatan bergerak lebih dulu, kali ini bahkan gak segan buat mengangkat pingang Metta dan membawa gadis itu ke pangkuan.
Sialan. Metta memaki dalam hati.
Apa pacar brondongnya ini gak sadar kalau mereka masih ada di studio!? Untung aja gak ada CCTV.
“Dafi...”
“Apa, Sayang?”
“Udah, ih.”
Dafi memberi hisapan sesaat sebelum benar-benar menyudahi. Dia menyeringai senang karena mendapati ada bekas keunguan di bagian tulang selangka Metta.
“Bagus juga ternyata bikin bekinian.”
Metta melotot dengan pipi memerah. Duh, kenapa dia baru tahu kalau dia punya pacar yang bisa nakal begini!?
“Mau bikin juga, gak, di gue?”
“Gak!”
Dafi ketawa, dikecupnya pipi Metta dengan sayang, lalu bibirnya kembali bergeser ke arah bibir, melumat lagi benda kenyal kesayangannya tersebut sebelum kemudian—
“Astaghfirullahaldzim!”
“Anjrit!”
“Woah, astaga!”
“s**t, hahahaha!”
Empat teriakan terkejut itu—udah jelas dari siapa—mengejutkan Dafi dan Metta yang sedang b******u. Metta langsung mendorong Dafi dan merapikan kaosnya yang padahal gak kenapa-napa.
“Anjrit, sejak kapan nih studio Lima Hari jadi hotel?!”
Dafi meringis, telinganya memerah. Dia mengumpat dalam hati karena jujur aja dia juga malu kali ke gap begini sama temen-temennya. Dia yakin abis ini bakal jadi bahan ledekan minimal sampai sebulan ke depan.
“Lihat leher Metta. Ck, ck, kenapa? Kegigit nyamuk, ya, Ta?” Jefran ngakak, bikin Metta melotot ke arah anak ayam itu. “Nyamuknya nakal, ya, Ta?!”
“Diem lo, Jef.”
“Hahahahaha.”
Brian yang nyengir doang dari tadi jadi ikut membuka suara sambil geleng-geleng kepala dengan kedua tangan ada di depan d**a seolah miris dengan kelakuan Dafi—yeu, padahal mereka semua, anak Lima Hari ini, tahu siapa yang kalau pacaran paling parah.
“Ya ampun anak muda. Gue baru tahu Dafi bisa buas juga. Udah sampai mana tadi, Dek?”
“Diem lo, Bang!”
“Hahahaha!”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *