* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Aku kadang bingung, deh, Nya.”
Wildan dan Kanya yang beberapa saat sebelumnya sama-sama sibuk sendiri-sendiri dengan laptop di hadapan masing-masing kini gerakan jari Kanya yang sedang mengetik jadi berhenti. Dia menoleh dan mengangkat alisnya sesaat sebelum kembali mengetik sambil menjawab.
“Bingung kenapa?”
“Pas kapan lalu kamu ke rumah Tiara itu, yang terus ketemu aku.”
“Iya, kenapa?”
“Kamu kayak rame banget gitu kalau sama Tiara.”
Karena Wildan ngomongnya, nih, enggak langsung to the point, Kanya jadi benar-benar menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh sepenuhnya ke arah Wildan yang masih ngelihatin Power Point Interaktifnya dengan fokus, tapi juga tetep bisa ngomong lancar.
“Maksudnya gimana, sih?”
“Kamu,” ulang Wildan. “Kalau sama Tiara bisa rame banget gitu. Kayak tiba-tiba talkative gitu, loh, Nya. Kenapa aku gak pernah tahu kalau kamu bisa serame itu jadi orang?”
“Hah? Emang iya?”
Wildan ngangguk. “Beneran.”
“Perasaan Kakak aja, kali. Maksudku, iya sih aku tahu kalau aku sama Tiara bisa mendadak rame sendiri, tapi sama Kakak juga gitu, kok. Yang enggak, tuh, kalau aku sama anak lain. Soalnya temen deketku, ya, cuman Tiara. Sama Kakak.”
“Aku temen deket?” Wildan noleh.
Kanya ketawa. “Maksudku yang deket banget sama aku. Ih, sensi banget ngelihatnya.”
“Biasa aja padahal.”
“Ya intinya begitu, Kak Wil.”
“Tapi kalau sama aku gak pernah serame kalau kamu sama Tiara.”
“Sumpah, aku gak ngerasa gitu.”
“Aku ngerasanya gitu.”
Kanya mengernyitkan dahi sambil intropeksi diri. Masa iya dia begitu?
Kanya meneguk minumannya yang dia pesan hingga tandas—karena emang udah tinggal dikit. “Mungkin karena kalau sama Tiara, aku udah kenal lama.”
“Gak ngaruh, ah. Lebih sering kamu ketemu sama aku dari pada sama Tiara.”
“Ih, aneh, deh. Ini maksudnya Kakak ngomong kayak gini biar apa? Kakak iri sama Tiara?”
“...”
“Iya?”
“Bukan iri. Kayak bocah aja kalau disebut iri.”
Kanya senyum meledek. “Terus?”
“Takut kalau sebenernya kamu lebih nyaman kalau ngobrol sama Tiara. Maksudku, kamu gak senyaman itu ngobrol sama aku dibanding sama Tiara.”
“Gak gitu, dong, Kakak sayaaaaang,” Kanya berucap dengan gemas. Gak habis pikir kenapa bisa-bisanya Wildan mikir sampai kesana. Mana ngomongnya random banget di tengah-tengah ngerjain tugas. “Kalau sama Tiara, kan, emang banyak yang dibahas. Dan gak semua yang aku bahas sama dia, bisa dibahas kalau aku sama kakak.”
“Contohnya?”
“Kalau aku ngefangirl. Lee Min Ho, boyband Korea, atau bahkan Kak Dafi.”
Wildan mendengus. “Dafi aja mulu.”
Kanya nyengir. “Biasanya juga curhat soal Kak Wil.”
“Masa?” Wildan langsung noleh. “Bahas apa?”
“Ya bahas kamu.”
“Cerita kayak gimana?”
Jujur aja, nih, Wildan langsung penasaran, dong. Walaupun tanpa dikasih tahu sebenernya ia udah tahu kalau gak mungkin Tiara dan Kanya gak pernah membicarakan tentang dia, tapi kalau denger langsung begini tetep bisa bikin nyengir. Iya nyengir selama yang diomongin pacarnya yang bagus-bagus. Kalau kebalikannya, mah, beda lagi rasanya.
“Ada, lah. Kepo banget. Udah sana kerjain.”
Wildan yang terlanjur penasaran jelas gak mau mengalah gitu aja. Dia mencubit pipi Kanya hingga cewek itu memukul-mukul tangan yang digunakan untuk ia mencubit. “Aih, lepas! Sakit!”
“Bilang dulu, dong.”
“Kan rahasia cewek!”
Tangan Wildan masih berada di pipi Kanya, bedanya kalau tadi nyubit, sekarang dia ngusap-ngusap pipi yang udah ada bekas kemerahan karena dbarusan dia cubit itu. Well, kulit Kanya ini emang putih bersih—banget. Makanya kepentok dikit jadi lebam, kena cubit dikit merahnya awet, intinya waran kulit dia jadi sensitif.
“Aneh-aneh, nih, pasti ngomongnya? Atau cerita yang jelek-jelek?” tuduh Wildan curiga. “Wah, dasar nih,”
“Enggak. Aku gak pernah jelekin kamu.”
“Tiara tapi pasti yang jadi kompor.”
Mendengar itu, Kanya langsung ketawa dan gak mengelak. Karena kenapa harus mengelak orang tebakanya Wildan bener, kok.
“Tuh, kan. Emang dasar Tiara, tuh.”
“Gak papa, kali. Gak mempan juga dia mau ngejelekin kakak kayak gimana. Aku udah terlanjur disini, sama kakak.”
“Kalimat kamu aneh. Kedengerannya jadi seolah kepaksa mau pacaran sama aku karena udah terlanjur.”
Kini giliran Kanya yang mencubit pipi Wildan sampai mengaduh. Malah Kanya lebih ganas lagi kalau nyubit, sampai suara cowok itu yang meminta dilepaskan jadi pusat perhatian di kafe tersebut. Iya, mereka berdua nih lagi ngerjain tugas bareng di kafe, duduk bersebelahan, dan sibuk sama laptop masing-masing—tadinya begitu.
“Rasain! Sakit, kan, dicubit? Bayangin gimana rasanya aku yang kakak cubit sehari sepuluh kali?”
Wildan mengusap pipinya sambil meringis. “Gila, kamu gak sadar kamu tuh nyubitnya kecil banget? Jadi kayak nyelekit di pipi.”
“Bodo amat.”
“Nya, tapi beneran, nih. Tiara cerita yang jelek-jelek kayak gimana?”
“Biasa aja, Kaaak. Lagian Tiara bukan yang jahat gimana-gimana kok ngejelekinnya. Dia, tuh, kayak ibu kamu sendiri loh jadinya. Kadang jelekin, kadang dibanggain.”
Kanya terkekeh kalau ingat gimana biasanya Tiara tuh hype banget nyeritain omnya ini.
“Masa kemarin Kak Wil tidur sampe ngorok, Kak! Mana kedengeran sampai ruang tamu!” ujar Tiara beberapa waktu lalu. “Tapi kasihan, sih. Soalnya pulang dari rumah kak Kanya itu, kan, emang agak maleman, ya? terus baru masuk langsung vidcall-an sama Lima Hari buat bahas apaan gitu, gak paham. Baru tidur dan kedengeran ngorok pas aku kebangun buat tahajjud.”
Kayak gitu salah satu contoh percakapan Tiara kalau lagi muji-muji, kasihan, sekaligus ngeledek Wildan. Kanya sadar, sih, betapa om dan ponakan ini memiliki hubungan yang sangat rekat. Kelihatan giman Wildan sayang banget sama Tiara walaupun lebih sering ngomel, juga sebaliknya.
“Malah ngelamun,” Wildan mencolek dagu pacarnya kemudian ngelirik ke arah ponsel Kanya untuk neglihat sekarang udah jam berapa. “Jam sebelas, Nya. Pulang, yuk.”
“Sumpah jam sebelas?”
Kanya langsung melotot kala menemukan Wildan gak bohong. “Ayo, deh. Pulang sekarang—eh, kakak emang udah selesai?”
“Udah, udah aku kumpulin juga.”
“Oh, ya udah. Ayo.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
She played the fiddle in an Irish band
But she fell in love with an English man
Kissed her on the neck and then I took her by the hand
Said, "Baby, I just want to dance"
I met her on Grafton street right outside of the bar
She shared a cigarette with me while her brother played the guitar
She asked me what does it mean, the Gaelic ink on your arm?
Said it was one of my friend's songs, do you want to drink on?
She took Jamie as a chaser, Jack for the fun
She got Arthur on the table with Johnny riding a shotgun
Chatted some more, one more drink at the bar
Then put Van on the jukebox, got up to dance
Kayak biasanya aja, emang Wildan gak bisa banget kalau di mobil gak ada lagu. Katanya sepi. Padahal biasanya dia juga ngobrol mulu sama Kanya sepanjang perjalanan.
Setelah dia memastikan kalau volume MP3 di mobilnya gak terlalu kenceng, Wildan ngelirik ke arah Kanya yang terlihat tergesa-gesa ambil hape di dalam tas kemudian menghidupkan benda canggih tersebut. Tahu apa yang dipikirin sama sang pacar, Wildan langsung membuka suara.
“Gak papa, Nya. Gak usah panik gitu. Aku tadi udah pamitan ke papa mama kamu.”
Kanya langsung noleh, cepet banget. “Beneran?!”
“Iya.”
“Kapan?”
“Pas kamu ke toilet tadi. Soalnya aku ngerasa kita bakal pulang lebih malem—orang tugasnya banyak banget emang. Makanya aku nelpon ke mama kamu, terus yang angkat papa kamu.”
“Kamu bilang gimana?”
“Ya bilang seadanya. Masa mau bohong? Orang beneran mau nugas.”
“Terus Papa bilang kayak gimana?”
“Bilang enggak apa-apa, asal jangan sampai lewat tengah malem. Teus aku gak boleh nyetir kalau ngantuk, takut kenapa-napa di jalan.”
“Gak ada ngomong sesuatu yang mengerikan?”
Wildan ketawa. “Mengerikan apa, deh, maksudnya?”
“Ya kayak tanda-tanda kalau mau marah.”
“Enggak ada, Kanya. Tenang aja.”
Kanya langsung menghembuskan nafas kasar, lega setengah mati. “Ya udah, lega aku jadinya. Aku, tuh, gak pernah pulang jam segini tahu, Kak—terakhir pulang jam segini pas aku nonton Disnatnya kakak dulu sama Lima Hari.”
“Tapi yang waktu itu juga kamu gak dimarahin, tuh?”
“Iya, soalnya kan emang udah pamit dari jauh-jauh hari akunya.”
Wildan manggut-manggut. “Lagian kamu kemana-mana kan pasti jujur ke papa mama kamu. Gak perlu, lah, takut kalau dimarahin.”
“Tetep. Kadang aku gak enak sendiri karena mama jadi gak tidur karena nungguin akupulang.”
‘She’s worry. Semua ibu pasti bakal gitu kalau anak gadisnya belum pulang.”
Kanya mengangguk. “Makanya.”
Wildan tersenyum kecil sembari mengusap puncak kepala Kanya dengan sayang. Tersenyum manis kala Kanya langsung balas tatapannya.
“Anak baik.”
“Ih,” Kanya malah jadi ngakak. “Kalau kakak mujinya gitu jatohnya bukan kayak dari pacar tapi dari ayah sendiri.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Mengingat keduanya tadi emang sengaja cari kafe yang gak rame karena mau fokus nugas bukan nongkrong doang—dan ternyata harus agak jauh tempatnya dari rumah, gak heran kalau Kanya jadi ngantuk di perjalanan. Mana biasanya dia jam segini udah tidur pula kalau di rumah.
Sebenernya Kanya bukan anak rumahan. Dia juga suka, kok, di ajak main ke tempat rame, ke luar kota, kemana-mana. Tapi dia memang cenderung lebih seneng kalau quality timenya tuh di rumah aja. Maka dari itu, jadwal pacaran mereka berdua lebih sering di rumah salah satu dari mereka dari pada keluar dan main kemana-mana kayak tipe pacaran ala Brian.
Selain itu, sekalipun Kanya ini fangirl—tapi dia gak alay. Gak kayak Tiara. Dia suka, kok, membicarakan idolanya tapi gak berlebihan. Tetep classy aja gitu Wildan ngelihatnya. Terus kalau Tiara suka banget begadang buat ngehabisin episode Drama Korea atau nontonin video di Youtube dan lain sebagainya, Kanya malah gak suka begadang. Di jam sepuluh adalah jam maksimal dia udah harus tidur. Mungkin karena dari kecil udah dibiasain kayak gitu, jadi Kanya juga gak suka begadang.
Segala sesuatu tentang Kanya itu rapi dan teratur. Yang ini juga kayaknya bawaan dari orang tua dia. Apapun selalu terjadwal dengan baik. Makanya Kanya jarang panik lupa ini atau lupa itu. Karena apapun sama dia selalu dicatet. Anaknya seperfeksionis itu emang.
Makanya, dari semua sifat yang barusan disebutin, gak heran kalau di jam segini—jam-jam yang mana semua anak milenial kebanyakan malah begadang buat nonton atau ngapain, kek, yang gak penting—Kanya malah udah gak betah banget berada di luar rumah, pengen segera bersihin badan dan tidur.
Diliriknya sekali lagi Kanya yang menguap—ke tiga kalinya selama perjalanan. Wildan mengangkat tangannya yang menganggur untu mengusap kening cewek itu dengan jempolnya. Kanya yang udah hampir gak kuat membuka mata jadi mengerjap.
“Tidur aja. Nanti aku bangunin kalau udah sampai rumah.”
Kanya menggeleng. “Nanti Kakak gak ada yang ngajak ngobrol.”
“Gak papa. Biasanya kalau nyetir sendirian juga jadinya gak ngobrol.”
“Tapi nanti kamu ngantuk, Kak. Soalnya sepi.”
Wildan menghela nafas. Pacarnya ini emang perhatian, tapi terlalu perhatian kalau menurut Wildan. Perkara Wildan yang gak tega kalau Kanya tetep maksain buka mata padahal ngantuk aja sama Kanya dipikir sampai kemana-mana.
“Tidur, Sayang,” Wildan berujar lembut. “Lima belas menit, kan, lumayan buat tidur. Lagian ini lagunya nyala, gak bakal ngantuk aku.”
“Bohong.”
“Tadi aku juga udah pesen kopi. Inget?”
Tapi Wildan beneran gak ngantuk, sih, emang. Baru jam sebelas, man. Cowok tuh tidurnya kalau gak jam satu, ya, jam dua. Atau malah ada yang ngegame sampai shubuh baru tidur pas kaget tahu-tahu udah ada matahari nongol depan jendela kamar.
“Gak papa?” Kanya menguap lagi dan segera menutup mulutnya. “Gak papa aku tinggal tidur?”
“Iya. Gih,”
Kanya tersenyum. Dia gak bilang apa-ap, hanya merapatkan jaket Wildan yang dia pakai untuk menutupi bagian depannya sebagai ganti selimut lalu menghadapkan wajah ke arah Wildan, matanya mulai terpejam.
Lampu merah di depan membuat mobil Wildan berhenti. Dia membenarkan letak jaketnya yang dipakai Kanya, kemudian mengusap lembut kening cewek itu.
Wildan udah bilang belum, sih, kalau dia sayang banget sama Kanya?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Nya...”
Wildan mengusap pelipis Kanya, mencoba membangunkan sang kekasih yang terlelap begitu nyenyak padahal posisi tidurnya gak ada nyaman-nyamannya sama sekali. Emang apa enaknya tidur sambil duduk begitu?
“Kanya, bangun...”
Cewek yang namanya baru disebut dua kali itu kemudian langsung mengerjap, dia melirik Wildan, lalu ke arah luar jendela. Rautnya bingung sekali.
Kenapa, ya, kalau kebangun abis tidur dalam perjalanan tuh kerasa kayak orang linglung?
Sebenernya Wildan gak perlu tanya, sih. Karena dulu dia siswa dari jurusan IPA yang alhamdulillahnya dikarunia kepintaran lumayan banyak, dia udah tahu jawaban dari pertanyaan tersebut sejak ia kelas sepuluh. Salahkan rasa penasaran Wildan yang selalu out of the box dan banyak ingin tahu tentang ha-l-hal realistis yang terjadi di sekitarnya.
Kalau Wildan gak salah inget, namanya hipersomnia.
Istilah ini digunakan untuk mendefinisikan kantuk berlebihan yang dapat mengganggu fungsi normal dan mempengaruhi kinerja. Ada keinginan besar untuk tidur dan kesulitan untuk sadar atau tidak kebingunan kala terbangun. Pada umumnya, rangsangan kebingungan dapat berlangsung mulai dari 5 menit hingga 15 menit. Namun ada juga beberapa kasus yang berlangsung selama 40 menit.
“Udah sampe?”
Wildan mengangguk, tangannya masih setia ngusapin kening Kanya, yang mana gerakan itu agaknya salah banget karena yang ada bikin Kanya pengen tidur lagi.
Cewek itu mengucek matanya beberapa saat, kemudian duduk tegak membuat jaket Wildan yang dia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya langsung luruh begitu aja. Kanya merapikan barangnya.
“Pastiin gak ada yang ketinggalan.”
Kanya mengangguk. “Charger hapeku dimana?”
“Oh, iya. Tadi aku pinjem, ya?” Wildan langsung buka tasnya sendiri, mencari barang yang dimaksud. “Ini.”
“Oke, aku bawa, ya?”
“Iya. Orang emang punya kamu. Makasih, ya.”
Kanya angguk-anggukin kepala. “Kamu turun dulu, gak?”
Ditanya begitu, Wildan jadi ragu buat jawab.
Bukan dia males turun atau takut dimarahin nyokap atau bokapnya si pacar, tapi karena lampu rumah Kanya udah mati semua, tinggal yang halaman depan doang. Itu tandanya semua orang di dalam rumah itu udah tidur. Dia, kan, gak enak kalau mau bertamu jam segini walaupun dia pasti gak bakal masuk tapi cuman pamitan doang.
“Tapi kayaknya papa sama mama udah tidur,” Kanya noleh ke belakang, ke arah rumahnya yang gelap gulita di bagian dalam. “Gak usah, deh, ya. Gak enak kalau bangunin mereka.”
“Gak papa aku gak turun?”
“Gak papa. Papa pasti ngerti.”
Wildan manggut-manggut.
“Udah? Aku bisa turun sekarang?”
Cowok itu ketawa. “Sini. Lupa aku. Ada yang kurang, ya?”
“Apa kok sini-sini?”
Padahal Kanya tahu apa yang dimaksud. Well, walaupun dua manusia itu bukan pemilik love language jenis physical touch yang apa-apa, dikit-dikit, harus bersentuhan—maksudnya bukan sejauh itu, tapi rangkul-rangkul, PDA, dan lain-lain begitu kayak Jefran-Gea atau Brian-Nindya.
Tapi tetep. Apa, sih, yang diharapin dari isi otaknya anak Lima Hari? Kisseu-kisseu, tuh, udah kayak separuh jiwa mereka.
“Sini,” Wildan meminta, sambil menarik lembut lengan kurus pacarnya.
Jujur aja. Sebenernya ini bukan yang pertama.
Well, ciuman pertama mereka adalah kala mereka udah dapet satu bulan lebih lima hari setelah jadian—yang mana itu first kissnya Kanya, juga Wildan. Beruntung banget, kan, sama-sama dapet first kiss?
Tapi entah kenapa, Kanya selalu aja dibuat malu setiap kali Wildan hendak mendekatkan wajah mereka. Mungkin malu yang dia rasakan gak bakalan separah ini kalau aja sebelum Wildan menciumnya, cowok itu gak perlu pake ngerapiin poninya, mengusap pipinya, sudut bibirnya, menatap matanya lama, gak perlu kayak gitu-gitu.
Tapi ini Wildan Gusti, yang terkenal paling bisa bikin baper Kanya.
Cowok itu tersenyum kecil menemukan Kanya tersenyum malu hingga pipinya memerah. Di bawah lampu mobil yang tidak terlalu terang karena Wildan sengaja membuat lampu itu jadi temaram, Wildan mendekatkan wajah.
Dia memiringkan wajahnya dan menempelkan bibirnya di atas bibir Kanya.
Ah, perasaan mereka berdua masih sama. Sama seperti dua bulan yang lalu juga bulan-bulan sebelumnya sebelum dua bulan itu, kala mereka mulai dekat. Masih seperti ada yang mengocok isi perutnya, menebarkan kupu-kupu di dalam sana, membuat jantung keduanya berdegup kencang.
Tapi Wildan dan Kanya sama sekali tak pernah keberatan. Yang ada malah bahagia karena memiliki perasaan yang sama. Sama indahnya, sama besarnya, sama sayangnya.
Kala Wildan menggerakkan bibirnya agar merangkum lebih banyak benda lembut dengan lipbalm rasa stroberi yang rasanya sudah tak asing lagi, Kanya mengangkat tangannya, mengusap rahang Wildan. Tapi itu pertanda bahwa laki-laki tersebut harus berhenti.
Jadi Wildan menjauh, melepaskan ciuman mereka.
Itu memang belum memasuki fase apa-apa. Tapi memang begitulah keduanya sama-sama berusaha menjaga diri, tak ingin melewati batas, dan tak ingin memiliki penyesalan kemudian jika suatu hari keduanya jadi menginginkan yang lebih dari ini.
Karena Wildan mencintai Kanya sepenuh hatinya. Merusak perempuan yang dia cintai tidak pernah ada di daftar tingkah laku yang ingin dia lakukan.
Ain't never felt this way
Can't get enough so stay with me
It's not like we got big plans
Let's drive around town holding hands
And you need to know
You're the only one, alright, alright
And you need to know
That you keep me up all night, all night
Oh, my heart hurts so good
I love you, babe, so bad, so bad, oh
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *