Pagi menyapa dan Divi sudah memutuskan sesuatu. Ia ingin pergi ke Bogor untuk sekedar bepergian. Akhirnya setelah bangun pukul 06.30 pagi yang sangat memberatkan matanya, Divi pun selesai bersiap setelah pukul 07.00 pagi.
Ia hanya membawa totebagnya sedangkan pakaian yang dipakainya nampak casual. Divi melihat dirinya di cermin kemudian teringat sesuatu tentang penampilannya saat ini. Ini adalah penampilannya dulu sebelum bekerja di majalah mode fashion. Andai saja Emily melihatnya berpenampilan seperti sekarang, dia pasti akan membuat lautan makian untuknya.
Bahkan jika diingat kembali, Divi pernah melakukan hal itu. Tak hanya satu dua kali, tapi beberapa kali yang jarang. Dan banyak orang yang menatapnya dengan sebal, beberapa menegurnya, dan ada juga yang memakinya karena tidak sesuai dengan ciri khas pekerjaan mereka sebagai pegiat fashion modern.
Ke luar dari kamarnya dengan pelan, Divi bersyukur karena penghuni apartemennya yang lain masih berada di dalam kamarnya. Ia tak melakukan apapun untuk mengganjal perutnya dan buru-buru pergi meninggalkan apartemen.
Setelah berada di pintu luar, Divi justru dikagetkan dengan keberadaan seseorang di belakangnya.
“Ya ampun!” Divi memegangi dadany. Ia merasa kena spot jantung karena keberadaan orang di belakangnya yang tiba-tiba. “Ehm Rangga?”
“Kamu mau ke mana? Kok udah rapi dan bawa tas?” tanya Rangga penasaran.
“Kamu sendiri udah dari luar.”
“Aku olahraga. Kemarin saat di restoran aku udah ajak kamu kan kalau aku mau olahraga pagi.”
Divi terkekeh pelan. “Oh iya benar,” katanya malu-malu.
“Kamu sendiri mau ke mana?” tanya Rangga, mengulang kembali pertanyaannya.
“Ehm ... mau ke Bogor.”
“Jadi mau balik kampung?” tanya Rangga cukup terkejut. Padahal kali terakhir, wanita di depannya itu bilang bahwa ia tidak mau ke Bogor karena tak memiliki tujuan jelas, karena rumah keluarganya sedang disewakan pada seseorang.
Divi nyengir kuda. Ia menganggukkan kepalanya. “Ya udah, aku jalan dulu ya.”
“Nggak mau kuantar?” tawar Rangga saat Divi mulai melangkah meninggalkannya.
Divi berbalik badan, setelahnya ia menggelengkan kepala. “Nggak perlu. Aku mau naik KRL aja.”
Rangga diam sejenak sedangkan Divi buru-buru berjalan meninggalkan laki-laki itu. Bahkan saat ia memasuki lift, Divi masih melihat Rangga yang berdiri dan memperhatikannya.
Setelah pintu lift di depannya tertutup, Divi menghela napasnya dengan lega. Ia tidak ingin Rangga mengantarkannya karena tak ingin membebaninya. Divi kini mulai sadar diri, sudah banyak bantuan yang diberikan oleh Rangga, jadi ia harus lebih mandiri agar tidak menjadi beban untuk teman seapartemennya itu.
Ke luar dari lift, Divi segera berjalan menuju pintu ke luar gedung apartemen. Ia terus berjalan dan akhirnya sampai ke depan jalan. Ia naik taksi menuju stasiun terdekat. Ia ingin ke Bogor dan melihat kondisi rumahnya.
***
Sesampainya di depan rumah miliknya, Divi berdecak beberapa saat. Pasalnya setelah 5 tahun dan dikunjungi rumahnya makin mengerikan. Cat tidak diperbarui, baik cat tembok maupun cat pagar rumahnya.
“Astaga, kenapa rumahnya serem banget?” gumam Divi. “Beda banget kalau Papa dan Mama yang urus.” Divi mengingat bagaimana ayah dan ibunya adalah perpaduan yang luar biasa soal merawat rumah. Sang ayah biasanya suka memperbaiki rumah atau mengecat rumah, sedangkan ibunya paling jago soal merawat tumbuhan. Namun sekarang, bahkan di depan rumahnya yang tadinya ditumbuhi banyak tanaman hias kini begitu tandus. Potnya masih ada tapi tumbuhannya ... entah ke mana Divi tak tahu.
Divi menghela napasnya. “Pak, ke Sentul ya.”
“Oh nggak jadi turun, Bu?” tanya supir taksi itu.
Divi menggelengkan kepalanya. “Nggak, Pak. Jalan lagi!”
“Baik, Bu.” Setelahnya taksi kembali melaju. Divi pun dibawa ke tempat yang ingin ditujunya. Namun sebelum supir taksi itu bertanya alamat lebih lengkap yang mereka tuju, Divi meminta berhenti. Ia membayar kargo taksi lalu turun dari taksi yang ditumpanginya.
Menghirup udara Bogor, Divi mengulum senyumnya. Ia melihat sekitarnya di mana banyak orang yang tengah berlalu lalang sambil melakukan kegiatannya. Entah sedang berlari atau berjalan-jalan santai. Mereka berjalan di trotoar jalan.
Divi tak tahu ke mana ia akan pergi. Jadi ia hanya asal saja berjalan menyelusuri jalan. Setelah menemukan kursi taman yang kosong dan tak berpenghuni, ia duduk dan merogoh tas untuk mengambil ponselnya.
Beberapa saat kemudian, Divi mengambil foto di sekitarnya sambil tersenyum. Ini adalah foto pertamanya di Bogor.
Mendadak ia menyesal karena saat ke rumahnya, ia tak mengambil foto dan mengirimkannya pada sang ayah. Pasti ayah atau ibunya akan shock dengan penampakan rumah mereka yang tak terurus dengan baik.
Divi menghela napasnya lalu melihat sekitarnya lagi. Resiko berjalan sendirian adalah ia hanya bisa bicara dalam hati dengan dirinya sendiri.
Mengambil earphone dari totebagnya, Divi kemudian memasangnya di kedua telinga. Ia menyambungkannya dengan ponsel dan mulai menyetel lagu yang ada di playlist musik.
Setelah mendengar lagu Bella Poarch, Divi pun mulai enjoy dengan keberadaannya yang sendirian di tengah keramaian.
***
Divi menunggu di depan restoran yang diminta oleh Hana, teman sekantornya dulu. Ia mencoba menghubungi Hana karena ingin masuk ke dalam restoran. Bukankah menyebalkan jika ia harus menunggu di depan restoran yang tak ber-AC sementara di dalam ruangan restoran ia bisa menikmati sejuknya ruang ber-AC.
“Halo, Div!”
“Masih lama nggak? Aku masuk duluan aja ya. Nggak enak ini karena tunggu di luar, dikira aku satpam restoran lagi,” gerutu Divi segera setelah Hana mengangkat panggilannya.
“Sabar sabar. Ini aku udah sampai nih di parkiran,” kata Hana lagi yang langsung membuat Divi celingukan ke sana ke mari. Dan benar saja, tak lama kemudian ia melihat sebuah mobil berwarna putih baru memasuki lahan parkir.
Setelah menunggu mobil di depannya berhenti, Divi pun melihat Hana yang baru saja ke luar dari mobil yang ditumpanginya. Wanita itu nampak berbeda. Sangat berbeda.
Divi mengulum senyumnya saat melihat Hana berjalan menghampirinya. Ada hal yang membuatnya tersenyum selain wajah Hana yang makin membengkak, tapi karena ukuran perutnya yang membesar.
Divi merangkul Hana kemudian memeluknya saat wanita hamil itu sampai di depannya. Mereka berpelukan beberapa saat kemudian sambil tertawa.
“Aku nggak nyangka kalau kamu ngehubungi aku terus minta ketemuan mendadak kayak gini,” kata Hana memulai obrolannya. Mereka mulai masuk ke dalam restoran yang baru dibuka itu. Pengunjungnya tidak banyak saat ini.
“Iya. Maaf ya. Aku ganggu nggak nih?” tanya Divi balik. Ia tak enak hati jika malah mengganggu kegiatan Hana sebenarnya.
“Nggak. Tadi aku habis nganterin Mas Bagas ke kantor terus ke sini.”
“Ini hari libur Pak Bagas masih kerja aja,” kekeh Divi.
Hana menganggukkan kepalanya. “Nyebelin kan? Kayaknya laki-laki di dunia ini sama aja. Suka banget kerja.”
“Ada juga yang suka selingkuh,” kata Divi yang langsung dibalas tawa oleh Hana.
Hana tentu saja paham dengan maksud Divi. Yang sedang disindirnya saat ini adalah mantan suaminya. Hana dan Divi duduk di kursi kosong hingga beberapa saat kemudian pelayan restoran menghampirinya sambil membawakannya menu makanan.
“Kamu mau pesan apa, Div?”
“Aku mau nasi dong! Belum sempat sarapan nih dari pagi,” kata Divi jujur.
Hana segera menyerahkan buku menu pada Divi setelah selesai memesan. Wanita hamil itu hanya memesan pisang panggang dan orange jus.
Divi memilih beberapa saat kemudian, lalu menatap pelayan yang masih berada di depan mejanya dan Hana. “Mbak, saya pesan nasi uduk, ayam kalasan, jus jeruk, sama air mineral satu ya.”
“Baik, Bu. Ada lagi?” tanya pelayan itu kini berganti melihat ke arah Hana.
“Saya pesan pisang panggang sama jus jeruknya satu ya, Mbak.”
Pelayan mengangguk sambil menulis. Setelah selesai membuat pesanan, pelayan kembali menyebutkan pesanannya, setelah dikonfirmasi kembali, pelayan itu pun pergi meninggalkan meja makan sambil membawa serta buku menu berukuran A3 itu.
Sepeninggalan pelayan restoran, Hana menatap Divi dan tersenyum senang. “Kamu harus cerita ke aku tentang kegiatan kamu sekarang,” kata Hana tiba-tiba penasaran.
Divi tertawa pelan.
“Sekarang kamu kerja di mana, Div?” tanya Hana.
“Aku kerja di redaksi majalah fashion.”
“What?” Hana tak bisa mempercayainya sama sekali. “Seorang Divi yang kalau pakai baju punya prinsip pakai yang nyaman kerja di majalah fashion?”
“Tuh kan. Sama aja kayak kamu, aku juga nyaris nggak percaya kalau aku udah kerja di majalah fashion. Aku udah kerja selama tiga tahun di Sydney,” kata Divi jujur. “Sekarang aku dipindah ke cabang baru di Jakarta.”
“Jadi kamu tinggal di Jakarta sekarang?” tanya Hana lagi.
Divi menganggukkan kepalanya. “Iya begitulah,” katanya mengakhiri cerita singkatnya dengan senyuman. “Terus kamu sendiri gimana sekarang? Ah kaget aku lihat kamu udah jadi bumil.”
“Jangankan kamu, aku juga kaget jadi kayak gini!” Hana memegangi perut buncitnya. “Ini semua gara-gara Mas Bagas. Dia ngehamilin aku!”
Divi tertawa keras mendengar pernyataan yang dibuat oleh wanita di depannya. “Jangan nyalahin orang! Kamu juga kan seneng mainnya!”
“Apaan sih nih, Hana jorok ngomongnya!” tukas Hana.
Divi terkekeh pelan. “Iya deh, sorry.”
“Terus kamu gimana sekarang, udah ada pacar atau calon suami sekarang?” tanya Hana, menggodanya.
Divi diam sejenak. Tanpa sadar ia memanyunkan bibirnya dua senti. “Nggak ada apa-apa. Habis galau berlalu, aku mengalihkan pikiranku buat bekerja. Jadi nggak sempat cari pacar apalagi calon suami.”
Hana menghela napasnya. “Tapi sekarang udah nggak galau lagi kan?”
Divi menggeleng pelan. Namun ia merasa tidak nyaman saat mengingat bahwa ia tinggal satu apartemen dengan Jayden, sang mantan suami yang pernah menyelingkuhinya.
“Tapi emang lebih baik mengalihkan pikiran galau tuh dengan bekerja ya,” kata Hana berkomentar.
“Bener banget,” Divi mengangguk setuju. “Nggak perlu sakit hati yang lain juga.”
Hana tersenyum tipis. “Oh ya kabar anak kamu sekarang gimana? Ehm siapa tuh namanya, aku lupa saking lamanya.”
“Emilio, Han,” balas Divi mengingatkan Hana tentang nama buah hatinya.
“Gimana kabarnya sekarang?” tanya Hana penasaran.
“Baik. Aku sebenarnya agak merasa bersalah ke Emil. Aku kan sekarang kerja, jadi aku sama Emil kayak nggak terlalu dekat. Emil juga setiap hari lebih sering diasuh oleh mamaku.”
Hana mendadak terdiam. Ia hanya mendengarkan.
“Tapi misal aku nggak kerja kayak sekarang, aku akan tetap jadi beban untuk orang tuaku.”
“Selalu ada hal yang harus dikorbankan ya, Div?”
Divi mengangguk setuju.
“Aku yakin anak kamu akan paham,” kata Hana membesarkan hati sahabatnya itu. “Ehm kalau Jayden gimana? Dia ngasih nafkah nggak sih setelah kalian bercerai. Ya seenggaknya buat anak kalian, Emil.”
Hana mengedikkan bahunya. “Kami lost kontak saat aku dan keluargaku pindah rumah.”
“Jadi dia nggak ngasih nafkah buat anaknya?”
“Aku nggak terlalu memikirkannya sih, toh aku bisa membiayai kebutuhan anakku dengan penghasilanku sendiri. Ini gunanya aku kerja.”
“Ih tuh orang kok gitu ya!” kata Hana tak habis pikir. “Padahal aku sering lihat dia di televisi. Jadi bintang tamu, mentor acara modeling. Kesel juga gue lihatnya! Dia pernah jadi tukang selingkuh tapi malah kerjaannya bagus-bagus aja.”
Divi hanya terdiam. Ia menunduk sambil mengulum senyumnya.
“Eh sorry, Div.”
“Nggak papa, Han. Santai aja. Lagian aku udah tahu kok soal Jayden. Dia makin tajir kayaknya.”
“Lo tahu kabarnya, Div?” tanya Hana penasaran.
“Percaya nggak, tapi sekarang aku kerjasama sama Jayden. Dia jadi model utama di acara pembukaan majalah mode InSight Love! tempat gue kerja sekarang.”
“Oh my God,” Hana membekap mulutnya saking shocknya. “Jadi kamu udah ketemu sama Jayden?”
Divi menganggukkan kepala.
“Terus gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana. Lagian aku ketemu dia kan karena urusan pekerjaan. Bukan masalah pribadi masa lalu yang harus diungkit—ungkit lagi.”
Hana menghela napasnya. “Pasti berat banget ya.”
“Nggak kok. Aku juga harus membiasakan sih. Kadang aku pikir-pikir, Emil juga butuh untuk bertemu langsung dengan ayah kandungnya. Meskipun aku masih ngerasa sakit hati soal masa lalu kita, tapi Emil udah lama jadi korban keegoisanku.”
“Yang egois tuh Jayden, Div. Kalau dia nggak selingkuh kalian pasti akan tetap bersama kan?”
Divi langsung menggelengkan kepalanya. “Aku nggak yakin sama sekali. Emang sejak awal pernikahanku dan Jayden kan karena kehamilanku. Kalau aku nggak hamil, mungkin kita bahkan nggak menikah sama sekali.”
“Tetap aja, selingkuh itu nggak bisa dibenarkan, Div,” kata Hana. Ia hanya ingin menggaris bawahi soal perlakuan Jayden yang b******k dulu yaitu berselingkuh.
“Ya udahlah, Han. Lagian udah masa lalu juga.”
Hana menghela napasnya. “Jayden nanya-nanya soal anak kalian nggak?” tanya Hana lagi penasaran dengan kehidupan teman di depannya.
“Ya pernah tanya, tapi aku masih belum bisa menerima kalau Jayden mau ketemu Emil nanti.”
“Jadi Jayden nggak pernah ketemu Emil?”
“Dulu sampai sebelum pindah rumah kedua di Sydney, dia masih bisa ketemu sama Emil. Tapi setelah pindah dan kita lost kontak, Jayden belum pernah lagi ketemu sama Emil.”
“Rasain sih!” Hana justru bersyukur membuat Divi terkekeh pelan.[]