Prolog
Siang itu adalah musim hujan di bulan Februari. Seorang anak laki-laki tampan dengan celana bahan selutut dan hoodie berwarna navy baru saja turun dari bus yang ia tumpangi dari pulau jawa bagian barat.
Tangan mungilnya mengucek sejenak matanya yang gatal karena baru saja terbangun dari mimpi. Kemudian dia menatap sejenak, kota yang nampak asing untuk dirinya.
Hari ini adalah hari pertamanya pergi ke kota dengan lambang buaya dan ikan hiu. Di belakangnya, seorang wanita cantik dengan dres putih selutut tengah membawa koper kecilnya.
“Sandykala, berhenti mengucek matamu. Nanti matamu merah dan sakit,” peringat Aelius.
Sandykala menurut, kemudian dia mengikuti mamanya kemana wanita itu akan pergi. Langkah kecilnya terhenti saat melihat seorang gadis kecil yang tengah merengek karena di jahili oleh anak laki-laki yang mungkin sepantaran denganya.
Entah mengapa ia merasa tertarik dengan gadis itu. Kulitnya nampak putih bersih dan ia memiliki rambut yang indah serta lebat dengan panjang sepunggung. Sebenarnya ia hendak mendekati gadis kecil itu, namun Aelius terlebih dahulu memanggilnya.
“Sandykala, kemarilah. Ayo kita makan siang,” seru Aelius yang telah mengambil nasi kotak untuk dirinya dan anak laki-lakinya.
“Iya, Ma.”
Sandykala berjalan mendekati Aelius, kemudian dia menerima jatah nasi kotaknya. Beberapa orang menyapanya dan memuji ketampananya, itu membuatnya sedikit risih.
“Ma, aku ingin makan di sana,” tunjuk Sandykala di gazebo yang terlihat banyak anak kecil seumuranya di sana.
Aelius mengangguk menyetujui. “Jangan nakal ya dan berkenalanlah sama yang lain agar kamu mempunyai banyak teman.”
“Iya, Ma.”
Sandykala membawa nasi kotaknya menuju gazebo yang terletak tidak jauh dari cafetaria hotel tempatnya menginap nanti. Dia tersenyum simpul kepada anak-anak yang ada di sana.
“Hai, aku boleh gabung?” pinta Sandykala menggemaskan.
Salah satu dari mereka mengangguk menyetujui. Ia menggeser tubuhnya memberi ruang untuk Sandykala.
Sandykala mengulurkan tangan mungilnya. “Aku Sandykala, kalian?” ucapnya memperkenalkan diri.
“Aku Bumi. Dia Venus, di sampingnya itu Altair, dan itu Mars,” ujar Bumi memperkenalkan dirinya dan teman-temannya.
“Kamu pasti dari Jakarta ya? Aku tadi gak lihat kamu di bus,” tebak Venus dengan mulut yang masih penuh dengan makananya.
Sandykala mengangguk untuk membenarkan. Kemudian dia membuka kotak nasinya dan melihat apa menu makan siangnya kali ini. Saat hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, Sandykala tidak sengaja melihat gadis kecil yang mencuri perhatianya tersebut.
Ia menajamkan matanya untuk melihat apa yang tengah di lakukan gadis itu. Gadis itu ternyata sedang memberikan jatah makan siangnya kepada seorang pengemis. Wajahnya nampak begitu cantik di mata Sandykala. Apalagi saat gadis itu tersenyum lugu pada pengemis tersebut.
Sandykala memutuskan untuk turun dari gazebo. Dia berlari ke Ceilo, ayahnya, untuk meminta satu nasi kotak lagi.
“Pah, aku boleh minta satu nasi kotak lagi?” pintanya.
Ceilo yang tengah asik makan dan mengobrol dengan beberapa karyawanya menatap putra semata wayangnya tersebut. “Kamu belum dapat, Sandykala?”
Sandykala menggeleng lemah. “Untuk teman ku.”
Salah seorang karyawan Ceilo memberikan sekotak nasi untuk Sandykala. Sandykala menerimanya dengan sopan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih pada karyawan ayahnya tersebut.
“Terima kasih, Om.”
“Sama-sama, Kala.”
Sandykala pun berjalan menghampiri gadis kecil tadi.
“Maaf ya, Kek, Aruni cuman punya nasi ini. Semoga bisa membantu Kakek ya,” ujarnya lugu memberikan jatah makan siangnya ke kakek pengemis tersebut.
“Masyaallah, makasih, Nak. Kakek sudah dari kemarin belum makan. Semoga kamu di beri kebahagiaan dan kesuksesan nanti,” balas pengemis tersebut menerima makanan dari Arunika.
“Aamiin. Makasih, Kek, doanya. Kakek juga, semoga sehat selalu dan panjang umur.”
Arunika kembali memasuki pelataran hotel. Ia berjalan dengan senyum merekah dan tidak pernah luntur. Sebuah nasi kotak terulur di depanya. Seorang anak laki-laki asing memberikanya dan membuat Arunika bingung.
“Aku sudah mendapatkan jatah makan ku kok,” tolak Arunika tidak enak. Pasalnya ia tahu satu orang hanya mendapat satu nasi kotak.
“Aku tahu jatah makan siang kamu tadi kamu kasihkan ke kakek pengemis di depan sana, kan? Kata Mama, kalau kita melewatkan jam makan kita nanti kita bakal sakit,” urai anak laki-laki tersebut.
“Tapi-,”
“Ambilah. Ini milik mu,” potong Sandykala kekeh.
Arunika dengan ragu-ragu mengambil nasi kotak tersebut dari tangan Sandykala.
“Terima kasih ....”
“Sandykala,” sambung Sandykala memperkenalkan dirinya.
“Terima kasih, Sandykala,” ulang Arunika dengan senyum manisnya.
Sandykala mengangguk. Rasanya ia benar-benar jatuh cinta pada gadis kecil di hadapanya tersebut.
“Nama kamu siapa?”
“Ah ya. Kenalkan aku Ghania Arunika Elara, kamu bisa manggil aku Aruni,” jawab Arunika mengulurkan tangan kananya.
Sandykala menerima uluran tangan Arunika. Ia tersenyum manis menanggapinya.
“Aku boleh panggil kamu Allura?” izin Sandykala.
Arunika nampak menyirit heran. “Allura? Atau Elara?”
Sandykala terkekeh melihat Arunika yang nampak kebingungan.
“Allura itu artinya peri cantik. Aku mau panggil kamu Allura karena kamu itu seperti peri dan kamu itu cantik,” terang Sandykala yang membuat Arunika tersipu malu.
Sandykala meraih tangan kanan Arunika untuk ia gandeng.
“Ayo, Allura, kita makan bersama. Kamu belum makan, kan?”
“Iya, Kala.”
Arunika dan Sandykala duduk di gazebo bergabung dengan yang lainya. Arunika nampak sudah akrab dengan yang lain meski ini adalah pertama kalinya ia bertemu dengan mereka kecuali Bumi. Karena Bumi adalah teman sekaligus tetangga Arunika sedari kecil.
“Kala, kamu jangan mau deket-deket sama Aruni. Dia itu suka ngupil sembarangan,” fitnah Bumi yang memang suka menjahili Arunika.
“Gak ya. Kamu yang suka ngupil sembarangan. Jangan percaya sama dia, Kal,” kilah Arunika kesal.
“Iya. Mana mungkin peri cantik suka ngupil,” bela Sandykala enteng.
“Kamu suka ya sama Arunika?” tebak Mars yang duduk di samping Bumi.
“Eh tapikan Aruni pacarnya Bumi,” celetuk Altarik.
Bumi nampak menatap tajam Altarik. “Gak ya, masa aku pacaran sama tukang ngupil sembarangan,” tolak Bumi mentah-mentah.
“Iihh, siapa juga yang mau pacaran sama kamu. Kamu aja masih suka ngompol,” balas Arunika tidak terima di hina oleh Bumi.
“Sudah, Bum, All, jangan berantem mulu,” tengah Sandykala.
Sandykala tidak tega saat melihat mata Arunika yangg mulai memerah. Sepertinya gadis itu benar-benar kesal sama Bumi. Namun entah mengapa ia tidak suka saat Altarik tadi mengatakan bahwa Arunika adalah pacar dari Bumi.
Arunika yang dalam posisi ngambek pun dia turun dari gazebo untuk mencari orang tuanya. Atau mungkin jika ia bertemu dengan orang tua Bumi nanti dia akan mengadukan ulah Bumi yang terus menjahilinya.
“Tuhkan, Bum, Allura jadi marah gara-gara kamu,” tukas Sandykala saat Arunika telah memasuki cafetaria hotel.
“Allura?” beo Bumi.
“Iya, itu panggilan dia dari aku. Dan cuman aku yang boleh panggil dia Allura.”