Bab 1
Pakaian Bekas Ibu Masih Banyak. Buat Apa Beli Yang Baru?
"Mas, bagaimana kalau Adek beli gamis baru untuk di pakai pas acara pernikahan Cindi Nanti?"
Aku mendekati Mas Galih yang sedang duduk santai di teras rumah dan mencoba merayunya.
"Lho baju lebaran mu kemarin kan masih bagus, Dek?" Mas Galih mengernyitkan dahi.
Aku menghela nafas kecewa. ini pertanda buruk. Dari nada suaranya saja terdengar keberatan.
"Mas, baju lebaran saya kemarin sudah enggak muat lagi. Apalagi di bagian perut. Bisa sesak nafasku,"
Aku mengelus perut yang sudah membesar.
"Enggak gitu juga kali Dek, Mas lihat baju kemarin itu masih cukup besar di badanmu,"
Lagi-lagi aku kecewa dengan jawabannya.
"Mas, Mas mau melihat aku sesak nafas di acara pernikahan Cindi?" Aku cemberut.
Acara resepsi pernikahan Cindi, adik bungsu Mas Galih akan di selenggarakan sepuluh hari lagi. Aku merasa perlu juga sesekali berdandan cantik. Sudah capek rasanya sehari-hari dengan gamis dan daster-daster bekas mertuaku. Daster warisan. Di antara daster-daster itu sudah banyak yang bolong-bolong akibat termakan usia.
Bukan tidak bersyukur, tapi sebagai istri yang sedang hamil anak pertama, aku kecewa. Ingin rasanya sesekali mencoba mencicipi daster baru, atau gamis baru. Apalagi di acara penting keluarga.
"Kalau begitu, ya sudahlah, Mas,"
Dengan gontai aku melangkah masuk. Sebulir tetesan kuning menetes dari sudut. Sebegitu susahkah untuk sekedar membeli selembar gamis?
"Dek," sebuah tangan menggenggam jemari ku dari belakang.
Aku menoleh,
"Ada apa lagi, Mas?"
"Adek marah?" Tanyanya.
Sepatutnya sebagai suami ia tidak perlu bertanya lagi.
"Tidak." Jawabku.
Dalam hati aku berkata memang benar aku tidak marah, tapi lebih tepatnya kesal. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja tidak mengindahkanku.
"Dek, nanti aku bicarakan sama ibu. Adek yang sabar dulu ya,"
Aku menghela nafas. Selalu saja begitu, apa-apa selalu mau bilang sama ibu terlebih dahulu.
"Nggak usah, Mas." Jawabku.
Aku melangkah, namun lagi-lagi mas Galih menahanku.
"Ya udah jangan marah, Sayang. Mas akan usahakan," ujarnya cepat.
"Baiklah."
Aku menjawab tanpa memandang ke mukanya.
Terlihat Mas Galih menuju ke lantai atas, ingin menemui ibunya mungkin. Ya selama ini ibu mertuaku yang memegang seluruh kendali kebutuhan rumah. Mulai dari membeli kebutuhan dapur, listrik, air, hingga pakaian dalam, semuanya ibu mertuaku yang ngatur.
Sial memang hidupku, kurang lebih sepuluh juta dari gaji Mas galih sebagai anggota pejabat di kantor perusahaan swasta, bagianku hanya lima ratus ribu sebulan. Selebihnya ibu mertuaku yang pegang. Dengan alasan untuk kebutuhan seisi rumah.
"Kiara, tolong rapikan meja makan ya! Sebentar lagi sudah waktunya kita makan malam," teriak ibu mertua dari pucuk tangga di lantai dua.
Tanpa menjawab aku melangkah ke dapur.
Ku pandang meja makan yang baru saja di utak-atik sama Angga, suami Mbak Megan kakak sulung Mas Galih yang juga tinggal di rumah ini.
Aku berusaha menahan kehidupan ini karena anak di perutku.
Untuk mengadu pada orang tua, aku tak mempunyai nyali yang cukup. Pernikahanku dan Mas Galih dulu memang menuai ketidaksetujuan Papa.
Namun karena cintaku sama Mas Galih, akhirnya pernikahan itu tetap terjadi juga.
Sekarang, untuk menyembunyikan nasibku yang apes, terpaksa aku pura-pura bahagia di depan kedua orang tuaku.
***
"Bu," seorang lelaki menghampiri seorang ibu yang berpakaian rapi yang sedang duduk di sofa.
"Ada apa Galih?" Tanggap wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar pipih di tangan.
"Mmm, bisa Galih bicara sebentar?" tanya Galih.
"Ya,"
"Masih adakah sisa uang Galih di tangan Ibu?" Tanya Galih hati-hati.
"Kenapa bertanya soal uang, Nak?"
"Begini, Bu. Aku ingin membelikan Kiara pakaian untuk ia kenakan di acara resepsi pernikahan Cindi nanti," ujar Galih menjelaskan.
Bu Farah, ibunya Galih meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Galih, pakaian ibu banyak, bagus-bagus lagi. Gamis ibu juga masih selemari penuh yang tidak terpakai. Semuanya pas di tubuh istrimu. Buat apa membeli yang baru kalau yang ada masih lebih dari cukup? Jangan ajari istrimu untuk berboros, Nak! Cari uang itu susah. Apa kau ingin istrimu hidup bergelimang kesenangan, sedangkan kau sendiri yang kesusahan mencari pendapatan"
Galih terdiam mendengar ibunya bicara. Entah mengapa meskipun hatinya bertolak belakang dengan apa yang ibunya katakan, namun hatinya terasa segan dan lidahnya terasa kelu meskipun untuk sekedar mengutarakan pendapatnya sendiri.
"Bu, sekali ini saja aku mohon, aku kepingin membelikannya gamis baru yang ia pilih sendiri di butik langganan ibu," dengan ragu-ragu Galih mencoba untuk bicara kembali.
"Buat apa kau ingin mengajaknya ke butik langganan ibu? Harga di sana tidaklah main-main. Sudahlah, Galih. Hentikan omongan konyolmu,"
Galih memandang langit-langit ruangan. Ada rasa iba menyelimuti hatinya tatkala membayangkan wajah sendu Kiara yang tadi meminta dibelikan gamis.
"Galih, kau satu-satunya anak laki-laki ibu. Ibu menaruh harapan besar padamu. Ibu berharap kamu bisa membimbing adik dan mbakmu. setelah ayahmu tiada, kau adalah tulang punggung dari keluarga kita. Jadi bijaklah sebagai suami. Jangan turuti semua kemauan istrimu. Karena itu bisa membuatnya manja. Kalau dia banyak keinginan, suruh saja dia cari uang sendiri. Maaf, bukan ibu bermaksud jahat. Tapi itu demi kelangsungan hidup kalian. Seandainya saja dia bekerja, tentu saja pemasukan ekonomi akan bertambah. Dia..."
"Cukup, Bu!" Galih memotong pembicaraan ibunya.
"Kenapa? Kamu rela membentak ibu demi Kiara?" Bu Farah bangkit dengan melotot.
"Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud membentak. Tapi aku kurang setuju ibu menyarankan Kiara untuk bekerja. Dia sedang hamil anakku, Bu. Tidak mungkin aku membiarkan dia kecapean bekerja,"
"Kalau kau tidak ingin melihat Kiara kecapean bekerja karena sedang hamil, maka kau juga harus menasehatinya agar jangan banyak keinginan ini dan itu. Jadi istri itu harus kudu nurut. Kau tahu ajaran agama bukan? Istri itu harus patuh pada suami. Sebagai istri saja Kiara sudah nampak sebagai pembangkang, apalagi nanti sebagai ibu dari anakmu. Bisa-bisa kepalamu dia injak-injak. Jadi lelaki jangan mau terlalu dikuasai sama wanita. Pertahankan harga dirimu, Nak. Pertahankan takdirmu sebagai suami. Jangan lemah karena istri. Dan satu lagi yang terpenting, jangan pernah kau merendahkan ibumu ini demi perempuan itu. Dia hanyalah orang lain yang kebetulan kau nikahi dan kau bawa ke rumah ini,"
Kali ini Galih benar-benar tutup mulut dengan ucapan sang ibu.
Iya merasa serba salah, susah menimbang antara buah pemikiran sang ibu dengan kejujuran di hati kecilnya. Entah ada rasa tidak setuju dengan nasehat dari mulut sang ibunda.
Namun karena rasa hormat yang dijunjungnya sedari kecil, membuat Galih merasa ragu dan sungkan untuk menyangkal ucapan Bu Farah.
Sebentar kemudian, terlihat Bu Farah memasuki kamarnya yang berukuran cukup luas.
***
"Kiara ...!" Terdengar suara ibu mertua memanggil-manggil dari ambang pintu kamar kami.
"Ya, Bu," aku berjalan mendekatinya.
"Ada apa Bu?" Aku bertanya.
"Ini, untukmu. Itu lumayan banyak dan masih bagus semua. Nanti aku akan minta tambahan sama Megan. Dia juga mau punya banyak pakaian yang sudah tidak terpakai lagi."
Ibu mertuaku menyodorkan sebuah plastik putih besar dihadapanku.
Setelah itu Bu Farah melangkah keluar.
"Oh ya, kurasa kau tidak perlu lagi membeli yang baru, itu sudah lebih dari cukup" sambungnya sebelum benar-benar pergi.
Penasaran kucoba membuka plastik hitam yang tadi ia sodorkan.
Mataku menitikan tetesan bening. Di dalam plastik tersebut ternyata berjubel-jubel potongan gamis dan daster bekas.
Seperti biasa, nampak potongan-potongan gamis keluaran beberapa tahun yang lalu dengan warna yang mulai memudar.
"Astagfirullahaladzim, dia pikir siapakah aku ini? Sehingga patut untuk memakai dan mengenakan pakaian bekasnya setiap saat,"
"Tak akan pernah kupakai lagi pakaian-pakaian ini, akan kubuktikan bahwa aku bisa membeli semuanya bahkan lebih dari yang selama ini kalian kenakan,"