KEHANCURAN CINTA
PROLOG
“Kamu cemburu?” Yama ulang bertanya.
“Aku cemburu dengan Frasha.”
“Dia selalu kamu utamakan,” imbuh
Sahima.
“Itu benar.”
“Apa pun tentang dia, selalu akan
menjadi prioritas kamu. Melebihi diri kamu sendiri.”
“Itu benar, Hima.” Yama memberi
penekanan lebih kuat dalam kata-katanya. Sinis nadanya.
“Dia demam saja, kamu akan panik.”
“Aku tidak bisa melihat Frasha
sakit.”
Sahima sesak oleh jawaban
dilontarkan sang suami. Yama terlalu jujur mengungkapkan pendapat tanpa
memikirkan perasaanya.
“Andai dia mengalami keguguran
seperti yang terjadi padaku, apa kamu akan terpukul?”
“Aku belum pernah tidur dengan
Frasha.”
“Seandainya.” Sahima lekas meralat.
Yama pasti tahu maksudnya. Tak
perlu untuk menerangkan panjang lebar kembali.
Tinggal menunggu bagaimana respons
yang hendak ditunjukkan sang suami.
“Aku akan terpukul.”
Dua patah kata saja dikeluarkan,
tapi sudah sukses membuat dadanya kian terbakar.
Spontan, Sahima berdecak sinis.
Perasaannya mulai terguncang. Ia
amat siap untuk melepaskan segala uneg-uneg yang selama dua bulan terakhir
dipendam.
“Aku tidak sanggup kehilangan calon
anakku.”
“Kamu sudah kehilangan calon
anakmu, Yama!” Sahima berteriak dengan emosi yang menggebu-gebu. Kemarahan
memuncak.
“Calon bayi di rahimku sudah mati!”
“Kamu tidak terlihat terpukul sama
sekali." Sahima menaikkan intonasi.
“Kamu masih bisa bersenang-senang
dengan perempuan yang paling kamu cintai.”
“Cuma aku yang berduka karena
kehilangan calon bayiku, Yama!"
“Kamu sedikit pun tidak peduli.
Kamu tidak pernah sekali saja bertanya bagaimana rasa dukaku karena keguguran
yang aku alami.”
“Aku hancur!”
“Aku hancur karena calon bayiku
mati!”
“Aku ingin mati juga!”
Sahima masih ingin berteriak marah
dengan semua rasa sakit hatinya, namun sang suami malah bergerak menjauh
darinya.
Kungkungan pria itu pun sudah usai.
Yama terus berjalan mundur dengan
langkah kaku. Tatapan masih terpaku pada dirinya dengan sorot yang semakin
dingin.
Kedua tangan sang suami terkepal
kuat.
Pria itu tengah emosi?
Karena luapan kemarahan telah ia
tunjukkan? Apa Yama berhak bereaksi seperti ini?
Terlebih selama ini, tidak satu pun
empati dan dukungan yang diberikan untuk keterpurukan dirinya dalam belenggu
duka kehilangan.
“Dia sudah seharusnya mati.”
“Dia tidak pernah aku harapkan.”
Sahima membeku di tempat. Diterjang
rasa kejut luar biasa akan ucapan Yama.
Air matanya yang mati-matian
ditahan keluar, jelas meleleh deras seketika. Pertahanan diri tidak bisa
diteruskan saat hati begitu perih oleh kekecewaan mendalam.
“Aku tidak pernah menginginkannya.”
Yama seperti mempertegas kembali
semua yang sudah diucapkan sebelumnya.
Kaki Sahima lantas bergerak amatlah
cepat, seakan sangat lentur. Ia pun sampai di depan sang suami yang berdiri
cukup jauh.
Saat ingin diteriakan umpatan, Yama
justru sudah lebih dulu mendorongnya lagi hingga terdesak ke dinding.
Mengungkung dengan kedua tangannya dicengkram pria itu.
“Kenapa kamu harus hancur? Dia
sudah mati. Tidak ada yang bisa kamu harapkan lagi, Hima!”
Tubuh Sahima bergetar. Isakan
mengeras. Ia benci dengan kata-kata menyakitkan Yama.
“Kamu bodoh ingin mati, hanya
karena anak itu. Hidup kamu masih panjang, Hima.”
“Dia pergi karena dia tahu dia
tidak pernah diharapkan untuk hidup selamanya.”
Tepat setelah Yama menyelesaikan
ucapan, pria itu melepas pegangan tangannya. Ia jelas memanfaatkan untuk
melayangkan tamparan.
Plak!
Sahima sudah kehabisan kesabaran.
Berada di titik puncak amarah dan kemuakan.
“Walau kamu tidak mencintaiku, kamu
tidak pantas membenci calon anakmu, Yama.”
“Aku tidak membencinya.”
“Aku hanya tidak menginginkan dia.”
Dengan air mata terus mengalir
keluar, tidak dapat Sahima dipindahkan satu detik pun atensi dari sang suami
yang kian menjauh.
Sahima baru merosot jatuh ke
lantai, sesudah memastikan Yama sungguh masuk ke kamar.
Di sanubari terdalam, Sahima
bersumpah jika akan membalaskan semua rasa sakit hatinya.
Dirinya akan hamil kembali darah
daging pria itu. Membuat Yama begitu menginginkan anaknya, namun tak akan
pernah bisa untuk dimiliki oleh sang suami.
Yama pantas merasakan dukanya.