Pengakuan

1102 Kata
    “Lo bilang Karina? Gila ya? Kurang apa si cewek sampai yang cowok masih nyari mainan?” Jihan menggelengkan kepala. Semakin heran dia dibuat dengan kelakuan Bagas. Atau memang cowok seperti itu ya? Nggak cukup hanya satu orang saja?     “Mungkin Karina percaya mau gimanapun, Bagas tetap balik ke dia,” gumam Kanaya.     “Disatu sisi keren ya perempuan yang punya keyakinan sebesar itu. Tapi di sisi lain kayak lagi berjudi dan mempertaruhkan banyak. Hatinya kuat ngeliat orang yang dia suka harus mengeluarkan kebiasaan buruknya. Kepercayaannya sangat tinggi bahwa seseorang bakalan berubah.”     “Lo gimana setelah ini? Masih mau tinggal di rumah Dean sampai kapan? By the way, gue penasaran sama hubungan lo dan Dean. Kalian cocok loh bareng, chemistry antara kalian tuh kuat banget.” Kanaya langsung memiringkan badannya, menumpukan kepalanya dengan satu tangan menghadap ke Jihan yang malah mencebikkan bibirnya.     “Apa sih, gue sama Dean nggak ada apa-apa. Dia udah banyak bantu gue aja makanya gue nggak pernah berantem lagi sama Dean. Lagian bentar lagi gue bakalan pindah dari sini. Gue, Bunda dan juga Budhe udah nemuin rumah yang tepat buat kita bertiga tempati. Justru tempatnya lebih lapang daripada dulu. Budhe merelakan tabungan pensiunnya. Katanya sih beliau lebih suka barengan sama kita daripada harus tinggal dengan adeknya,” ujar Jihan setengah tertawa.     “Lo tahu nggak, Kan? Gue besok ketemu sama Tissa, kita mau ngobrolin banyak hal. Gue pengen nge-clear-in sesuatu. Termasuk persepsi gue terkait hubungan dia sama Bagas. Gue nggak berusaha buat nyalain Tissa. Itu pilihannya ketika menjalin jenis hubungan seperti itu dengan Bagas. Tapi aku jadi ngerasa tersisihkan disini. Lo aja tahu Tissa sempat ada hubungan dengan Bagas. Gue? Serius, gue kayak orang yang bener-bener nggak peka disini. Gue kayak ngerasa, gue bukan temen kalian.”     Kanaya kembali merebahkan badannya. Mulai ikut menerawang kembali melihat plafon. Kanaya tidak ada pembelaan apapun karena pada awalnya Kanayapun tahu dari Ikbal. Saat itu Kanaya memilih untuk tidak ikut campur terlalu dalam dengan hubungan Tissa dan Bagas. Karena mereka sama sama saling sepakat dan setuju. Mereka mengakhiripun dengan hal yang biasa. Karena apa yang mereka sepakati, apa yang mereka setujui sudah terpenuhi. Mereka emang nggak butuh romantisasi, mereka hanya butuh memenuhi sesuatu.     “Baguslah, lo nggak benci sama Tissa.”     “Mana mungkin gue bisa benci. Andil dia dalam hubungan gue sama Bagas justru malah bikin gue yakin Bagas cowok yang harusnya gue hindarin, cuman nih dari kemarin mereka berdua belum tahu dan kayaknya nggak ngeuh sama perubahan sikap gue. Kayaknya baru nyadar gara-gara gue nggak datang ke acara pameran lukisan Tissa. Malamnya kan Tissa nih, kalau Bagas siangnya gue sentak. Kesel gue. Kayak tahu amat sama kehidupan gue. Dia sama Dean aja, ngertian Dean,” ujar Jihan teringat dengan kejadian siang itu. Rasa kesalnya muncul tapi kemudian dia menoleh karena Kanaya tertawa.     “Ngapa lo malah ketawa?” heran Jihan memandang sahabatnya dengan kening berkerut.     “Lo tadi bilang apa? Kagak ada apa-apa sama Dean? Tapi lo mulai bandingin Dean dan Bagas. Itu berarti, lo mulai developing your feeling towards him.”     “Nggak usah mulai. Eh, gue telpon Bagas ya. Gue mau ngomong sama dia juga. Nggak enaknya kalau pacaran dari circle yang sama tuh kek gini. Mau putus kasar, jadi susah. Gue nggak pengen ngorbanin tali yang udah kita rangkai sejak lama. Yang gue pengen benerin yang bikin talinya rusak.”     “Oke, oke, setuju. Lo loudspeaker aja.”     Jihan mengangguk kemudian bangun untuk meraih handphonenya di nakas. Kanaya ikutan bangun dan terlihat bersemangat ketika sambungan telpon mulai terhubung.     “Jihan, akhirnya lo mau telpon gue” ujar Bagas cepat. Nadanya sangat terdengar khawatir. Kanaya terlihat sedang berpikir sedang Jihan tetap fokus berbicara dengan Bagas.     “Hai, Gas. Gimana kabar lo? Maaf ya…dari kemarin gue nggak angkat telpon lo atau bales chat dari lo. Gue sekarang udah kerja jadi lumayan sibuk sama urusan kampus dan kerjaan.”     “Beneran? Ah yaudah yang penting lo nggak kenapa-napa. Terakhir kita ketemu, lo bentak gue dan lo nangis. Gue kepikiran sampai sekarang.”     “Gas, bisa nggak kita ketemu ?” tanya Jihan.     “Bisa banget ! lo mau ketemu kapan ? sekarang ? gue jemput ya ? lo ada dimana sekaranng tinggalnya ? Bunda baik-baik aja kan?” Jihan agak kaget karena Bagas terlihat seperti mengkhawatirkannya, nggak seperti Bagas yang harusnya biasa saja dengan dia yang merupakan mainannya. Jihan melirik ke Kanaya yang terlihat semakin dalam berpikir.     “Gue pengen kita ketemu besok, mungkin sorean? Kita ketemuan aja di Café Almameter. Boleh nggak gue minta waktu lo barang sejam aja. Nggak lama kok,” ujar Jihan.     “Dengan senang hati, Han. Lama juga nggak papa. Gue mau banget ketemu. Gue juga dah kangen banget sama lo. Kalau lo butuh dijemput bilang ya? Gue pasti mau jemput lo banget,” balas Bagas dengan riang     “Makasih ya, Gas. Met ketemu besok ya,” setelah itu Jihan langsung memutuskan koneksi telponnya dan menatap mata Kanaya.     “Lo ngerasa ada yang aneh nggak sih, Han? Kok gue ngerasa ada yang janggal ya?”     “Janggal gimana maksud lo? Dia emang selalu kayak gitu kok ke gue. Sok manis, sok peduli padahal punya banyak sampingan,” kesal Jihan lalu meletakkan handphonenya di nakas.     “Itu bukan sok peduli, Han. Yang gue denger, dia bener-bener peduli sama lo. Kok gue jadi curiga gini ya? Jangan-jangan dia beneran suka lagi sama lo?!”     Pertanyaan Kanaya membuat Jihan menenggelamkan dirinya di bantal dan menutup telinganya. “Ah! Nggak tahu! Nggak mau tahu! Gue nggak mau dengerin hal manis kayak gitu. Maaf ya, Kan. Gue nggak mau terpengaruh lagi. Mau dia beneran suka sama gue nggak akan ngilangin fakta kalau dia terbiasa mainin perasaan orang. Gue juga udah nggak terlalu peduli sama hidupnya dia. Mungkin dulu gue cuman ngefans aja. Yang gue rasain sekarang, gue cuma mau negasin. Gue pengen balik ke Jihan yang dulu kagum sama dia. Nggak ada yang lain selain perasaan itu.”     “Lo yakin, Han?” tanya Kanaya.     “Iya, gue yakin banget. Nggak ada penyesalan sedikitpun.”     “Trus kalau hati lo ke Bagas biasa aja, sekarang hati lo lagi buat siapa?”     Jihan terdiam, memikirkan cowok-cowok yang dia kenal. Jihan lalu membuang bantalnya dan duduk menghadap ke Kanaya. Dan ketika teringat tentang cowok ini, jantung Jihan berdegup semakin kencang. Matanya melirik ke dinding yang menghalangi kamarnya dan kamar Dean. Tapi seketika kepalanya menggeleng sangat cepat.     “You do realize something, right?” ucap Kanaya dengan senyumannya yang penuh arti. Jihan menghindari tatapan mata Kanaya dan sekali lagi menenggelamkan dirinya di kasur dan mengamuk. Mulai menghentakkan kakinya serta tangannya sibuk memukul kasur. “Nggak tahu! Gue nggak mau tahu!”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN