Healing berdua

1077 Kata
    Jihanpun memasuki kantin dan melihat Tissa duduk di pojok ruangan, dengan segera Jihan menghampiri Tissa, terlihat kekikukan ketika mereka berdua bertatap muka dalam jarak yang dekat.     “Duduk, Han,” kata Tissa, Jihan lalu duduk dan kembali terdiam.     “Oke, gue bakalan ngomong langsung ke intinya aja ya. Tissa, jujur sama gue, lo ada hubungan apa sama Bagas? Lo suka ya sama Bagas?” Pertanyaan Jihan yang to the point membuat Tissa tersentak     “Jihan, gue…”     “Ngomong aja jujur ke gue, gue mohon, jangan ada lagi yang disembunyikan lagi dari gue. Gue juga bakalan ngomong jujur ke lo tentang gue dan Bagas. Kita harus nge-clear-in hal ini,” potong Jihan. Tissa merasa salah tingkah dan tidak berani menatap Jihan, sedangkan Jihan terus menatap tajam Tissa. Baru kali ini Tissa merasa tidak punya power lebih ketika berhaapan dengan sahabatnya sendiri. Biasanya dia yang paling berani, tapi karena rasa bersalah mulai menggerogoti keberaniannya di hadapan Jihan.     “Ngomong dong! Lo malah diem aja, kalau lo nunduk, orang-orang ngira gue lagi marahin lo, Tiss. Gue yang kelihatan kayak orang jahat di mata orang-orang,” jengkel Jihan. Jihan tidak tahu kenapa dia merasa sejengkel ini, mungkin karena kejadian kemarin-kemarin masih membuat mood-nya memburuk.     “Maaf, Han. Gue emang ada sesuatu sama Bagas. Tapi itu dulu, hubungan kita nggak kayak orang pacarana kok.” Jihan pandangannya terlihat sedih, pengakuan Tissa sebenarnya sudah dia duga tapi mendengar itu keluar langsung dari mulut Tissa rasanya menusukkan pisau ke hatinya.     “Oh, gue paham kok jenis hubungan apa yang kalian punya,” tunduk Jihan.     “Walau begitu…” Jihan lalu memandang Tissa, “Gue tetep aja ngerasa nggak habis pikir sama kalian. Gue ngerasa, lo tahu ada sesuatu antara gue dengan Bagas. Tapi kenapa lo masih aja deket sama Bagas. Kalian dah kayak orang kasmaran tahu nggak ? Well gue nggak masalah sih tentang Bagas, yang gue masalahin lo sebagai sahabat gue yang gue rasa udah ngekhianati kepercayaan gue. Tapi di satu sisi gue juga ragu, apa bener sebelumnya lo udah tahu tentang hubungan gue dan Bagas ? Tapi kalian tetap dekat terlepas dulu kalian ada hubungan atau nggak?” Tissa langsung kaget karena Jihan mengutarakan persis dengan keadaan yang sebenarnya terjadi meski Jihan masih belum yakin akan analisanya.     “Lo kaget sama apa yang ada di pikiran gue?” ujar Jihan.     “Kok lo bisa…” gagap Tissa     “Lo inget nggak kenapa gue nggak datang ke acara pameran lukisan lo ? Karena gue lihat dengan mata gue sendiri, lo sama Bagas berduaan waktu lo lagi ngelukis. Gue kaget Tiss. Gue nggak percaya sama apa yang gue lihat. But, actually, at that moment, gue nggak nyalahin lo. Sama sekali nggak. Gue lebih blaming ke diri sendiri yang awalnya nggak jujur ke kalian tentang hubungan gue sama Bagas. Yes, we’re officcially becomes a couple. Tapi kita sepakat nggak akan bilang ke yang lain. Gue ngerasa malu sama kalian kalau gue punya cowok. Gue nggak pede, Tiss. Gue ngerasa nggak pantes aja dapat cowok yang dikagumi banyak wanita. Kalian berdua yang selalu ngedikte gue terkait siapa cowok yang pantes dan nggak pantes deket sama gue. Bikin gue mutusin, well, no. Hubungan gue sama Bagas nggak usah kalian ketahui.” Jihan lalu mulai berkaca-kaca. Sedang Tissa tidak tahu harus bagaimana, Tissa terkejut ternyata sikap melindunginya ke Jihan malah membuat gadis itu semakin tidak percaya diri, tidak berani memutuskan dan malah membuat Jihan semakin banyak menyembunyikan banyak hal ke dirinya.     “Awalnya menantang memang, menyembunyikan suatu hubungan. Karena gue dan Bagas ngerasa kita fine aja why not. Meski jujur, gue resah. Resah nggak bisa mengekspresikan langsung ke kalian tentang kebahagiaan gue. Resah karena nggak bisa terang-terangan cemburu kalau ada cewek yang deket sama Bagas. Resah saat tahu juga ternyata orang yang udah gue anggep sahabat juga pernah menyembunyikan sesuatu dari gue. Guepun mikir, Tiss. Apa bedanya gue sama lo. Lo nggak cerita ke gue. Kita sama sama krisis kepercayaan satu sama lain. Apa itu namanya sahabat ?”     “Jihan…” Tissa hendak menyela tapi Jihan memberi isyarat dia tidak ingin disela.     “Ironis memang, kita harus harus sampai di titik ini, Gue nggak pengen bahas lagi tentang gue dan Bagas. Cukup hal tadi bisa bikin lo mikir kayak apa hubungan gue sama Bagas. Tiss, saat ini gue udah nggak ngerasain apa-apa sama Bagas. Gue bakal lepasin dia, tapi tolong kalian jaga hubungan kalian ya? Jangan kayak gue nantinya.”     “Jihan, gue sama Bagas punya hubungan bukan berdasarkan cinta. Itu yang harus lo pahami. Kita nggak akan bisa mengimbangi satu sama lain. Kita berdua itu bedanya jauhh banget. Jadi nggak mungkin gue sama Bagas punya hubungan berdasarkan cinta. Lo mungkin udah denger kan gue sama Bagas cuma sama-sama saling ngelampiasin?”     “Cuma?” bingung Jihan.     “Gue paham, di sini kita akan beda pendapat. Lo konvensional, gue terlalu open minded. Ada Han, hubungan yang berdasarkan itu. Nggak harus cinta, itu bisa terjadi. Nggak harus jadi murah untuk itu dilakukan. Gue tahu gue salah, gue hampir aja terlena dengan wisata masa lalu. Bareng sama Bagas emang nyenengin tapi gue nggak cinta sama dia.”     Jihan masih melongo, merebahkan punggungnya ke sandaran setelah dari tadi posisi tubuhnya tegak menegang membicarakan masalahnya dengan Tissa. Tissa memajukan badannya mengerti dengan kebingungan sahabatnya itu. “Gue beli teh botol dulu aja ya? Seperti yang lo bilang tadi, kita harus menyelesaikan ini semua tanpa ada lagi pertanyaan. Kita butuh diskusi kayak gini, Han.”     Jihan mengangguk dan melihat kepergian Tissa ke salah satu counter untuk membeli minuman. Kepalanya berdenyut dengan kencang. Otaknya serasa tidak mampu berpikir dengan konsep bisa melakukan tapi tidak cinta. Mungkin Tissa benar bahwa sebenarnya hal tersebut banyak terjadi di sekitarnya. Jihan hanya perlu membuka mata dan sedikit pemikirannya meski membayangkan itu terjadi membuatnya bergidik ngeri. Kenapa laki-laki dan perempuan itu tidak bisa mencintai cukup dengan satu? Memahami satu orang aja bikin Jihan tertantang setiap saat sekaligus bikin pusing.     “Gue bisa gila lama lama. Bunda sih terlalu ngurung gue nggak boleh main sembarangan. Tapi ada bagusnya juga sih gue nggak ngalamin. Cukup tahu aja. Dan ketika kejadian ini terjadi di sekitar lo sendiri, lo bakal ngerasa, kepada siapa kita harus percaya?” bisik Jihan pada dirinya sendiri. Jihan masih mengamati Tissa yang terlihat mulai menenteng dua botol minuman. JIhan tersenyum kecil. Seperti inilah bersahabat. Kita harus menerima, memaklumi dan memberitahu ketika ada hal yang tidak tepat. Jihan mengangguk kecil dan memutuskan sudah saatnya dia mulai terbuka dengan sahabatnya. Tidak ada lagi bayangan masa lalu menghantuinya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN