Sahabat

1210 Kata
    “Nih, minum dulu.” Tissa menyodorkan minuman teh dalam botol sedangkan dirinya memilih minuman bersoda. Sulas senyum nampak terlihat di bibir Jihan. Tissa tahu betul bahwa dirinya tidak boleh minum minuman bersoda, dan dia tidak lupa itu.     “Gue lanjut ya, Han. Gue dan Bagas nggak ngenal kata cinta di kamus kita. Tertarik iya, tapi bukan akhirnya kita jadi sayang satu sama lain. Jadi lo nggak usah ngawatirin itu, Han. Yang harus lo pikirin, kenapa temen-temen yang lain nggak mau atau nggak suka lo pacarana sama Bagas.”     Jihan menegak minumannya. “Ya itu gue tahu kenapa kalian ngelarang. Gue kan baru ngerti alasan kalian. Lo dan Kanaya nggak mau jujur kalau kalian tahu sesuatu tentang gue dan Bagas.”     “Karena lo juga nggak jujur, Han. Bayangin, kita menerka-nerka sedangkan kita selama ini hanya membaca dari ekspreksi lo aja tiap kumpul bareng sama Bagas. Lo tuh keliatan banget sumringah, ceria, waktu ketemu sama Bagas. Udah mau kayak nonton konsernya NCT aja.”     “Tissa, ih!” kesal Jihan melihat muka Tissa yang sengaja godain dia.     “Kenyataan tau,” semprot Tissa lalu tertawa melihat tingkah Jihan.     “Udahlah, gue disini kan mau nge-clear-in urusan kita. Masalah kita. Selama temenan kita ternyata nggak cukup terbuka ya?” jujur Jihan menatap mata Tissa.     “Kurasa karena gue sama Tissa selalu beranggapan lo itu kayak adek yang harus selalu kita lindungi hingga nggak ngasih ruang buat lo nyampein apa yang pengen lo sampein, Han. Di satu sisi kita nggak mau cerita karena kadang kita ngerasa karena peran tadi. Lo nggak usah tahu dan cukup kita lindungi. Hal itu salah memang, gue sadar banget sekarang. Maafin gue ya, Han. Gue niatnya memang mau ngelindungi lo eh ternyata jadinya lo yang malah tersakiti.”     Jihan langsung meraih tangan Tissa yang bebas di atas meja. Menggenggamnya dengan erat. Matanya mulai berkaca-kaca. “Lo itu udah gue anggap kakak, teman, sahabat, bahkan keluarga gue sendiri, Tiss. Makanya respon pertama gue waktu tahu, gue ngerasa dikhianati. Hati gue tersayat pelan sampai kerasa pedihnya. Gue nggak mau kehilangan lo sebagai sahabat gue. Please, gue emang kuno pemikirannya kalau berhubungan dengan jalinan dua orang lawan jenis. Gue nggak pengen banyak resiko kena di lo, Tiss. Jangan sering-sering, ya…” ucap Jihan dengan pelan di kalimat terakhir. Terlihat Jihan sangat berhati-hati dalam mengucapkan agar Tissa tidak tersinggung. Gaya hidup orang memang tidak bisa Jihan atur tapi setidaknya Jihan ingin juga yang terbaik untuk Tissa.     “Lo nggak papa kali mau ngata-ngatain gue. Lo dan Kanaya berhak buat itu. Gue malah nggak seneng kalian ngomong di belakang gue. Lo juga kan nggak pengen diomongin di belakang. So, don’t worry to much. Gue udah berhenti sejak lama. Bagas itu hubungan mutualisme terakhir gue. Gue sadar resikonya, so…makasih Han udah     “By the way, bisa kan ya kita sekarang lepas pegangan tangan? Gue nggak pengen di cap normal,” ujar Jihan pelan sambil celingukan kemana-mana. Tissa tertawa dan melepas pegangan tangan mereka. Jihan merasakan virus tertawa Tissa yang kini menular padanya. Ada kelegaan dalam hati mereka kini.     “We’re oke now?” tanya Jihan lagi. Tissa mengangguk dan mengacungkan jempol tangannya.     “Sekarang, lo sama Bagas sendiri gimana? Lo masih mau mertahanin hubungan lo dengan Bagas?” tanya Tissa. Jihan langsung terdiam, mulutnya mulai mencebik cemberut.     “Tadinya sih, waktu gue kira dia ada sesuatunya sama lo aja. Eh ternyata manusia dengan jurus gurita. Banyak cabangnya dan gue salah satunya,” ujar Jihan dengan nada pelan. Tissa bisa merasakan kesedihan hati Jihan.     “Gue mikir, salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam menjalin hubungan adalah saling menerima kekurangan dan juga bisa saling mengarahkan ke hal yang baik. Tapi kalau itu dah habit, udah mendarah daging, usaha gue bakal sia-sia. Nggak ada yang namanya dia bakalan berubah. Yang ada kita akan hidup dengan hubungan yang tidak sehat. Selamanya bakalan toxic. Gue yang berusaha tapi dianya nggak. Nggak bakalan dapet apa-apa. Orang nggak bakalan puas dengan cinta doang kan ya?”     “Han, yang perlu lo lakuin itu yakin. Yakin memang keputusan lo itu dah pas buat lo. Apa pernah ada cerita orang berubah menjadi baik ketika menjalin hubungan dengan seseorang? Ada. Memang ada. Tapi berapa persen? Mungkin hanya 5 persen dari penduduk di bumi ini. Selama perubahan itu nggak dari orangnya langsung, nggak bakalan bisa. Kayak oppa lo, si babang KSH. Contoh nyata, bucinnya orang nggak bakalan bisa ngerubah tingkah laku minusnya pasangan. Yang ada malah digunain, dimanfaatin kebaikan itu buat nutupin kesalahan. Gue juga nggak mau lo di gaslight-ing sama Bagas ke depan. Lo itu udah kayak KSH. Cantik, baik tapi mau aja dimanfaatin.”     “Gue b*go maksud lo?”     “Ha itu tahu,” ujar Tissa menahan tertawanya karena melihat muka kesal Jihan yang sempet down karena oppanya kena masalah meski masalah itu justru membuat Jihan sadar gimana polosnya si oppa.     “Tiss, sebenernya gue sendiri aja awalnya gue yang jahat udah mau ninggalin Bagas saat kondisi dia seperti itu. Ada rasanya pengen ngarahin, ngasih tahu dia. Pengen ada di sampingnya dia saat dia berubah ke arah yang lebih baik. Ada kebanggaan gue disitu. Gue ngerasa gue jadi berguna banget bisa ngubah seseorang. Tapi lo bener, di suatu titik kegalauan gue, gue akhirnya paham. Bukan gitu caranya. Gue nggak sesayang itu ke Bagas untuk mau memperjuangkan hubungan kita. saat itulah gue sadar. Gue cuman ngefans sama doi. Rasa senang, penasaran yang akhirnya terjawab. Itu hanyalah euphoria sesaat. Nyatanya gue nggak bisa nerima gaya hidupnya yang seperti itu tanpa mau mengkomunikasikan. Gue lebih nyaman berada di posisi sebagai orang yang nyemangatin dia aja. Just like how it started.”     “Udah putus nih ceritanya?”     “Belum sih, gue mau ngomong langsung ke Bagas. Kita mulai dengan hal yang indah di awal dan gue mau mengakhiri juga dengan hal baik di akhir.” “Yakin lo kuat ngakhirin?” tanya Tissa menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat berpikir. Tissa yakin Jihan masih ada perasaan itu untuk Bagas.     “Doain ya, emang nggak mudah. Tapi gue juga butuh maintain mindset dan juga pikiran gue. Lagipula dia dah ada cewek kan? Peraturan pertama dalam hidup gue. Gue nggak mau jadi pelakor di hubungan orang. Karena gue tahu efek sakitnya kayak gimana.”     “Tenang, Han. Gue sama Kanaya bakalan ada buat dukung lo. Masih ada Ikbal dan Dean yang gue yakin, mereka support lo banyak banyak.”     Mendengar ucapan Tissa membuat Jihan merasa lega. Mereka kemudian menegak kembali minuman yang sudah lama dianggurin karena terlalu banyak hal yang harus diutarakan.     “Oh iya, kapan hari gue, Kanaya, Ikbal dan Bagas mampir rumah lo. Tapi lo sama Bunda dan Budhe udah nggak ada disitu, kalian sekarang tinggal dimana? Gue kangen sama Bunda tau!”     “Yuk, gue ajak lo sekarang. Nggak ad akelas kan? Kita ketemu Bunda dan Budhe di rumah Dean.”     Mata Tissa langsung melotot, “di rumah Dean? Ngapain di rumah Dean?”     “Ceritanya panjang, ini salah hal yang nggak gue ceritain ke kalian. Tapi sesuai janji kita tadi, nggak boleh ada yang disembunyikan, gue bakalan ceritain di sana ya,” ujar Jihan berusaha menenangkan rasa penasaran Tissa.     “Ya tunggu apa lagi? Ayok cepetan! Nggak pake lama!” seru Tissa semangat dan menggaet Jihan dan mengajaknya lari.     “Tissa, nyaho mah!” jerit Jihan protes meski kemudian mereka berdua tertawa.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN