Jihan bergegas memasuki café Almameter setelah seharusnya dia pulang ke rumah Dean dengan Tissa. Jihan sampai lupa dia ada janji dengan Bagas. Akhirnya urusannya dengan Tissa selesai dan semoga urusannya dengan Bagas bakalan semulus urusannya dengan sahabatnya sendiri.
Kepalanya celingukan dan mendapati Bagas melambaikan tangan dari arah pojokan. Tempat yang tepat untuk mereka berbicara secara private dari orang-orang sekitar karena seperti biasa saat sore hari café sangatlah ramai.
“Udah lama?” tanya Jihan lalu duduk di depan Bagas, mengabaikan tarikan kursi di samping Bagas. Bagas melihat kursi di sebelahnya sekilas dan terlihat kecewa karena Jihan memilih untuk duduk di depannya alih-alih di sampingnya.
“Nggak kok, belum lama juga gue datang,” ujar Bagas tersenyum.
“Lo gimana kabarnya, Yang? Gue seneng akhirnya lo mau ketemu sama gue lagi,” tambah Bagas hendak menyentuh tangan Jihan tapi cewek itu dengan cepat menarik tangannya. Membuat suasana seketika terasa rikuh.
“Gue baik kok, makasih ya dah nanyain kondisi gue.”
Mata Bagas langsung memicing dan keningnya berkerut, “lo kenapa sih? Jadi aneh gini. Ini lo lagi ketemu sama cowok lo sendiri tapi lo kayak nggak mau berduaan sama gue. Kenapa? Takut dilihat sama temen-temen? Mereka dah pada tahu kok,” ucap Bagas dengan penuh keyakinan. Jihan masih diam membuat Bagas semakin mengerutkan keningnya melihat respon kalem Jihan.
“Gas, gue pengen ngomong sesuatu sama lo,” ujar Jihan berhati-hati. Jujur ini pengalaman pertamanya memutuskan hubungan asmara dengan seseorang. Jihan bingung bagaimana memulai. Memikirkan apakah harus dengan banyak bas abasi atau malah langsung ke pokok intinya.
“Ya ngomomg aja, kenapa harus ijin segala? Lo aneh.”
Jihan langsung meremas tangannya, merasakan ketegangan di wajah Bagas membuatnya panik. Perutnya langsung terasa mulas dan keringatnya membasahi pelipis. Kenapa rasanya susah? Padahal yang dibayangkan Jihan tadi bakalan semudah membicarakan itu semua dengan Tissa.
“Gas, kita…putus ya?”
Bagas terlihat kaget dan langsung menegakkan punggungnya, salah satu tangannya sesaat meremas pinggiran meja dan mulai mengetukkan jarinya ke meja. Ibarat thermometer, ketukan itu sebagai penanda emosi Bagas terlihat pelan-pelan naik. Rahangnya langsung mengeras dan giginya gemeletuk ketika mengatakan, “gue nggak mau!”
Jihan sampai mengedipkan matanya berkali-kali karena tidak menyangka respon itu yang dia terima. Harusnya Bagas dengan senang hati memutuskannya kan?”
“Kenapa? Lo dah ada cewek kan? Kenapa nggak mau putus sama gue?”
“Lo udah denger?” desis Bagas masih berusaha menahan emosi yang bergejolak melalui ekspresi wajahnya.
“Mau gue denger apa nggak, lo harusnya nggak masalah gue minta putus. Gue bukan yang utama kan? Gue cuman sampingan buat lo!”
“Lo bisa nyimpulin hal kayak gitu dari mana? Gue kalau emang nggak suka sama lo, gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal yang harusnya males gue lakuin. Lo tahu gue kayak apa, Han.”
Jihan terdiam kaku, ya dia tahu Bagas orangnya nggak suka ribet tapi dengan Jihan Bagas melewati keribetan ittu tanpa mengeluh sama sekali. Jihan langsung menggeleng pelan. Tidak, dia sudah yakin dengan keputusannya.
“Butuhkah alasan lebih buat gue pengen putus dari lo? Sedangkan lo sendiri udah punya cewek. Gue juga sadar satu hal, Gas. Gue selama ini juga ngefans sama lo. Gue seneng waktu lo akhirnya lihat gue. Tapi rasa seneng itu nggak cukup buat gue nerima keadaan lo sekarang. Gue masih pengen waras. Punya hubungan normal dan pada dasarnya gue nggak suka berbagi dengan orang. Lo juga pasti gitu kan?”
“Nerima keadaan gue yang kayak gimana? Nggak cukupkah apa yang udah gue lakuin buat lo seneng? Masalah cewek gue? Gue bisa putusin. Simple kan?”
Jihan sampai menahan u*****n yang hendak keluar dari mulutnya karena betapa mudahnya Bagas menganggap suatu hubungan itu layaknya barang yang kita tunjuk semau kita.
“Gue pernah liat lo sama seseorang. Dan itu di belakang gue tingkah lo kayak gitu? Gimana gue bisa percaya sama lo? Lo mau bilang lo tobat juga gue bakalan susah percaya,” kesal Jihan menanggapi pernyataan Bagas. Bagas kemudian menyengirkan bibirnya.
“Siska? Gue cuman kebawa doang pas dia godain gue. Lo aja yang kelamaan keluar kelas jadi ngasih waktu buat gue semakin lama bareng Siska. Toh dia yang nempel-nempel ke gue. Guenya biasa aja.”
Untuk sepersekian detik Jihan melongo lalu sadar. “Siska?”
Siska si anak kelas C yang terkenal dengan body mulus kayak jalan tol sedikit berliuk tapi asoy? Jihan lalu menggelengkan kepalanya takjub dengan pengakuan tak terduga dari Bagas. Jihan semakin dipenuhi dengan kekesalan.
Bagas ikut terdiam, merasakan kebingungan di wajah Jihan. Sepertinya bukan Siska yang dimaksud oleh Jihan.
Ah masa bodo! Gue nggak mau kehilangan Jihan.
“Lo emang PK ya! Bukan Siska yang gue liat, tapi lo sama sahabat gue sendiri, Tissa! Ngelunjak lama-lama lo! Gue udah tegasin buat ngambil keputusan ini. Bisa nggak lo hargai keputusan gue kayak gue hargai pilihan gaya hidup lo?”
Bagas masih tidak bergeming melihat kemarahan keluar dari mulut Jihan. Dirinya sedang memikirkan cara agar Jihan masih ada tetap di sisinya.
“Gue nggak mau putus dari lo. Gue bakalan putusin semua hubungan dengan cewek lain. Inget. Gue nggak mau putus!” tegas Bagas memberikan pernyataannya. Jihan memundurkan punggungnya dan merasakan tekad kuat laki-laki itu.
“Gas, maaf banget nih. Gue pengen kita berhenti dari hubungan yang nggak sehat ini. Hubungan yang terbangun atas kebohongan dan rasa tidak percaya.”
Jihan mulai melihat sekeliling, sepertinya pembicaraan mereka sudah mulai mengundang tanya di antara pengunjung lain. Jihan bahkan sudah menahan rasa malunya karena beberapa kali baik dirinya maupun Bagas menaikkan nada suara mereka. Orang-orang jelas akan paham meski tidak semua yang datang di café ini hanya dari fakultas mereka saja. Jihan memutuskan untuk segera pergi dari café ini. Dirinya hendak berdiri. Gelagat itu dibaca oleh Bagas. Bagas lalu menarik tangan kiri Jihan dan menggenggamnya tepat di pergelangan tangannya.
“Sa..sakit, Gas. Lepasin nggak? Lo pengen gue teriak disini?” rintih Jihan tapi Bagas tidak bergeming, masih memegang erat pergelangan tanganya gadis itu agar tidak pergi.
“Maksud lo apa? Nggak bisa dengan seenaknya lo mutusin sendiri. Kita berdua setuju buat ngawali hubungan ini dan jika itu harus berakhir berarti juga harus dengan persetujuan gue, bukan mau lo aja!” desis Bagas di depan Jihan. Jihan sampai gemetaran karena tidak menyangka Bagas akan marah besar.
“Lo tau kan ini salah, Gas. Gue udah bilang dari awal kita dah salah. Dari awal gue itu cuman tertarik sama lo, gue mau kembali seperti semula,” rintih Jihan menahan sakit.
“Semua nggak akan bisa kembali seperti semula sejak lo datang buat ngacauin perasaan gue, lo harus tanggung jawab. Kalau lo pengen punya hubungan normal. Gue bakalan mutusin semua cewek gue dan ngeresmiin hubungan kita. Gue bakal bilang ke semua orang kalau lo itu milik gue!” Tangis Jihan langsung pecah ketika dia mendengar keputusan Bagas.
“Nggak! Gue nggak mau! Lo terserah mau mutusin siapa! Gue mau putus dari lo!” ujar Jihan masih bertekad di tengah isak tangisnya. Bagas lalu melepaskan tangan Jihan dan seketika mencium pipi Jihan membuat gadis itu terperangah.
“Just wait and see, I’ll never ever let you go,” bisik Bagas kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan Jihan yang merintih kesakitan. Jihan mengelus pergelangan tangannya. Selain meninggalkan bekas di tangannya, Bagas juga meninggalkan malu yang hinggap di dirinya karena kini semua orang melihat dengan berbagai macam ekspresi di wajah mereka.