Dan memar di tangannya semakin terlihat. Jihan memandangi sambil mendesahkan napas panjang. Bingung menjelaskan kepada Bunda yang melihat atau malah nantinya Dean yang akan bertanya. Dirinya duduk di atas motor yang baru dia tepikan ke pinggir jalan karena Jihan memikirkan bagaimana caranya dia pulang tanpa harus ada drama lanjutan.
“Kenapa jadi kayak gini sih masalahnya,” kesal Jihan berbicara pada dirinya sendiri. Pikirannya langsung ruwet seketika. Jihan menggaruk kulit kepalanya yang sebenernya tidak gatal tanpa melepaskan helmnya.
Jujur, Jihan merasa scenario yang seharusnya terjadi dalam pikirannya adalah Bagas dengan senang hati melepaskannya atau malah ketika Jihan meminta putus, Bagas mengiyakan tanpa banyak alasan. Dan kejadian yang berbanding terbalik dengan harapannya membuat hati Jihan mencelos. Apalagi dengan kuatnya tekad Bagas untuk tidak melepasnya menjadi alasan Jihan semakin mendecakkan bibirnya berkali-kali.
Bagaimana menjelaskan ini pada Dean dan teman-temannya?
Dipandanginya sekali lagi memar di tangannya. Kalau dirinya begitu mencintai Bagas, hal yang dilakukan Bagas tadi tentu menyanjung hatinya. Kini yang dirasakan Jihan lagi-lagi ketakutan dan juga kebingungan. Gadis itu terlihat menggelengkan kepala pelan. Di tutupnya langsung memarnya dengan memakai kembali jaketnya. Mungkin beberapa hari ini yang dia butuhkan cukup memakai lengan panjang. Urusan Bagas bisa saja itu hanya gertakan.
Dengan keyakinan baru, Jihan langsung menstarter kembali motornya dan berjalan membelah jalanan kota Jakarta, pulang untuk memastikan bahwa kejadian tadi tidak akan memberikan pengaruh apa-apa pada dirinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.36 dan akhirnya Jihan sampai juga pulang ke rumah Dean. Saat selamat sampai depan kamarnya tanpa bertemu dengan Bunda dirinya menghela napas lega. Jihan bergegas membuka pintu kamarnya karena masih ada satu orang yang harus dia hindari, saat akan menutup dirinya berjengit kaget karena tiba-tiba Dean sudah ada di belakangnya sambil bersidekap dan menatapnya dengan tatapan tajam.
“Apa lo?!”
Dean memilih mendorong tubuh Jihan untuk memberikan celah dirinya masuk ke kamar Jihan. Laki-laki itu lale mengajak Jihan masuk dengan meraih tangannya untuk dia genggam. Jihan sedikit merintih karena Dean menggenggam tangannya tepat di luka memarnya. Tapi sepertinya Dean tidak sadar dan terus menarik Jihan menuju meja belajarnya. Tanpa terasa air mata Jihan turun merasakan sakit dan terkejut ketika tiba-tiba Dean mendudukkannya di kursi. Membantunya melepaskan tasnya dan juga kembali menatapnya tajam.
“Gue cuman ngelakuin hal kayak gini dan lo udah terharu?” Jihan langsung melihat wajah Dean dan mendengus kesal.
“Gue lagi nggak pengen ngomong sama lo,” ucap Jihan lalu mencoba berdiri tapi tangan Dean di bahunya menekan santai hingga Jihan kembali duduk dan mengunci posisinya kini. Membuat Jihan mengurungkan niat untuk berdiri.
“Lo pengen apa sih?” tanya Jihan tidak gentar dengan intimidasi Dean.
“Gue denger lo habis ketemu sama Tissa dan Bagas?” tanya Dean tepat di depan wajah Jihan.
“Trus?” tanya Jihan dengan muka polosnya.
“Dan kalian bertengkar di café sampai akhirnya semua jadi penasaran tentang hubungan kalian,” lanjut Dean membuat Jihan bergidik ngeri. Belum apa-apa saja kini ketakutan semakin muncul di pikirannya. Ternyata benar, hal yang dia khawatirkan saat dirinya keluar dari café dengan banyak mata menembakkan semua keingintahuan mereka kini bahkan sudah didengar oleh Dean.
“Udah banyak yang denger ya?” Jihan memastikan karena pandangan mata Dean semakin menggelap.
“Lo sembrono, ngobrolin hal yang kalian anggap rahasia di sebuah tempat yang jadi basecampnya anak kampus. Jelas udah banyak tuh yang wartaberita di grup. Nanyain antara Bagas dan lo sampai kalian suaranya dah kayak konser di lapangan.”
“Seriusan?” kini wajah Jihan berubah pucat.
“Seriuslah. Lo mau lihat sendiri?”
Dean mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya dan membuka chat di grup serta memperlihatkannya kepada Jihan. Muka Jihan bertambah pucat membaca apa saja yang dikatakan disitu. Bahkan spekulasi hubungan mereka sudah melebar sampai tudingan Jihan itu sudah dipakai oleh Bagas, menuntut keadilan untuk menjadi pacar Bagas. Bukan sebagai selingkuhannya. Lha sebenernya sih mereka sendiri saja memang pacarana dan status Jihan saat kemarin tanpa dia ketahui memang adalah selingkuhan Bagas.
“Dean, gue harus gimana? Bagas nggak mau gue putusin.”
Tangis Jihan langsung pecah. Dean lalu menunduk dan bertongkat kaki memandang wajah Jihan. Membantu Jihan untuk menghapus air matanya.
“Mang Bagas nggak mau diputusin kenapa?”
Pertanyaan Dean semakin membuat Jihan bingung. Itulah yang membuatnya semakin kalut. Karena sebenarnya Jihan juga tidak tahu alasan kenapa Bagas tidak mau memutuskannya.
“Nggak tahu, hiks. Bagas malah mau mutusin semua ceweknya dan bakalan mertahanin gue. Gue nggak ngerti sumpah sama Bagas. Kurang apa jumlah cewek yang dia punya entah yang beneran jadian atau cuman FWB-an,” sungut Jihan masih sesenggukan. Dean terdiam sesaat. Ekspresi wajahnya langsung tidak tertebak. Dean tidak bersuara dan masih menghapus air mata Jihan.
“Gue haus, De,” bisik Jihan. Dean mengangguk pelan dan kemudian berdiri.
“Yaudah ayok ke bawah, Bunda dah tidur kok, jadi nggak akan liat lo nangis,” ujar Dean dengan nada datar. Dean membantu Jihan berdiri dan kemudian mereka berdua keluar dari kamar. Saat hendak turun tangga, Dean memutuskan untuk menggandeng tangan Jihan agar dirinya tidak jatuh saat melangkah karena Jihan sendiri masih sesenggukan dan terlihat tidak fokus berjalan. Saat itulah Jihan langsung mengaduh kesakitan dan membuat Dean heran. Dicobanya agak mengeratkan pegangannya dan suara kesakitan itu semakin bertambah.
“Lo kenapa?”
“Nggak papa,” ujar Jihan mengelus memar tangannya di balik jaketnya yang tidak segera dia lepas dari tadi. Dia tidak ingin Dean mengetahuinya tapi justru Dean memandangnya penuh curiga kemudian menarik tangan Jihan dan mencoba membuka lengan jaket Jihan.
“Aduh! Sakit, De,” teriak Jihan. Mata Dean langsung membelalak melihat memar di tangan Jihan yang berwarna keunguan hingga merebak dari pergelangan tangan, kira-kira sebesar kepalan tangannya.
“Apa yang terjadi? Kok bisa tangan lo memar? Lo habis jatuh? Kok bisa? Memarnya di tangan aja apa ada yang sakit di tempat lain? Lo nggak diapa-apain sama Bagas kan?” Jihan langsung memandang Dean heran, kenapa Dean terdengar seperti…khawatir? Dean khawatir dengan dirinya? Yang benar saja! pikir Jihan. Untuk sesaat hanya sesaat Jihan tidak memandang Dean seperti orang yang selalu mencari masalah dengannya, saat itu Jihan memandang Dean sebagai seorang laki-laki yang sangat perhatian kepada perempuannya. Membuat Jihan ingin seperti itu tapi bayangan mantan Dean yang terlihat sempurna membuat angan-angan itu buyar dan menarik Jihan ke kenyataan. Bukankah Jihan tidak mau lagi jatuh ke lubang yang sama?
“Nggak papa De, ini nggak kenapa-napa. Lo kenapa panik?” tanya Jihan dingin, Dean lalu memandang Jihan bingung, tadi Jihan mau bersikap bersahabat tapi kenapa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis dingin yang menyebalkan. Aneh, pikir Dean. Jihan lalu meninggalkan Dean lebih dulu dan berlari menuju ke bawah. Dirinya betul-betul membutuhkan air minum.