Just tell me the truth

1046 Kata
"Yakin nggak mau jujur sama gue lo itu kenapa? Itu memar bakalan bekas dan memang bisa hilang. Tapi kenapa lo bisa memar nggak akan bisa ilang dari ingatan lo, Han," ujar Dean mengambil baskom kemudian mengisinya dengan air dan juga es batu. Jihan mengamati setiap langkah Dean dari mulai ke rak perlengkapan dapur hingga ketika cowok itu membuka lemari. Gerakannya terkendali seperti Dean memang sudah terbiasa di dapur meskipun keluarga ini mempunyai pembantu. "Gue..." "Kenapa?" "Gue tadi sore pas berantem sama Bagas, dia megang tangan gue kenceng banget. Dan itu sakit. Itu waktu dia bilang kalau dia nggak mau ngelepas gue dan yakinin gue kalau dia bakal mutusin semua ceweknya." Dean memilih untuk tidak menjawab dan meninggalkan Jihan sendirian di dapur. Baskom berisi air dan es diletakkan di meja pantry, tepat di depan Jihan duduk. Gadis itu lalu kebingungan dengan sikap Dean yang tiba tiba saja ngilang tanpa memberitahukan kemana padahal Jihan sudah mau cerita. Apa Dean marah ya sama Jihan? Dan ketika laki laki itu datang lagi dengan handuk kecil ditangannya, perasaan lega melingkupi hati Jihan. Dean tidak marah padanya. Laki-laki itu justru peduli. Jihan lagi lagi tidak tahu malu terang terangan mengamati setiap langkah Dean. Melihat bagaimana otot di tangannya bekerja saat memeras handuk yang sudah dibasahi dengan air dan es kemudian diletakkan dengan pelan ke tangannya yang memar. Mata Jihan mengikuti arah tangan Dean bahkan sesekali gadis itu mencuri pandang melihat wajah dan mata Dean. "Gimana? Udah kagum belum?" tanya Dean tiba-tiba membuat Jihan reflek mendongak dan menatap Dean dengan muka melongo. "Ha?" Dean tersenyum, senyuman yang membuat Jihan seketika meleleh. Rasanya terasa manis hingga Jihan terbuai sesaat dalam senyuman Dean. "Udah ngeliatinnya?" Seketika Jihan sadar, lalu menundukkan wajahnya karena malu ketahuan. Akhir-akhir ini Jihan merasa kalau Dean itu selalu membuatnya salah tingkah. Tapi mengamati setiap gerak gerik Dean memang sudah menjadi hobi baru Jihan. "U-udah, lagian gue ngeliatin orang ngompres kok," ujar Jihan cepat dan terlihat kepanikan di nada suaranya. "Iya, tahu," balas Dean tapi tertawa kecil. Pandangan mata Dean tertumbuk pada memar di tangan Jihan. Gue butuh ngomong sama Bagas. Nggak bisa dibiarin ini. "De, mungkin gue butuh meyakinkan diri gue lagi tentang Bagas. Meski dia udah ngaku tentang dirinya yang punya banyak cewek. Gue butuh banyak hal terindra biar gue yakin buat nggak peduli lagi sama Bagas." "Lo bucin ya?" "Nggak, nggak gitu. Apa ya? Setiap gue debat kalau data yang gue punya hanya sedikit. Rasanya tuh jadi kalah argumen. Well, tadinya gue ngerasa, oke, Bagas mau mutusin semua ceweknya. Dia cuman mau sama gue aja. Bebas urusan kan? Gue bisa bisa aja nggak peduli sama cewek ceweknya. Tapi urusan sama Bagas ternyata nggak sesepele itu. Gue pengen putus aja dipersulit. Bisa banget gue ghosting, ngilang gitu aja guenya. Tapi gue paham dan ngerasa bakalan timbul masalah nggak enakan nantinya. Gimanapun Bagas temen lo, temen ikbal dan temen Kanaya. Aduh gimana ya jelasinnya, gue bukan bucin pokoknya," ujar Jihan menggaruk kulit kepalanya meski tidak gatal. "Apa sih? Kalian cewek tuh ribet ya?" gerutu Dean mulai mengambil handuk yang sudah tidak terlalu dingin dan mencelupkannya di baskom. "Kita tuh nggak ribet tapi membaca situasi dengan penuh kepekaan. Lo tau kan pacar Bagas yang sebenernya itu siapa? Bisa aja gue dilabrak sama pacarnya itu. Gue takut, De. Gue takut dicari kayak buronan." Dean meletakkan handuk di tangan Jihan sembari menepuk nepuk pelan. "Trus lo mau ngapain?" "Gue mau ketemu sama Karina, mau gue jelasin sebelum gue dilabrak sama dia." "Gue mau jelasin kenyataan yang ada dan minta supaya Karina bisa ngebuat Bagas nggak gangguin gue lagi," tambah Jihan mulai menatap Dean dengan muka memelas. "Lo percaya sama omongan Bagas?" "Yang mana?" "Lo percaya Bagas bakalan mutusin semua ceweknya dan cuman mau sama lo? Lo berarti yakin kalau Bagas itu suka sama lo. Dan lo tetep nggak mau?" "Nggak, gue tetep nggak mau sama Bagas. Lebih tepatnya gue dah nggak nyaman lagi sama Bagas. Perasaan kalau nggak terpelihara dengan baik ternyata kayak gini ya? Cepet ilang," bisik Jihan. Dean menatap gadis itu dengan penuh pengamatan. Dari gerakan bulu matanya yang lentik hingga garis leher yang terlihat sempurna. Meskipun Jihan baru mengenal make up akhir akhir ini, tapi Dean sudah tahu pesona gadis itu saat pertama kenal dengannya. Sayangnya saat itulah Dean tahu mata Jihan terkunci kemana. Hanya pada Bagas. Tapi mengetahui bahwa Jihan sudah tidak punya perasaan yang sama lagi, membuat Dean bisa sedikit bernapas lega. "Lo mau bantuin gue nggak, De?" "Bantuin apa?" "Cariin info tentang Bagas dan Karina." "Apa sih? Cari sendirilah." "Mang kenapa sih?" cemberut Jihan. "Lo tau kan Bagas itu temen gue. Gue punya cara sendiri buat nyadarin dia. Kita nggak main detektif-detektifan. Kita mainnya tatap muka." Jihan terpekur, memikirkan sesuatu. "Nggak papa deh, kita cewek emang sukanya main detektifan, toh kita biasanya peka sama hal kayak gitu kan? Gue dengan cara gue dan lo dengan cara lo sendiri. Gimana? Makasih ya De lo mau bantuin gue," ujar Jihan lalu memegang lengan Dean dan memberinya tatapan seperti adek bayi yang kegirangan. Dean agak mundur ketika mata mereka beradu. Kupingnya agak memerah dengan sendirinya. Tapi kemudian Dean kembali ke posisinya dengan gerakan yang kalem. "Gue ngelakuin bukan buat lo. Gue emang butuh ngomong sama Bagas sendiri," ujar Dean membuat Jihan mencebikkan bibirnya. "Gemesin aja terus, gue cium lama lama," bisik Dean membuat Jihan menoleh cepat dan saat itulah mata mereka saling terkunci. Dean memperlihatkan senyumannya. Gadis itu sampai menelan ludah karena tarikan magnet matanya jatuh ke bibir Dean. "De..." bisik Jihan pelan ketika sentuhan tangan Dean menyentuk pipinya. Jari itu tidak berhenti tetapi bergerak dengan lembut dan berirama. Jihan merasa seluruh tubuhnya bergetar dengan hebat ketika sentuhan demi sentuhan terasa begitu membuainya. Jihan memejamkan matanya menikmati setiap gesekan kulit mereka. "To be honest..." Mata Jihan terbuka untuk lebih mendengar apa yang ingin Dean bicarakan tapi justru dia membelalakkan matanya ketika akhirnya ada sentuhan ringan di bibirnya. Pertemuan yang lembut saat mereka mulai saling mencari dan merasakan. Jihan memejamkan matanya perlahan, berusaha mengikuti ritme lagu napas mereka berdua. Ketika akhirnya mereka saling melepaskan diri, mata mereka langsung tertumbuk satu sama lain. "De, ini apa maksudnya?" bisik gadis itu masih mencoba mengatur napasnya. "Dari dulu, Han. Dari awal kita ketemu..." "Dean...Jihan..." Berdua langsung menoleh dan mendapati orang tua mereka sedang berkacak pinggang di depan pintu dapur "Mamah," "Bunda," bisik mereka berdua berbarengan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN