Deep Talk

1123 Kata
    Jihan masih terdiam, melamun dekat dengan pohon dan parit. Matanya menerawang jauh. Sebenarnya dirinya malas harus bertengkar dengan temannya karena laki-laki. Dulu saat dia SMA juga gitu, kenapa pas sekarang Jihan merasa bisa mempercayai Tissa dan Kanaya, justru Jihan ngerasa mereka yang tidak percaya dengan Jihan. Kenapa Tissa nggak cerita dari awal? Jihan nggak akan semudah ini terpedaya pesona Bagas. Cukup Jihan lihat tanpa harus dimiliki kan? Membayangkan laki laki itu tidur dengan Tissa tapi juga berbagi bibir dengan Jihan membuat gadis itu muak seketika.     Jihan lalu berdiri, menatap nanar parit yang ada di depannya. Parit besar dengan kedalaman kira-kira satu setengah meter. Matanya berkedip berkali-kali berusaha menghalau air matanya yang mulai turun. Jihan nggak mau menangis di depan umum. Tapi pilihan apa yang dia punya ketika rasa sakit itu terus menyerangnya.     Dean sedang mengucapkan terima kasih kepada modelnya setelah mereka selesai mengambil beberapa foto yang diinginkan. Tadinya Dean ingin memanggil Jihan tapi tadi sempat melihat Jihan sedang menerima telpon jadi diurungkan niatnya itu hingga setelah dia dan modelnya saling berpamitan, Dean menoleh dan mendapati Jihan sedang terpekur di depan parit.     Tu anak lagi apa?     Dean baru juga melangkah santai ketika melihat gerak gerik Jihan yang tampak ragu memajukan kakinya lebih dekat ke parit. Pikiran liarpun menguasai Dean, dengan gerak cepat cowok itu memeluk perut Jihan dan memindahkannya jauh dari parit. Setelah pelukannya terlepas, Dean langsung memegang bahu Jihan dan menghadapkannya ke dirinya.     “Lo udah gila apa?!” bentak Dean, sedang Jihan malah melongo.     “Ha? Memang gue nggak boleh nangis?” bingung gadis itu.     “Lo mau jatuhin diri kan? Nggak usah kebanyakan gaya! Yang ada lo tuh cuman lecet, nggak mati!” kesal Dean, Jihan mengerutkan keningnya. Terlihat masih ada sisa air mata menggenang meski demikian Dean tertegun.     Padahal lo habis nangis, kok gue gemes?     “Ya gue tahu, makanya gue cuma liat-liat doang, emang nggak boleh? Gue tuh cuman nangis, nggak pake acara mau jatuhin diri segala. Sia-sia dong IPK gue di atas 3.5.”     “Nggak ada hubungannya, Bambang.”     “Ada dong! Kalau gue pinter, gue nggak akan kepikiran buat jatuhin diri ke parit. Gue bakalan milih jatuhin diri dari gedung kampus lo.”     “Kalau lo pinter, mending ikutan Squid Games,” seloroh Dean mulai kesal dengan kengeyelan Jihan. Gadis itu lalu memukul pelan lengan Dean dan akhirnya tersenyum.     “Nah gitu, gue kan dah bilang, kalau lo sedih, lo nangis, share kek ke gue. Jangan dipendem sendiri.”     “Emang kapan lo bilang ke gue?”     “Malam itu pas lo nginep…” Dean lalu tersadar, dan memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Mana mungkin Jihan tahu jika saat dia ngomong, Jihan malah sibuk paduan suara dengan kodok.     “Ha? Pas gue nginep kenapa? Ih Dean malah pergi gitu aja, kenapa? Apa? Dean!”     Jihan lalu menyusul Dean yang meninggalkannya untuk memunguti barang-barang mereka. Jihan masih berusaha merajuk meminta Dean memberitahunya tapi cowok itu malah menggeleng sambil tertawa. Yang ada mereka kemudian saling melempar candaan dan senyum di mata dan bibir Jihan cukup memuaskan bathin Dean. Di akhir tangan Dean lalu mengacak-ngacak rambutnya membuat Jihan bertambah kesal dan dirinya tertawa.     “Ayo kita pulang,” ajak Dean lalu menggandeng tangan Jihan. Jihan mengiyakan dan menatap bagaimana tangan mereka saling tertaut. Rasanya nyaman dan Jihan nggak pengen ngelepasin genggaman ini. Hatinya juga menghangat saat Dean mengajaknya pulang. Seakan rumah yang mereka sekarang satu atap ini adalah rumah mereka berdua. Andai Jihan bisa, Jihan ingin mengulang waktu dan ingin terjatuh oleh pesona Dean.                                                                                     **     “Sejak kapan lo tinggal di rumah Dean? Lo kenapa nggak cerita ke gue? Lo anggep gue apa?” pertanyaan beruntun itu keluar ketika Kanaya tiba di rumah Dean setelah Jihan meneleponnya dan mengajaknya bertemu. Ikbal sendiri langsung menuju ke kamar Dean sedang Kanaya menuju ke kamar Jihan. Jihan yakin, Ikbal mengajukan pertanyaan yang sama ke Dean.     “Kan lo tahu gue, Kan. Gue lagi ngerasa pengen sendiri. Ada banyak hal yang nggak bisa gue ceritain ke kalian. Terutama tentang…Bagas,” ujar Jihan lirih. Mereka berdua merebahkan diri mereka ke kasur dan menatap plafon dengan masing masing memeluk boneka yang dibawa oleh Jihan saat pindahan ke kamar ini. Jihan memang nggak bisa tidur tanpa boneka atau guling untuk dipeluk.     “Gue udah tahu, lo pacaran kan sama Bagas?”     “Iya, kenapa kalian bisa tahu?”     “Gerak gerik kalian kebaca kali. Apalagi lo, kalau udah suka sama orang, mata lo tuh udah kayak dikasih glitter. Bercahaya dan mendamba. Ya gimana kita nggak tahu. Makanya waktu itu gue pengen ngomong sama lo tapis ama Ikbal dicegah, nggak dibolehin. Gue nggak boleh terlalu ikut campur nanti jatuhnya ngekang lo, gitu katanya.”     Jihan tersedak, tersenyum kecil. Menyadari hanya dia yang merasa hubungannya dengan Bagas nggak ada yang tahu. Rasanya pengen nyanyi ~bodohnya diriku selalu menunggumu~     “Hihi, punten ya masih nubi gue. Belum pro kayak lo. Makanya yang pertama kali justru gue dikadalin. Gue kira kalau kita dah komitmen, kita bakalan jadi satu-satunya tapi ternyata nggak. Padahal ada Bunda ya yang udah ngalamin hal itu, bisa-bisanya gue nggak belajar. Bisa-bisanya gue nggak sadar.”     “Biasanya gitu sih, Han. Kalau dah jatuh cinta kita jadi buta sama kekurangan orang. Mau udah ada yang pernah ngalamin situasi terburuk juga, kalau dah jatuh cinta ya susah. Kita pengen keliatan jadi yang terbaik padahal kita lupa, kita juga berhak dapat yang terbaik. Makanya hubungan yang sehat butuh dua orang yang waras. Imbang juga antara logika dan perasaan.”     “Lo beneran udah pro banget ya?” kekeh Jihan.     “Well, we learned from the worst. Gue pernah punya hubungan yang nggak sehat juga. More like abusing. Awal gue masih mau nerima tapi lama-lama gue ngerasa itu nggak sehat buat gue. Lama loh gue keluar dari toxic relationship macam itu. Makanya gue sama Ikbal sekarang lebih banyak terbuka dan saling mereminder kalau ada yang kelewatan. Gue sih nggak mau terjadi kedua kali meski gue cinta mati sama itu orang. Sejak itu gue kebanyakan pakai logika timbang perasaan.”     “Iya, ya, Kan. Kalau dah cinta, gue jadi nggak ngenalin sinyal bahaya yang muncul. Harusnya gue sadar cowok seganteng itu ada yang udah punya.”     Kanaya lalu menelengkan kepalanya menatap Jihan yang masih melihat ke atas. “Nggak harus tanda itu juga sih, Han. Lo bisa nanyain dari awal, dia jomlo nggak? Dan iya, Bagas memang sudah ada yang punya dari lama. Herannya ceweknya juga kayak nggak ambil pusing sama kelakuan Bagas.”     “Kan temen lo, temen gue juga,” balas Jihan kini ikutan saling menelengkan kepala.     “Siapa yang lo maksud?”     “Tissa kan yang pacaran sama Bagas?”     Kanaya tergelak, “Tissa itu cuman FWB-an aja. Lo tau nggak Karina? Anak kampus sebelah. Itu pacar Bagas.”     Dan seketika Jihan menelan ludahnya keras. Kengerian mulai terlihat.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN