Kenyataan yang pahit

1308 Kata
“Belok kanan, ada perempatan belok kiri, rumah no 3,” terang Tissa. Mereka berempat sedang dalam perjalanan menuju rumah Jihan. Daritadi yang menujukkan arah selalu Tissa dan Kanaya. Sempat terbesit dalam pikiran Tissa, masak sih Bagas belum pernah main ke rumah Jihan. Diliriknya Kanaya dan Ikbal. Ingin rasanya Tissa menanyakan tapi takut justru jadi boomerang untuknya sendiri. Ah! Sabodo teuing! Gue tanyain aja depan Kanaya dan Ikbal “Emang lo belum pernah main ke rumah Jihan, Gas?” tanya Tissa tiba-tiba. Kanaya yang duduk di sebelahnya langsung menyenggol lengan Tissa. Bagas masih diam, Ikbal hanya sempat menoleh ke belakang terlihat kaget. “Udah, sekali. Tapi gue lupa jalannya yang mana,” alasan Bagas sambil terus fokus menyetir. “Dalam rangka apa?” tanya Kanaya ikutan menginterogasi Bagas. “Jadi bener kalian itu pacaran? Lo macarin Jihan? Mau niat mainin dia ya?!” tambah Kanaya kini meninggi nada suaranya. Seakan sadar tujuan Bagas dan juga omongan yang sering mampir ke telinganya perihal Jihan dan Bagas. “Sayang, kita bahas ini nanti ya?” bujuk Ikbal. Kanaya langsung menghempaskan badannya dan bersidekap. Dirinya melirik Tissa dengan pandangan mematikan. Dulu Tissa dibegoin, sekarang Jihan. Emang Bagas itu harusnya dibinasakan! “Itukah rumahnya?” tunjuk Bagas. “Iya,” balas Tissa. Bagas langsung menepikan mobilnya di depan rumah Jihan, mereka berempat langsung keluar dari mobil dan menatap rumah Jihan yang terlihat sepi. “Sepertinya penghuni rumah sedang tidak ada,” kata Bagas. Mereka berdiri di depan pagar depan rumah Jihan. “Sepertinya iya, tapi kita coba saja dulu.” Tissa lalu membuka pagar yang tidak terkunci, mulai memasuki halaman dan tiba-tiba dikejutkan dengan pintu depan rumah Jihan yang terbuka. Keluarlah seorang laki-laki yang tidak dikenal dan laki-laki itu keluar dengan gadis yang sepertinya seumuran dengan mereka. “Selamat malam,” sapa Kanaya ramah, sudah lama sekali dia tidak main ke rumah Jihan. Tapi Kanaya yakin ini adalah rumah Jihan. Laki-laki itu seperti terkaget dengan kedatangan para muda mudi ke rumahnya. Meski demikian, alih-alih menjawab sapaan Kanaya, laki-laki separuh baya itu malah sedang berbicara dengan gadis yang melirik tidak senang ke arah mereka berempat. “Sayang, hati-hati ya pulang ke rumah, dua hari lagi aku susul,” ujar laki-laki itu melepas kepergian orang yang ternyata adalah kekasihnya. Situasi ini membuat mereka berempat tentu saja bingung. “Ada urusan apa datang kesini anak manis?” tanya laki-laki itu sambil menilai Kanaya dari atas ke bawah dengan pandangan menggoda. Ikbal yang melihat itu langsung menarik Kanaya dan mulai merangkulnya. “Kami semua datang kesini mau bertemu dengan Jihan, Jihan ada nggak, pak?” ujar Ikbal dengan pandangan tidak sukanya. Kanaya dan Tissa masih memberikan senyum rikuh mereka. “Jihan? Nggak ada yang namanya Jihan disini,” balas laki-laki itu dengan cueknya. “Bapak yakin? Setau kami ini adalah rumah Jihan dan Bunda,” kata Tissa masih belum paham situasi yang mereka hadapi sekarang. Karena Tissa ingat betul dengan rak sepatu berwarna orange yang jarang dipunya orang masih bertengger di dekat teras. Jihan cerita dulu dia memang sengaja mewarnai rak sepatunya berwarna orange agar terasnya lebih berwarna nggak kayak hidupnya. “Ini rumah saya! Bukan lagi rumah orang yang ngaku-ngaku punya rumah ini!” Tiba-tiba Kanaya teringat cerita Jihan perihal rumah ini. “Oh, jadi anda ayahnya Jihan yang kabur itu?” Mendengar nada suara Kanaya yang seperti mengejek, laki-laki itu langsung emosi. “Apa urusan kamu?!” “Kami hanya ingin bertemu dengan Jihan,” ujar Bagas dengan suaranya yang tegas. Laki-laki itu memilih memundurkan langkahnya merasa powernya kurang melawan 4 orang. “Dia sudah tidak tinggal disini lagi, kalian budge ya sama ucapan saya?!” “Apa?!” kaget Tissa dan Kanaya. Jihan sama sekali tidak menceritakan hal ini ke mereka. Mereka berdua juga tidak sadar bahwa salah satu alasan perubahan sikap Jihan adalah karena masalah ayahnya. “Kalian siapa? Teman Jihan? Sejak saya ambil alih rumah saya sendiri, mereka kok yang dengan senang hati keluar dari sini. Saya nggak ngusir. Bukannya kalian sebagai teman harusnya tahu? Atau memang anak itu nggak punya teman ya?” ujar ayahnya Jihan. Nada suara laki-laki itu semakin tidak enak didengar oleh mereka berempat. Tissa langsung terpekur, bagaimana bisa dirinya tidak tahu hal itu? Seketika perasaan bersalah hinggap di pikiran Tissa. Kanayapun merasakan hal yang sama. “Kapan dia pergi? Apakah anda bisa memberitahukan kami dimana dia berada sekarang?” tanya Bagas mulai menggertakkan giginya. Saat ini Bagas tidak ingin menguasai emosinya karena kelakuan ayahnya Jihan. “Apakah sudah ada sebulan? Sepertinya sudah, dan mana saya tahu dia pergi kemana. Anak itu anak pembangkang. Banyak sok-nya. Lagipula dia yang memutuskan untuk keluar dari rumah ini secepatnya bersama ibunya dan juga kakak saya. Kenapa saya harus terlihat khawatir seperti kalian ? ” Ucapan laki-laki itu cukup membuat Bagas dan Ikbal mengepalkan tangannya, melihat itu ayahnya Jihan langsung merasa takut. “Apa ?! apa ?! kalian mau apa ?! Kenapa wajah kalian seperti itu! Apa kalian berusaha menakut saya ? Dia sudah tidak ada disini! Pergilah kalian!” marah ayahnya Jihan tanpa sebab. “Baiklah, kami akan pergi,” ujar Tissa lalu menarik tangan Bagas yang sepertinya akan memukul, tapi sebelum dia pergi, Tissa menatap laki-laki itu dengan tajam. “Bapak, seharusnya anda beruntung mempunyai anak seperti Jihan. Dia sudah banyak berkorban salah satunya demi anda, ayah yang dulunya sangat dia banggakan. Tapi justru ini balasan anda pada Jihan. Saya rasa Jihan sangat beruntung terlepas dari ayahnya dan tidak mempunyai ayahnya disisinya lagi.” Setelah itu Tissa langsung pergi tanpa memperdulikan ayahnya Jihan yang marah-marah mendengar kata-kata Tissa. “Hei ! kamu ngomong apa ? Dasar anak muda nggak punya sopan santun kayak Jihan ! ” umpat laki-laki itu lalu menutup pintu rumahnya. Dengan segera mereka berempat langsung masuk mobil. Di dalam mobil mereka hanya bisa terdiam. “Gue nggak nyangka Jihan harus ngerasain hal kayak gini,” ujar Bagas pelan, Tissa dan Kanaya hanya bisa terdiam, dan tak terasa air mata mereka mengalir pelan. ** Jihan sedang membantu Dean mengangkat tripod dan berkeliling mencari-cari tempat yang bagus untuk pemotretan, saat ini Dean sedang mencari tempat yang pas untuk temanya kali ini. “Kalau berat ngomong aja,” ujar Dean, tapi Jihan langsung menggeleng pelan. “De, lo nggak usah ngawatirin gue deh. Ini kan emang kerjaan gue,” kata Jihan sambil cemberut, Dean lalu mendahului Jihan dan berhenti di sebuah halte bus. “Sepertinya ini bisa dicoba.” Setelah itu Dean mengarahkan modelnya untuk bergaya seperti seorang wanita yang sedang menunggu kekasihnya. Ketika Dean asyik memotret, Jihan duduk di dekat pohon, melihat-lihat keasyikan Dean memotret. Handphonenya kemudian berbunyi, tanpa melihat siapa yang menelepon, Jihan langsung memencet tombol hijau. “Ya? Jihan is in the house,” jawab Jihan ngasal saking malesnya. “Jihan, gue mohon jangan ditutup telponnya.” Jihan langsung tertegun “Iya, gue nggak bakalan tutup telponnya.” “Lo ada dimana? Gue nyariin lo terus sama Kanaya. Gue baru tahu lo udah nggak tinggal di rumah lo lagi. Kita semua ngawatirin lo.” Suara di seberang terlihat sangat bingung, Jihan tidak tahu harus berkata apa. “Gue baik baik aja kok, nggak usah dipikirin. Oh, ya. Bisa nggak kita ketemu? Gue pengen ngomong sesuatu sama lo. Lo kapan ada waktu luang?” tanya Jihan, suaranya memang pelan tapi ada nada keseriusan di dalamnya, membuat Tissa terdiam dan seperti berpikir tentang sesuatu. “Nggak papa kalau lo sibuk, kita bisa ketemu kapan-kapan,” ujar Jihan lagi. “Bukan gitu sih, tapi gue harus ke Bogor, ke rumah nenek gue karena beliau lagi sakit. Besok gue luang. Kalau ketemunya besok aja jam 1 siang di café Almameter, gimana? “Oke.” Jihan langsung menutup telponnya, sudah beberapa hari ini dia memikirkan hal-hal yang akan dia lakukan, dia ingin menyelesaikan semua. Sejak dirinya mempertanyakan tentang perasaannya pada Bagas, sejak itulah dia kembali memikirkan apa yang terjadi sebenarnya. Jihan kembali merenung. Sudah saatnya Jihan menyelesaikan masalahnya dengan cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN