Tissa sedang merapikan beberapa lukisannya yang sedang dipajang, berusaha terlihat rapi dan agar orang dengan senang hati melihat lukisannya
“Hei! Kalau lo kayak gitu, orang nggak akan ngelirik lukisan gue yang tepat ada di sebelah lukisan lo,” protes Suhay.
“Hahaha, malam in ikan kita rival, tentu aja gue harus berusaha bikin lukisan gue terlihat sempurna,” tukas Tissa yang membuat Suhay mencebikkan mulutnya. Tapi kemudian temannya itu tersenyum. Dalam pameran lukisan, rival adalah hal yang biasa. Hingga sudut mata Tissa melihat kedatangan Kanaya. Tissa langsung melambaikan tangannya.
“Kan,” ujar Tissa lalu memeluk sahabatnya itu dan mencium pipi kanan kiri Kananya. Kanaya menyodorkan sebuket bunga untuk Tissa.
“Aw, thanks Kan. Lo mau datang.”
“Iyalah, masak gue nggak datang di acaranya sobat gue sendiri.”
“Oya, Lo lihat Jihan? Gue dah suruh dia datang tapi dia belum kelihatan, biasanya kan dia datang lebih awal,” ujar Tissa sambil melihat-lihat sekeliling, ruangan galeri masih agak sepi karena pameran baru akan di buka 15 menit lagi.
“Nggak ada, gue juga nggak janjian mau datang kesini. Agak susah tuh anak di chat. Gue juga heran, akhir-akhir ini kalian berdua jarang ada momen bareng, kalian sedang ada masalah?” tanya Kanaya penuh dengan keingintahuan. Karena terakhir mereka ketemu, Jihan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya daripada bertiga atau malah dengan Tissa.
“Tentu aja nggak ada masalah, mungkin hanya akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dia sudah janji akan datang, mungkin dia datang ketika pameran dibuka nanti,” kata Tissa yakin, Kanaya lalu menganguk pelan dan merekapun mengobrol hal lainnya. Akhirnya 15 menit berlalu dan pameran dibuka untuk umum. Banyak pengunjung yang datang, berkeliling melihat hasil karya seni mahasiswa. Ketika sampai di lukisan Tissa, ternyata banyak juga pengunung yang berhenti dan memandangi keindahan lukisan tersebut. Tissa dan Kanaya yang melihat dari jauh langsung bersorak pelan dan saling menepukkan tangan saking kegirangan. Tissa membantu menjelaskan ke beberapa pengunjung yang terlihat berlama-lama melihat lukisannya. Setelah satu jam berlalu, Tissa mengajak Kanaya beristirahat di salah satu pojok ruangan yang menyediakan snack dan minuman, sehingga mereka berdua bisa duduk dan istirahat sejenak.
“Kenapa Jihan belum datang ya? Apa dia lupa? Tapi dia jarang lupa hal penting seperti ini,” lirih Tissa sambil memandang gelasnya yang kosong.
“Gue juga heran nih, nggak ada kabar sama sekali, lo udah coba hubungin lagi? Gue telpon aktif kok cuman nggak diangkat. Nggak mungkin lagi ngebo kan?” tanya Kanaya yang memandang Tissa yang sedang mengedikkan bahunya serta menggelengkan kepalanya pelan. Mereka berdua asyik melamun, hingga ada sebuket bunga mawar merah terpampang di depan mata, dengan segera Tissa langsung menengadah dan melihat Bagas sedang tersenyum. Kanaya langsung bersorak senang.
“Baby, kamu datang, acaranya sukses loh,” seru Kanaya kemudian memeluk Ikbal cepat. Ikbal mengangguk dan menaruh tangannya di pinggang Kanaya. Malam ini ceweknya memakai gaun berwarna coklat muda yang terlihat soft dan elegan di badan Kanaya.
“Selamat ya, sepertinya pameran lukisannya sukses,” ujar Bagas sambil menyodorkan buket bunga itu.
“Bagas, cantik banget ini bunganya? Kok lo tahu gue suka mawar warna merah? Makasih ya udah mau datang. Ikbal juga,” kata Tissa terus menerus mencium aroma bunga mawar yang dipegangnya, tapi kemudian dia melihat ke samping Bagas.
“Dean mana? Nggak datang?” tanya Tissa. Ikbal melengos dan mengajak Kanaya pergi dari situ dengan alasan hendak berkeliling. Kanaya yang tadinya menolak, akhirnya menurut ketika melihat kode mata dari Ikbal. Bagas lalu tidak mau menatap Tissa, dia melihat ke arah lain, Bagas sendiri terlihat gelisah mengingat kejadian tadi siang saat Jihan mengamuk dan Dean yang membela Jihan. Rasa cemburu sebenarnya hinggap dihatinya tapi Dean sahabatnya, orang yang terlalu tahu banyak tentang rahasianya. Maka niatnya tadi siang untuk menyusul mereka, dia batalkan.
“Gue-gue nggak dikabarin sama Dean. Tadi gue coba telpon tapi nggak diangkat,” jelas Bagas. Tissa lalu mengerutkan dahinya dan mulai berpikir tentang keadaan Jihan dan Dean
“Jihan nggak datang, Dean juga nggak datang. Kebetulan yang aneh nggak sih? Dua-duanya nggak mau angkat telpon. Lo pernah lihat nggak sih Dean sama Jihan pulang bareng? Gue udah beberapa kali ini liat Jihan datang ke kampus naik mobil Dean dan juga pas pulang dijemput Dean.”
Bagas merasakan panas di kepalanya. Informasi dari Tissa membuatnya menggertakkan giginya kecil sampai Tissa sendiri tidak sadar.
“Gimana kalau sepulang dari pameran kita berempat main ke rumah Jihan? Gue kok agak khawatir dengan keadaannya ya? Apalagi seingat gue problem perpisahan orang tuanya lumayan pelik juga sih,” kata-kata Tissa langsung mengejutkan Bagas
“Pisah?!” kaget Bagas
“Lo nggak tahu itu? Gue pikir lo tahu, apalagi yang gue tahu lo sama Jihan ada hubungan. Nggak usah nyangkal. Tapi beneran dia nggak ngasih tahu lo?” Tissa juga ikut kaget, dia tidak tahu kalau Bagas sama sekali tidak tahu hal itu. Tissa pikir karena Bagas adalah cowok yang dekat saat ini dengan Jihan jadi dia pasti tahu semua yang sedang terjadi dengan Jihan.
“Nggak, dia nggak pernah cerita ke gue. Belum,” lirih Bagas mengabaikan pernyataan Tissa terkait dirinya dan Jihan. Bagas paham bahwa teman-temannya sudah banyak yang tahu tentang hubungannya dan Jihan. Mereka bisa melihat gerak gerik Jihan yang mudah terbaca ketika dirinya senang atau sedih. Dan kata Ikbal, wajah Jihan yang terlihat suka dengannya ternyata terbukti benar. Makanya Bagas berani mendekati Jihan.
Tissa langsung terlihat speechless. “ Maaf, gue nggak bermaksud mendahului Jihan buat cerita tentang kondisi keluarganya. Sejam lagi pameran bakalan ditutup, gimana kalau kita pergi ke rumah Jihan? Lo nanti bakalan tahu sendiri,” ujar Tissa
“Oke.”
“Sebelum tutup, ayo tunjukin ke gue mana lukisan lo. Gue yakin pasti sangatlah bagus,” ujar Bagas berusaha membuat suasana menjadi biasa
“Ayo! Lo pasti bakalan suka banget,” kata Tissa lalu menggandeng tangan Bagas untuk melihat lukisannya.
**
Dering hape Jihan terus berbunyi tanpa Jihan ingin mengangkatnya, malam itu Jihan hanya berdua saja dengan Dean dirumah karena Bunda dan Tante Muti sedang mengecek rumah yang baru bersama Budhe. Mereka berdua sedang asyik menonton tv sambil nyemil. Dean langsung melirik-lirik ke arah hape Jihan, lalu melirik ke arah Jihan. Sebenarnya handphonenya juga bergetar menandakan ada yang sedang mencarinya. Tapi beruntung karena dia silent jadi Jihan tidak menyadari hal itu. Dean yakin orang-orang mencarinya sama seperti mereka mencari Jihan.
“Nggak lo angkat? Siapa tahu saja penting,” ujar Dean, Jihan lalu melirik ke arah hapenya. Dia tahu baik Tissa, Kanaya maupun Bagas sedang mencarinya karena tidak hadir di acara pameran Tissa.
“Nggak! Buat apa. Nggak penting-penting amat kok,” kata Jihan sambil terus memencet tombol remote karena bosan, membuat Dean sewot.
“Weh! Acara yang tadi bagus, kenapa lo ganti? Lo pengen nonton apa sih?” Dean lalu merampas remote di tangan Jihan hingga Jihan terkaget. Dean membalikkan chanelnya ke Netflix dan melanjutkan menonton Squid Games. Mereka memang baru melihat episode 3.
“Gue agak takut yang berdarah-darah meski seru tapi gue tep pengen nonton, tapi gue juga takut, gimana itu?” keluh Jihan lalu bersender ke sofa dan menyenderkan kepalanya, Dean hanya bisa tersenyum kecil dan melirik Jihan kemudian kembali menonton film kembali. Rasanya berdua dengan Jihan saja dirumah membuat Dean merasa resah tanpa sebab, bahkan saat ini mereka berdua sedang duduk di sofa tapi saling menempati sisi pinggir dari sofa.
“Dean, gue baru sadar. Kok lo duduknya jauh gitu? Gue nakutin lo ya?” tanya Jihan tiba-tiba membuat Dean semakin resah, tapi jelas dia tidak akan memperlihatkan itu pada Jihan.
“Ngapain gue takut sama lo? Lo sadar nggak sih? Kita cuman berdua aja di rumah, bibi lagi ke rumah sodaranya bentar. Seorang cowok dan cewek yang hanya berdua bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” terang Dean tenang.
“Memang apa yang bakalan terjadi?” bingung Jihan dengan muka polosnya.
“Lo nggak tau apa yang bakalan terjadi?” heran Dean.
“Kalau gue kesini, emang apa yang bakalan terjadi?” Jihan langsung menggeser duduknya mendekati Dean. Dean mulai terlihat panik wajahnya.
“Lo jangan berani deket duduknya!”
“Gini?!” ujar Jihan semakin mendekati Dean. Sebenarnya niat Jihan hanya ingin menggoda Dean agar cowok itu bertambah panik. Tapi begitu melihat sorot mata Dean yang berubah, Jihan justru memundurkan kepalanya dan berkedip berkali-kali.
“Gue nggak tanggung jawab loh ya,” bisik Dean membuat bulu kuduk Jihan berdiri.
“Dean…”