“Itu Jihan?” tanya beberapa teman sekelas Jihan yang melihat penampilan baru Jihan. Rambut hitam lurusnya kini dipotong pendek di bawah telinga. Poninya masih dia pertahankan, udah bener-bener terlihat beda nggak kayak Jihan yang biasanya. Jihan juga memoles wajahnya dengan make up simple. Penampilannya juga ala boy look. Dengan jumper kebesaran dan celana jeans boy-is, Jihan memasuki kelas dan duduk seakan-akan tidak peduli bisik-bisik yang berada di sekitarnya. Sebagian memuji penampilan Jihan yang baru ini lebih fresh dan tentu saja memperlihatkan kecantikan Jihan.
“Gue nggak tahu kalau Jihan bisa semanis itu,” bisik salah satu cowok teman sekelas Jihan. Jihan tidak mau berusaha menoleh, jadi dia nggak tahu siapa saja yang sudah membicarakannya.
“Deketin, gih. Eh lo bukannya pengen kenal sama Jihan dari lama?” tanya suara cowok lain.
“Beneran berubah, nyesel gue nggak deketin dari dulu. Habis bodyguardnya ngeri. Gue mau lihat Jihan lama-lama aja udah kena pelototan. Mumpung bodyguardnya belum datang nih, apa gue samperin sekarang aja ya?”
“Udah-udah sana samperin!”
Semangat dari teman-temannya yang terdengar oleh Jihan membuat Jihan lumayan berdegup juga. Baru kali ini dia mendengar ada yang mendekatinya secara terang-terangan. Jihan memang selalu dibilang nggak peka dan nggak tahu bagaimana menerima sinyal/kode dari cowok yang katanya sebenernya suka dengan Jihan. Tapi entah sejak kapan, intuisi dan kepekaannya terasah. Dia mulai sadar bahkan ketika ada yang meliriknya atau memandangnya lama. Bntuk perhatian ini tentu baru untuk Jihan tapi tetap insecurenya jalan. Jihan merasa mereka khilaf aja mau godain Jihan.
Tapi niat laki-laki itu harus terhalang dengan kedatangan Tissa dan Kanaya yang masuk kelas dengan langkah tegap mereka. Auara mereka berdua memang udah mirip kayak preman. Jihan tiba-tiba ingat peristiwa beberapa hari lalu. Jihan berusaha menguasa hatinya agar tidak terlalu terpengaruh atau bermuka masam di depan teman-temannya terutama Tissa. Jihan nggak boleh terlihat sedih. Dia harus menunjukkan bahwa dia bisa tanpa teman-temannya.
“JIHAN?! Is that you! Ya Allah, sweety aku kenapa jadi fabulous gini!” kaget Kanaya kemudian menyentuh rambut Jihan yang dipotong pendek serta melihat keseluruhan penampilan Jihan. Tissa langsung duduk di bangku depan Jihan pas. Dirinya juga bersiul menggumamkan kekaguman.
“Wah kalau gini semakin berat tugas kita dari Bunda, nih,” ujar Tissa melihat sekeliling. Matanya melotot dan mulutnya membuat gerakan menggertak agar cowok-cowok yang tadinya melihat Jihan jadi takut dan menghilangkan niatnya untuk menggoda Jihan. Gerakan itu ditangkap oleh mata Jihan. Tidak tahu kenapa hati Jihan bertambah sedih. Setelah pacarnya diambil, penggemarnya juga disingkirkan? Apa Dean bilang terkait posisi Tissa? Dulu FWB-an sama Bagas? Kalau jenis hubungan itu sebenarnya ngapain aja sih? Beneran ya tidur bareng? Jihan berteriak frustasi dalam hati. Terlalu banyak pertanyaan berputar di kepalanya yang siap meledak kapan saja.
“Mrs. Ina dah masuk tuh,” ujar Jihan pelan. Tissa langsung berbalik menghadap ke depan dan mulai fokus menerima ilmu dari dosennya. Sedangkan Kanaya yang duduk di samping Jihan melihat perbedaan sikap Jihan. Kanaya menyenggol lengan Jihan membuat gadis itu menoleh. Kanaya terkesiap, baru disadarinya wajah Jihan terlihat sangat terluka.
“Are you oke?” tanya Kanaya tanpa bersuara. Jihan mendesah kecil, memutuskan masih bisa mempercayai Kanaya.
“No. I’m not okay,” jawab Jihan lesu.
“Kapan mau cerita?” tanya Kanaya lagi-lagi tanpa bersuara. Jihan melihat ke depan, Mrs Ina sudah mulai berbicara dan menyapa semua mahasiswanya. Sebentar lagi akan dimulai pembahasan mata kuliah. Jihan memutuskan menulis di kertas. ‘Gue pasti cerita cepat atau lambat. Lo ada waktu buat gue kapan?’
Seperti sudah paham bahwa Jihan meminta waktu untuk berdua, Kanaya membalas dengan menulis juga jawabannya ‘hari sabtu?’. Jihan mengangguk kecil lalu melihat ke depan sambil pura-pura menyibukkan dirinya dengan menulis apa saja yang dosennya katakana padahal pikirannya melayang ke Bagas dan Tissa. Rasanya Jihan ingin marah saat itu juga.
**
Menahan amarah memang berat dan itu membuat Jihan memutuskan untuk mulai menjaga jarak antara dirinya serta Bagas dan Tissa. Jihan hanya ingin menenangkan hatinya, apalagi mereka berdua juga sama sekali tidak menghubungi Jihan, ternyata mereka tidak menyadari perubahan sikap Jihan. Bahkan Tissa yang selama ini Jihan tahu peka dengan dirinya kini mulai menyibukkan diri dengan selalu datang ke kampus kesenian. Bagas malah masih mengirimkan emoticon sayang saat mereka saling chat. Jawaban pendek dan ketus dari gadis itu tetap tidak membuat Bagas merasa bahwa ada yang berubah dengan sikapnya. Bahkan saat Bagas ingin bertemu dan Jihan menolak, cowok itu masih menanggapi dengan biasa.
Perasaan itu kini menghantui Jihan sendiri. Sepertinya hanya dia yang merasakan sakit. Jihan merasa disisihkan dan dikhianati. Jihan kini sedang berjalan di lorong kampus ketika sedang melamun, mukanya masih lesu dan pikirannya sangat kacau.
“Jihan!” teriak seseorang di belakang Jihan. Jihan tahu itu suara Tissa, ketika dirinya hendak kabur, Jihan lalu teringat sesuatu. Bukankah Tissa tidak tahu bahwa dia telah melihat mereka berpelukan? Dengan enggan dibalikkannya badannya dan pura-pura tersenyum ramah pada Tissa.
“Ya? Kenapa, Tis?” tanya Jihan
“He! Lo kemana aja sih, akhir-akhir ini gue nggak liat lo, keluar kelas juga selalu duluan,” tanya balik Tissa sambil menyodok lengan Jihan. Jihan tersenyum getir.
“Lo kan yang sibuk, Tis. Gue mah apa, paling-paling gabut, hehe.”
“Oh ya, nanti malam lo nonton ya? Lukisan gue bakalan dipajang di pameran, gue harap lo bisa datang ya, ini tuh pertama kalinya, event pertama yang bikin gue cemas tapi sekaligus bikin seneng, mau ya? Lo pokoknya harus ada di sana nanti malam,” pinta Tissa manja, karena Jihan sekarang pintar berakting dia langsung mengiyakan dengan tersenyum lebar.
“Tentu saja, gue kan selalu dukung apa yang lo suka, gue pasti ngusahain datang,” ujar Jihan tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan keadaan hati Jihan.
“Makasih sweety pie gue, gue benar-benar nervous…aduh, gimana,” gelisah Tissa, Jihan hanya bisa terdiam, dia saat ini tidak bisa memberi semangat pada Tissa atau bahkan berusaha menenangkan temannya itu. Tangannya membeku di tempat tidak mau bergerak ke pundak Tissa.
“Tis, gue buru-buru nih, gue duluan ya?” kata Jihan dengan cepat lalu pergi meninggalkan Tissa yang mengiringi kepergiannya dengan senyuman dan lambaian tangan. Jihan tetap berjalan hingga dia menabrak seseorang sampai Jihan terduduk, airmatanya mulai turun ketika dia ditolong untuk bangun.
“Lo nggak kenapa napa?” tanya orang itu. Jihan yang berusaha bangun lalu ditatapnya orang itu yang ternyata adalah Bagas. Jihan langsung terkaget sedangkan Bagas yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya melihat Jihan menangis langsung memegang tangan Jihan erat. Jihan kemudian menatap Dean dan Ikbal yang ternyata bersama Bagas. Sepertinya mereka hendak mendatangi Kanaya seperti biasa.
“Jihan? Lo kenapa? Apa yang terjadi? Kok lo nangis?” tanya Bagas. Bagas agak kaget juga karena baru sekali ini dia melihat Jihan menangis, Jihan tidak ingin menjelaskan apapun, makanya dia berusaha melepaskan pegangan tangan Bagas. Bagas masih mengamati penampilan baru Jihan, sudah lama mereka tidak bertemu. Bagas baru tahu Jihan memotong rambutnya pendek. Sepersekian detik Bagas terkesima.
“Lepasin gue,” pinta Jihan sambil terus melepaskan pegangan tangan Bagas yang melekat erat ditangannya.
“Nggak mau! Gue nggak pernah liat lo kayak gini? Apa yang terjadi? Lo cerita sama gue?” Bagas juga terus melihat ke belakang Jihan, masih berusaha mencari tahu kenapa dia menangis, apakah dia sedang bertengkar dengan seseorang? Tapi ini seperti bukan kepribadian Jihan, bukankah Bagas tahu semua tentang Jihan? Pikiran itu terus melintas di kepalanya sembari melihat Jihan yang malah terdiam tidak mau menjawab.
“Kok lo malah diem sih? Lo lagi berantem sama orang ya? Ini nggak kayak lo banget,” kata Bagas terus mendesak Jihan, Jihan langsung merasa marah dan tersakiti
“Ha? Apa lo bilang? Bukan gue banget? Emang lo tahu gue kayak apa? Sejak kapan lo merduliin gue?” sinis Jihan.
Mendengarnya, Bagas langsung terlihat marah. “Hei! Apa yang terjadi?!” tanya Bagas menuntut jawaban sambil menarik tangan Jihan agar lebih mendekat
“Lepasin,” ujar Jihan terus meronta, tiba-tiba ada yang melepaskan tangan Jihan dari genggaman Bagas, dan orang itu langsung berdiri di hadapan Bagas.
“Lo nggak dengar apa Jihan bilang apa? Lepasin tangan lo nggak!?” kasar Dean pada Bagas. Bagas yang kaget hanya bisa menampilkan ekspresi diamnya, Ikbal sendiri memilih untuk tidak ikut campur.
“Ayo kita pergi.” Dean langsung merangkul Jihan dan mengajaknya pergi, meninggalkan Bagas yang terus bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sebenarnya, Dean lalu mengajak Jihan menuju taman kampus dan duduk di salah satu bangku taman.
“Lo nggak kenapa napa kan?” tanya Dean. Jihan lalu tersenyum pelan dan menggeleng sambil terus mengelus pergelangan tangannya yang sakit karena dipegang terlalu erat oleh Bagas.
“Halah, kenapa setiap gue ngelihat lo akhir-akhir ini, lo pasti lagi nangis. Dosa ap ague di masa lalu harus ngeliatin cewek nangis mulu,” keluh Dean sambil melirik Jihan.
“Gue kan nggak pengen juga, lagian siapa suruh lo liatin gue nangis. Lo kan bisa aja pergi, nggak usah merduliin gue kek,” gerutu Jihan.
“Lo tahu nggak? Muka lo jelek kalau nangis,” ejek Dean agar Jihan mau tertawa, dan benar saja Jihan langsung tertawa mendengar ejekan Dean.
“Dean, muka gue udah jelek tanpa nangis juga kali,” kata Jihan, Dean lalu menatap Jihan.
Lo salah, lo terlihat mempesona bahkan ketika air mat aitu bikin mata lo sembab.
“Kenapa sekarang lo liatin gue gitu? Lo tertarik sama gue ya? Iya kan?” goda Jihan sambil mendekatkan diri ke arah Dean. Dean langsung tergagap.
“Heh! Lo ngomong apa sih,”ujar Dean lalu berdiri dan melemparkan tasnya pada Jihan.
“Ape ni?” bingung Jihan.
“Bawain tas gue!” perintah Dean.
“Ish!” teriak Jihan langsung menyusul Dean berjalan tapi dengan senang hati dibawakannya tas cowok itu.
“Gue kan bukan asisten lo, by the way kita mau kemana?” tanya Jihan
“Lo diem aja deh, gue mau ada pemotretan, lo ikut gue. Lo pasti seneng deh bisa liat cewek seksi nan cantik bertebaran nungguin gue foto.”
“Ya itu elo kali bukan gue. Gue mah doyannya cowok ganteng, badan bagus, attitude bagus…”
“Gue dong,” sela Dean membuat Jihan menepuk lengannya dan mereka kemudian tertawa.
“Gue kepikiran nih mau cari sampingan. Untungnya Budhe ada tabungan dan mau ngasih ke kita buat beli rumah. Kaget gue Budhe punya uang sebanyak itu ternyata. Lebih kaget lagi Budhe beliin rumah itu untuk kita bertiga tinggali. Lagipula gue nggak pengen jadi beban siapa-siapa. Apalagi beban lo,” ujar Jihan sambil menunduk lesu, Dean lalu berhenti berjalan tanpa Jihan sadari hingga dia menyenggol Dean dan terkaget.
“Kok berhenti?” tanya Jihan.
“Lo bukan beban gue, Hm, mungkin gue bisa nyariin lo kerjaan. Kerjaan yang nyesuain sama keadaan lo sekarang sebagai mahasiswa masih aktif,” kata Dean memegang kedua bahu Jihan
“Beneran?” ujar Jihan sambil membelalakkan matanya senang.
“Yup! Tapi gue nggak tahu lo mau nerima kerjaan ini apa nggak.”
“Pekerjaan seberat apapun asal halal bakal gue lakuin gue ngeringanin pengeluaran kebutuhan Bunda,” ujar Jihan meyakinkan Dean.
“Lo nggak perlu sampai harus kerja keras, kerja aja sama gue, jadi asisten gue. Akhir-akhir ini banyak yang make jasa gue. Padahal awalnya gue iseng tapi ternyata banyak yang suka sama hasil foto gue. Jadi gue butuh ada yang arrange jadwal sama bantuin gue bawa-bawa barang,” ujar Dean lalu melepaskan tangannya dari bahu Jihan, kembali berjalan meninggalkan Jihan yang masih terperangah tidak percaya, Jihan lalu segera berlari menyusul Dean dan langsung menarik baju Dean agar dia berhenti.
“Dean, lo nggak bercanda kan?” tanya Jihan masih tidak percaya. Jihan memang pernah melihat portfolio Dean baik di IG maupun sosmed lainnya.
“Tentu aja nggaklah, emang sejak kapan gue bercanda sama lo?” Dean lalu mengelus rambut Jihan pelan dan mulai berbicara dengan nada pelan tapi serius. Perut Jihan seperti ada yang berterbangan kesana kemari.
Yang lo lakuin sekarang ini emang lagi nggak bercanda?! Tanggung jawab lo sama degub jantung gue!