Jihan menelusuri setiap tulisan yang ter-list di catatan yang diberikan bundanya. Karena akhir-akhir ini Jihan tidak bisa banyak membantu ibunya karena sibuk dengan urusan kuliah -dan pacarana tentu saja-, begitu tidak ada janjian dengan Bagas dan juga tidak ada homework yang harus dikerjakan, Jihan menawarkan diri saat bunda kehabisan bahan makanan dan juga bahan masakan untuk catering.
“Kol udah, cabe udah, mayonnaise sebelah sana, telur terakhir aja takut pecah,” ujar Jihan berbicara pada dirinya sendiri sembari mendorong trolinya. Handphone-nya berbunyi, begitu melihat nama seseorang yang special muncul di layar, Jihan langsung antusias menerima panggilan.
“Halo, Gas.”
“Halo, sayang.”
Entah sejak kapan Bagas mulai memanggilnya dengan panggilan sayang. Awalnya Jihan merasa rikuh karena baru kali ini dipanggil sayang oleh seorang laki-laki. Padahal belum genap 2 minggu mereka menjalin kasih tapi Bagas mulai memberikan nama panggilan yang Jihan khawatirkan nyeplos di depan teman-temannya. Meski sekarang masih aman sih, Bagas nggak pernah keseleo lidahnya saat mereka kumpul bareng.
“Lagi dimana?”
“Lagi belanja di supermarket deket rumah. Beli bahan buat Bunda masak masak karena mulai habis.”
“Loh? Nggak bilang? Sama siapa, Yang? Tahu gitu gue anter kan?”
Jihan menggeleng kecil. “Nggak usah, gue sendirian aman kok. Nggak banyak juga belanjaannya. Pake motor muat.”
“Padahal gue lagi free, bisa sekalian ketemu sama lo,” ujar Bagas dengan nada suara sedihnya.
“Kemarin kan habis ketemu, Gas. Nggak puas apa?” kelakar Jihan. Lalu terdengar tawa pelan di ujung sana. “Nggak, kalau sama lo, mana puas ketemu cukup sekali? Kalau bisa setiap hari, setiap jam, setiap detik.”
“Over possesif deh,” gerutu Jihan. Meski sedang telponan dengan Bagas, Jihan masih bergerilya mencari pesanan bundanya. Matanya menangkap sesosok yang dia kenal tapi orang tersebut tidak sendiri. Melainkan ada yang menemani.
“Kalau gini kan hasrat untuk menafkahi melambung tinggi kayak harga bitcoin.”
“Inget skripsi!” balas Jihan setengah berbisik. Jihan segera sembunyi di antara rak dan mengintip dari balik produk yang terpampang. Jihan berusaha mencuri dengar apa yang sedang mereka berdua bicarakan.
“Lo kenapa, Yang? Suara lo pelan banget.”
“Sssttt, bentar ya, nanti gue telpon.”
Tanpa waswiswusweswos Jihan menekan tombol end dan mulai menaruh handphone ke saku celananya. Telinganya mulai dipasang lagi tapi dering di handphonenya membuatnya kaget. Refleks Jihan menjauhi kedua orang tersebut dan panik menuju arah yang berlawanan agar tidak ketahuan.
Bagas ih! Nggak peka, malah telpon lagi, dasar cowok!
“Apa?”
“Lo kenapa sih? Habis ketemu sama siapa telpon gue dimatiin?”
“Nggak, tadi gue kayak liat orang yang gue kenal sih. Tapi mungkin perasaan gue aja.”
“Mang lo dimana sih, Yang?”
“Gue? Gue lagu di T Mart, kenapa gitu?”
“T Mart ya? Hm, jangan bilang kalau lo ketemu sama Ikbal?”
“Eh kok lo tau sih, Gas?” kaget Jihan karena Bagas bisa menebak begitu cepat dia habis bertemu dengan siapa.
“Tadi Ikbal bilang ke gue diam au ke T Mart sama sepupunya, lagi pada ngumpul di rumahnya. Gara-garanya sih gue mau main tapi nggak dibolehin.”
“Oalah, itu sepupunya ya, tadinya mau aku samperin tapi nggak jadi.” Jihan kemudian membalikkan trolinya kembali ke lorong yang tadi dia tinggalkan. Beberapa pesanan Bunda ada di rak tersebut.
“Kalau Kanaya tuh cemburuan nggak sih?”
“Kanaya? Mayan sih, dia cemburuan banget.”
“Menurut lo, lo bakal nyeritain ke Kanaya nggak abis ketemu sama Ikbal?”
Jihan tertegun sejenak, biasanya dia apa apa cerita ke temen-temennya tapi terkait hubungan cinta memang Jihan dari awal berteman nggak pernah mengurusi karena menganggap mereka sudah dewasa dengan pilihannya sendiri. Lagian kalau ada yang menyakiti mereka, baru Jihan maju paling depan. Kalau mereka bahagia dengan pilihan mereka sendiri kenapa Jihan harus ikut campur? Pertanyaan Bagas membuatnya mulai berpikir. Kenapa juga dia harus memberitahukan ke Kanaya bahwa dia bertemu dengan Ikbal dan sepupunya?
“Ha? Gue sih kalau ada momennya cerita, kalau nggak ada yaudah. Lagian gue suka lupa sih kalau nggak langsung ketemu trus ada moment berdua gitu.”
Terdengar jeda diam, sampai Jihan kira hubungan telponnya terputus.
“Gas, gue udah selesai muter-muter nih, gue mau antri di kasir. Gue tutup telponnya yaa, nanti malam kita telponan lagi.”
“Oke, Jihan sayang, nggak ngampus ya hari ini?”
“Nggak, Gas. Kelas yang hari ini memang udah ada pengumuman kalau kosong.”
“Oke, see you besok ya? Besok gue ajak Ikbal dan Dean main ke fakultas lo.”
“Jangan lupa skripsi!” ujar Jihan sambil setengah tertawa mengingatkan Bagas. Di ujung sana Bagas juga ikut tertawa kemudian menutup telponnya.
Jihan mulai celingukan lagi, kemana ya tadi Ikbal sama sepupunya. Mau nyapa aja sih, tadi sembunyi sembunyi kan karena belum tahu. Kalau sekarang mah udah tahu siapa perempuan yang tadi bersama Ikbal.
Tapi tidak terlihat sama sekali bahkan sampai antrian Jihan habis dan dia menata barang-barangnya di depan kasir untuk di scan harga. Entah kenapa hati Jihan merasa ada yang mengganggu. Baik pikirannya maupun perasaannya. Terasa aneh saja.
Apa ya? Weird.
**
“Jihan, nuangin adonan di teflonnya jangan tebel-tebel,” perintah Bunda. Jihan angguk-angguk dan mulai menggerakkan teflonnya setelah diberi adonan agar bulat sempurna. Sekarang Bunda dan Jihan sedang membuat sosis solo, pesenan teman Bunda yang hendak arisan nanti malam.
“Bund, ini pesennya banyak banget sampe 500 pcs, yakin nih? Orangnya bayar DP nggak?”
“Itu temen Bunda sendiri yang pesen, masak mau nipu?”
“Ya bisa aja, Bund. Jaman sekarang dah banyak temen makan temen.”
“Emang udah ngerasain?”
Jihan menggeleng dan nyengir. Temannya hanya Tissa dan Kanaya, gimana mau ngerasain, sedang saat SD sampai SMA Jihan tidak mempunyai teman dekat, teman yang sampai main ke rumahnya. Kalau dia yang main ke rumah temannya atau sekedar ngobrol di sekolah, Jihan juga punya. Atau sekedar teman nonton ketika ada film bioskop yang bagus, Jihan biasanya ikut gabung ke grup tertentu. Setelah nonton, yaudah Jihan kembali ke kehidupannya sendiri.
“Nanti sore, ikut Bunda anter ya? Ini temen bunda waktu SMA, Bunda nggak sengaja komunikasi sih di grup wa. Eh pas Bunda cerita punya catering kecil-kecilan, dia langsung pesen. Langsung chat Bunda secara langsung. Langsung transfer juga tanpa harus Bunda kirim poster. Jadi ya Bunda belum pernah ke rumahnya. Nanti kalau Bunda tersesat gimana? Nanti bisa bisa kamu hanya hidup berdua saja dengan budhe.”
Mendengar itu Jihan langsung bergidik ngeri. Tinggal hanya berdua saja dengan budhe pasti bikin level stress meningkat setara dengan level pedas cabe 500.
“Ya makanya Jihan anter ya?” ujar Jihan memelas.
Bunda tertawa, karena memang tujuannya biar dianter sama Jihan.
“Yaudah cepetan kulitnya, udah jadi berapa itu? Sini Bunda isi dengan isiannya.”
“Asiap bos! Ini dah numpuk banyak, ayo kita kerja keras bagai kuda biar bisa lekas umrohin Bunda!” seru Jihan membuat Bunda tertawa lagi.
“Mikirnya jauh amat, buat bayar semesteran kamu aja, Bunda cekot cekot.”
“Jangan gitu, Bunda. Ucapan adalah doa terbaik. Pasti Bunda bisa umroh secepatnya.
“AAMIIN,” seru mereka berdua sambil menengadahkan tangannya lalu tertawa bersama.