Masa yang Labil

1859 Kata
       Benar dugaan Bimo, pertengkaran-pertengkaran terus terjadi antara Axel dan Daniel. Sebagai orang tua, Bimo merasakan apa yang dirasakan Daniel, di sisi lain Bimo sangat memahami perasaan Axel. Sering kali Axel jadi pembangkang dan Daniel semakin ingin menunjukkan power-nya sebagai orang tua. Daniel belum pernah melihat Axel menangis di sisi kolam ikan. Sementara Bimo sudah berkali-kali melihat Axel menangis, entah itu karena permasalahan dengannya atau dengan Daniel, kalau sudah melihat Axel seperti itu, Bimo merasa, Axel begitu nelangsa. Dan Bimo tidak tega. Hingga Bimo memutuskan untuk bicara lagi dengan Daniel agar ada solusi atau sebuah aturan yang enak bagi keduanya.     Di beranda rumah sehabis segala pekerjaan selesai, Bimo memulai percakapan dengan Daniel. Saat itu langit senja begitu sempurna.     “Dan, apa kamu tidak terlalu keras pada Axel?”    “Keras gimana maksudmu Bim, untuk sebuah aturan aku bukan keras. Aku harus tegas. Dia anak perempuan Bim. Aku harus melindungi dia dari hal-hal yang tak kita inginkan. Aku ada tanggung jawab moral pada Ratih, jika aku tak bisa mendidiknya dengan baik. Dan aku minta kamu support aku, bukan sebaliknya. Kita sudah bahas ini berkali-kali. Jika aku bilang tidak, kamu pun harus bilang tidak. Kalau kamu bilang iya maka dia akan terus lari padamu untuk mencari perlindungan, dan aku sedemikian buruknya di mata dia. Maka, tolonglah mengerti posisiku.” Belum Bimo mengemukakan pendapatnya, Daniel terlebih dulu memberikan alasan yang cukup dimengerti Bimo.     “Aku mengerti Dan, sangat mengerti posisimu. Tentu, aku pun menjadi serba salah. Aku bukan bermaksud membela Axel. Bukan aku mempermasalahkan aturannya. Tapi, caramu menyampaikan aturan yang harus dijalankan Axel. Kamu harus lebih wise lah. Masa seusia Axel adalah masa labil. Dia tidak akan menerima begitu saja aturan yang kita buat, malah dia menerima aturan itu sebagai sebuah pengekangan. Hasilnya? Bisa kamu lihat sendiri, Axel bukannya mengikuti aturan yang kita buat, malah sebaliknya. Dia seolah dengan sengaja menentang aturan yang kita buat.”   “Jadi aku harus bagaimana, Bim? Membiarkan dia?” Daniel menjawab Bimo dengan putus asa. Bimo terdiam beberapa saat.   “Aturan kemarin aku perlunak. Dia boleh keluar malam asal kamu antar, sekarang kenyataannya? Dia menolak kamu antar, alasannya? Enggak enak kayak anak papi. Lalu, kini seenaknya pulang jam berapa saja, seenak-enaknya dia. Dan ini aku pikir sudah tidak benar.” Bimo kembali terdiam. Benar-benar terjepit di antara orang yang berseteru itu adalah hal yang tidak mengenakan. Apalagi Daniel dan Axel, adalah dua orang yang sangat dicintainya.    “Iya, Dan. Aku mengerti akan ketakutanmu. Tapi, percalah. Anak itu akan mampu memilah mana yang salah dan yang benar. Tinggal kamu memberikan kepercayaan padanya. Itu saja, Dan,” kata Bimo mengakhiri percakapan sore itu, senja semakin jatuh. Dilihatnya, Daniel hanya terdiam.     Axel saat itu belum pulang, Daniel sudah memasang raut tak senang. Dan Bimo enggan menyaksikan pertengkaran di antara mereka. Drama apalagi yang akan terjadi. Bagaimana dua orang kesayangannya bisa sekeras itu?    Bimo beranjak, bukan menghindar. Tapi, mencoba menarik diri. Biar mereka bisa menyelesaikan permasalahannya tanpa melibatkannya. Langkah Axel yang lebar telah terdengar dari jauh.    “Bim, jangan ke mana-mana. Temani aku, lihat bagaimana reaksinya padaku. Agar kamu bisa menilai, pantaskah menurutmu? Bagaimana Axel akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku?”   Bimo mati kutu. Ia duduk kembali, terpaksa padahal hatinya menolak.    "Assalamualaikum,” sapa Axel. Lantas dia masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa beban.    “Axel!“ panggil Daniel. Bukannya berhenti, Axel malah berlalu dengan cepat seolah tak peduli.    “Axel!!” Daniel meninggikan volumenya. Bimo mencoba menenangkan Daniel. Api jangan dipercik dengan api, malah nanti akan terbakar, pikirnya.   “Axel, sini Sayang. Kita berdua sepertinya butuh waktu kamu, untuk bicara.” Perkataan Bimo membuat hati Axel luluh. Axel berhenti melangkah, sekaligus membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua.    “Axel tahu, Ayah dan Om pasti mau bahas tentang kenapa Axel pulang terlambat. Tapi, bisakah sebelumnya. Axel ganti baju dulu, please? Setidaknya minta minum dulu sama Bi Inah?” Meski kata-katanya disampaikan dengan pelan-pelan, tak urung membuat Daniel emosi. Dan Bimo tak bisa lagi mencegah sebuah pertengkaran terjadi.    “Jika kamu sadar kekeliruanmu di mana, hal pertama yang harus kamu lakukan apa, anak manis?”   “Minta maaf, itu kan maksud Ayah?”   “Tepat, jawaban yang sangat tepat. Setelah itu kamu boleh melakukan apa saja yang kamu suka. Sebelum Ayah pergi karena capek, melihat kamu terus-terusan melakukan kesalahan yang sama dan tidak mau memperbaikinya adalah sama seperti seekor keledai.” Bimo kaget mendengar perkataan Daniel. Genderang perang telah dikibarkan, semakin membuat Bimo bingung. Dua orang keras kepala ini telah berhasil membuatnya terperangkap dalam pusaran mereka.     “Jika Ayah merasa capek, lalu Axel merasa apa Ayah? Axel merasa lelah.” Axel berlari ke dalam rumah sementara Daniel beranjak pula masuk, Bimo terdiam di beranda, senja sudah tenggelam, sebentar lagi gelap. Bimo pun beranjak, berjalan ke arah paviliun. Menyerah menjadi penengah di antara dua orang yang keras kepala.    Membayangkan kedua orang tersebut tengah tersulut emosi. Yang satu mungkin tengah menangis karena rasa lelahnya sementara yang satunya hatinya terbakar oleh perasaan capek dan marah.   Sebentar lagi anak itu akan lari ke tempatnya, mengadukan segala perkataan ayahnya dan tak terima. Dengan derai air mata. Dan Bimo paling tidak bisa melihat Axel menangis. Tidak bisa, apa pun alasannya. Daniel? Kenapa bisa sekeras dan sekaku itu, alasannya adalah Ratih. Lalu siapa yang salah? Tak ada yang salah, yang salah adalah cara berkomunikasi mereka.     Bimo tak mendengar suara apa pun setelah itu. Tak ada makan malam. Mereka berdua memilih berdiam di kamarnya masing-masing. Bimo hanya makan sendiri dengan perasaan campur aduk. Lalu ia meminta Bi Inah untuk mengantarkan makanan Axel ke kamarnya.    “Dan, makan dululah. Nanti kamu sakit. Aku akan bicara pada Axel nanti.” Bimo mengetuk kamar Daniel perlahan, tak ada jawaban, kemudian berjalan ke kamar Axel, diketuk pula kamarnya sama tak ada jawaban. Bimo sekejap menarik napas panjang dan berlalu masuk ke tempatnya.    Sampai pagi tiba, Bimo tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Sampai teriakan Daniel menggelegar di rumah itu, memanggil nama Axel berulang. Bimo panik memburu.    Didapati Daniel berada di kamar Axel, tepatnya di depan lemari. Ia tengah kebingungan menatap lemari tak bersisa sehelai baju pun. Kecuali baju-baju Axel di bagian bawah lemari yang sudah jarang dipakaI. Kesimpulannya anak itu telah pergi dengan rasa kecewa dan putus asa. Bimo adalah orang yang paling merasa bersalah, bagaimana bisa ia mengabaikan putri bidadarinya? Bagaimana bisa, ia seego itu?   “Tenang, Dan. Ia tak akan pergi jauh. Ini masih pagi, pasti belum terlalu jauh. Kita masih bisa berpencar mencarinya.” Bimo menenangkan Daniel padahal ia sendiri tidak tenang.    Area rumah dan perkebunan telah mereka sasar, Axel tidak ada di sana. Satu-satu teman Axel ditelepon, tak ada satu pun yang tahu keberadaan Axel. Keluarga Bandung apalagi Sumedang, mereka sama tak mengetahui Axel ada di mana. Wajah Daniel tegang. Sebenarnya, Bimo ingin sekali memulai percakapan dengan Daniel. Tapi, menyalahkannya tak akan membuat Axel kembali dengan cepat.    “Coba, Dan, tempat apa yang biasa Axel tuju kalau dia sedang marah atau sedih?” tanya Bimo. Daniel menggeleng, sepertinya Daniel sangat lelah.    “Oh, aku lupa, Dan. Biasanya dia akan duduk di dekat kolam ikan. Eh, tapi dia kan membawa baju sebanyak itu. Tidak mungkin, Dan.” Bimo menyangkal sendiri dugaannya. Tapi, ia sendiri pergi ke kolam itu untuk memastikan kemungkinan Axel ada di sana, meski ia tak yakin.      Beberapa saat kemudian Bimo sudah sampai di pinggir kolam. Benar dugaannya Axel tak berada di sana, ke mana anak itu pergi. Hatinya kembali dijalari kecemasan.    “Tak ada kan? Dia kabur Bim. Axel kabur. Dia tak menyadari. Betapa sayangnya aku padanya. Pergi adalah pilihan pengecut.” Masih saja Daniel melontarkan kata-kata yang kurang baik di saat seperti itu. Bimo terdiam, tetapi berpikir ke mana Axel akan pergi. Suatu tempat yang membuatnya nyaman dan merasa di terima.    “Apa kita biarkan saja dia pergi untuk beberapa saat, sampai dia menyadari kekeliruannya?”   “Dan, coba turunkan egomu sedikit. Jika katamu kamu mencintainya, setidaknya coba pahami dirinya, apa maunya. Dengan tidak mencarinya, berarti kita membiarkan dia dalam bahaya. Kamu rela? Dan menyesal kemudian?” Bimo mulai kesal terhadap Daniel. Bagaimana mungkin ia berpikiran sesempit itu? Yang ada di kepala Bimo hanya satu, keselamatan Axel.    “Aku bukan membiarkan dia dalam marabahaya, Bim. Dia pergi karena rasa marah dan kecewanya kepada keputusan yang aku berikan. Harusnya dia berpikir bahwa aku memperlakukan dia seperti itu adalah cara aku melindungi dia. Titik.”     “Tak ada titik dalam mempertemukan sebuah perbedaan, harus ada jeda di mana ada saatnya kita harus mengalah. Dan tak membuat kita kalah. Dan, Lihatlah cara orang tua kita dulu mendidik kita, tentu kita bisa mengadopsi cara-cara bijaksana mereka meskipun tak semuanya bisa kita terapkan karena perbedaan zaman.”   “Iya, Bim, aku paham. Kamu ingin mengatakan secara tidak langsung. Dia pergi karena keegoisan aku sebagai orang tua.”   Bimo masih saja berargumen, di sisi lain mungkin Axel sudah pergi kiloan meter entah mau ke mana? Dengan perasaan bingung dan sedih.    “Jadi keputusanmu bagaimana? Membiarkan dia pergi dan menunggunya kembali? Jika dia tidak kembali karena kebodohan kita, apa kamu siap? Aku tidak, Dan, terlepas masalah apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Axel. Bukan semata tentang aturan dan pelanggaran, jauh dari pada itu, hubungan kalian sudah tak sehat. Kalian perlu datang kepada ahlinya agar benang merahnya bisa terlihat dengan jelas.” Perkataan Bimo yang terakhir membuat Daniel terdiam cukup lama. Bimo mengambil keputusan saat itu juga untuk mencari Axel.    “Aku curiga, Bim ....” Sebelum Daniel melanjutkan terkaannya, Bimo sudah bisa menebak tempat apa yang akan Axel tuju.    “Ratih, ya makam Ratih. Kita akan ke sana sekarang.”   Ratih dimakamkan di sebuah pemakaman umum di bilangan Jalan Caringin, tempat terdekat dengan rumah mamahnya Ratih.   Siang itu, mengendarai sepeda motor milik Bimo. Daniel dan Bimo menuju makam Ratih, makam yang telah lama mereka abaikan. Daniel tampak tegang apalagi Bimo.    Dengan kecepatan tingi, perjalanan Lembang-Kopo ditempuh dengan waktu tercepat. Sebenarnya, tanpa persiapan menyekar ke makam, tak ada bunga dan air untuk berdoa karena bukan tujuan semula untuk menyekar, tetapi mencari keberadaan Axel.    Disambut angin pekuburan yang dingin dan beberapa helai guguran daun kamboja. Bimo dan Daniel melangkah menyusuri makam yang nisannya bertuliskan nama Ratih, ia ingat betul di mana letaknya.    Di sana di atas makam, mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang mengharukan. Axel tengah memeluk batu nisan. Daniel membeku, sementara Bimo berusaha menggapai Axel. Dia butuh pelarian. Biasanya dia akan menuju ke tempatnya. Mungkin dirasanya kali ini, ia bersengkokol dengan Daniel. Axel mencari tempat pelarian yang lain. Dan inilah tempatnya.    Tempat paling hening. Tempat seseorang paling dirindukan dalam kehidupannya. Orang yang paling ingin ditemuinya dalam sepanjang hidupnya.    Sikap Daniel telah berhasil membuatnya pergi ke tempat itu, mempertanyakan hal yang tak pernah dia temui jawabannya. Daniel masih mematung di tempatnya. Tangan Bimo berhasil menyentuh pundak Axel lembut.    “Axel,” panggil Bimo lirih. Tampak Axel terkejut dan berdiri seketika. Ranselnya terjatuh. Pasti berat memikul ransel dengan penuh baju. Tapi, lebih berat membawa hati yang penuh luka. Bimo memeluknya perlahan, tangis Axel pecah di sana.    Daniel berjalan mendekat. Duduk bersimpuh di atas pusara. Tampak sekali raut kesedihannya, lama sekali Daniel tak pernah datang ke tempat itu. Bertahun-tahun lamanya, tangisnya pecah di sana.    Bimo, masih memeluk Axel. Inilah sebab, ia tak bisa meninggalkan Daniel apalagi Axel. Dua jiwa ini adalah dua jiwa yang terluka dan kesepian.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN