Axel yang Pergi dari Rumah

1504 Kata
Bimo tak kuasa melihat Daniel, ia tampak sedih sekali. Axel masih dalam pelukannya.     “Axel, kita pulang ke Lembang, ya?” pinta Bimo. Axel melepaskan pelukan Bimo seketika. Raut wajahnya berubah, marah. Lalu menggelengkan kepala, tanda tak mau.    “Kenapa, Sayang. Lihat Ayah Daniel, tak kasihankah kamu melihatnya?” tanya Bimo sambil menunjuk Daniel dengan arah matanya, Axel melihat Ayah Daniel dan dia terenyuh. Namun, rasa marah masih menguasai hatinya.    “Axel mau ke rumah Nin saja untuk beberapa saat.”   “Lalu, sekolahmu gimana?”    “Tolong, izinkan saja Om. Axel butuh waktu, Axel capek terus berantem sama Ayah, apa yang Axel lakukan selalu salah di mata Ayah,” kata Axel separuh berbisik. Bimo terdiam. Tak lagi berusaha membujuk Axel. Ia kehilangan kata-kata.   “Dan,” panggil Bimo. Daniel menoleh dan menghampiri mereka berdua. Setelah dekat, giliran Bimo menjauh, mendekati pusara Ratih. Meninggalkan Axel dan Daniel agar leluasa berbicara. Bimo terduduk, bayangan Ratih tergambar jelas di benaknya.     “Rat, anakmu Axel kini sudah besar. Kamu pasti bangga padanya.” Bimo berusaha menahan kesedihannya. Dilihatnya ayah dan anak itu tengah bercakap begitu serius, terbersit kekhawatiran Bimo, Daniel dan Axel bertengkar di sana. Lantas Bimo berdiri dan mendekatkan diri.    “Bim, bujuk biar Axel mau pulang. Aku sudah mati gaya membujuknya.” Daniel berkata sambil pergi dan duduk di atas motor yang diparkir di sisi jalan pemakaman.      “Yakin kamu tidak mau pulang?” Axel masih menggeleng.    “Fine, jika itu maumu. Tapi, perlu kamu ingat. Om juga akan pulang ke Jakarta kalau kamu berlama-lama di rumah Nin. Melarikan diri dari masalah adalah sifat seorang pecundang, Xel.” Bimo meninggalkan Axel yang tengah kebingungan. Membiarkan dia, belajar memilih dan bertanggung jawab, meski hatinya bimbang pada pilihan Axel. Bimo berpikir, ia harus punya sikap.     Jarak pemakaman ke rumah mamahnya Ratih tidaklah jauh.   “Ayoo Dan, biarkan Axel menentukan jalannya. Aku yakin dia tak akan bertahan meski hanya satu hari.”   Daniel mengernyitkan alis atas keyakinan Bimo kepada Axel.    “Aku harap, ini drama terakhir untuk kamu dan Axel, cobalah perbaiki cara berkomunikasimu. Dulu, kamu yang selalu mengingatkan aku supaya bersabar menghadapi Axel, kini malah kamu yang melanggar semua perkataan kamu padaku. Coba beri ruang dan kepercayaan padanya, setahu aku di usia Axel semakin dilarang dia malah akan semakin melawan.” Daniel menatap Bimo sambil menggaruk-garuk kepala tapi tidak gatal. Hanya mencoba mengingat-ingat kata-katanya dulu pada Bimo.    Ketika mereka menoleh ke arah pusara Ratih. Axel sudah menghilang. Mereka hampir bersamaan menarik napas yang panjang.  ***   Axel sampai di rumah neneknya. Tentu, mamah Ratih terkejut setelah pagi-pagi sekali Daniel menanyakan Axel padanya, apalagi ransel besar yang digendong Axel tampak berat tidak seperti biasanya. Jangan-jangan anak ini kabur, pikir mamah Ratih.    “Assalamualaikum, Nin,“ sapa Axel sambil meraih tangan neneknya untuk dicium. Disambut pelukan hangat sang nenek.   “Wah, kayaknya mau tinggal lama ya di rumah Nin?” tanya mamahnya Ratih. Axel tersenyum kecut mendapat tebakan dari neneknya. Tiba-tiba, dia ingat ancaman Bimo tadi sebelum berpisah. Jika dia tidak pulang cepat, maka Bimo akan pulang ke Jakarta. Ada perasaan takut ancaman itu banar-benar dilakukan Bimo.    Axel yakin, kedua laki-laki itu kini telah kembali ke Lembang.    “Enggak tahu, Nin. Axel boleh masuk kamar dulu?” tanya Axel kemudian, mamahnya Ratih sengaja menyediakan kamar bagi Axel, kamar yang dulu jadi kamarnya Ratih, tak pernah diubahnya, peletakan semua barang masih sama ketika Ratih masih gadis.    Sang nenek mengangguk. Meski, dia yakin pasti ada masalah yang tengah terjadi antara Axel dan Daniel. Disadarinya lewat kecemasan suara Daniel pagi tadi di sambungan telepon.  ***       Bimo yakin Axel akan pulang cepat seperti terkaannya. Apalagi dia menekankan bahwa ia akan pulang kalau tak ada Axel di rumah.    Sepulang dari makam, mandi sejenak lalu pergi ke perkebunan organik milik Daniel menyusul laki-laki itu yang telah terlebih dulu pergi ke sana. Sebentar lagi ada panen dan langsung akan didistribusikan agar hasil panen bisa langsung diterima para customer dalam keadaan fresh.    Pekerjaan yang cukup menyita waktu, sejenak melupakan permasalahan antara Daniel dan anaknya.    Sepertinya setelah tadi mengobrol cukup intens dengan Daniel, laki-laki itu agak melunak. Bimo sangat berharap mereka bisa memperbaiki kesalahan mereka. Bagaimanapun Bimo yakin pasti ada saatnya Axel menyadari kesalahannya dan Daniel bisa lebih memahami keinginan Axel.   Bimo yakin sebentar lagi anak itu akan pulang mengingat tadi ketika ia mengatakan akan pergi ke Jakarta, dilihatnya Axel sedikit terkejut. Pasti berpikir kalau ia pulang ke Jakarta akan ketemu Ira Gustira. Bimo tersenyum kecut, setiap mengingat perempuan itu, entahlah hatinya menjadi tidak enak.    Apa yang Bimo pikirkan memang sedang pula dipikirkan Axel. Sepanjang di rumah mamahnya Ratih, pikirannya tertuju kepada Bimo. Dia tak mau omnya pergi gara-gara dirinya. Dia lekas membereskan barang-barangnya yang tadi sempat dikeluarkannya. Menghampiri mamahnya Ratih yang sore itu tengah menyiram tanaman di depan rumah, agak terkejut mendengar keputusan Axel untuk pulang ke Lembang.    “Kenapa, katanya mau lama tinggal di rumah, Nin. Belum juga malam sudah mau pulang.“ Tampak neneknya kecewa sekali, dikecupnya pipi neneknya seolah menghibur kekecewaannya.    “Hari ini Axel enggak sekolah, Nin. Axel belum libur sekolah, sih. Cuman tadi Subuh kepikiran Axel ingin ke rumah Nin. Kangen,” dalih Axel. Meskipun neneknya menebak ada sesuatu yang terjadi antara cucunya dan Daniel, tetapi dia merasa enggan untuk ikut campur.    “Ehm, ya sudah. Berani pulang sendiri kan?” tanya mamahnya Ratih. Axel tersenyum lebar mendengar pertanyaan basa-basi dari neneknya.    “Aih, NIn. Masa enggak berani? Tinggal naik angkot, kok.” Neneknya terus memeluk Axel cukup lama. Dia masih merasakan rasa sakit ditinggal Ratih padahal sudah bertahun-tahun berlalu, apalagi kalau melihat Axel. Terbayang kembali saat itu, ketika dia terima telepon bahwa Ratih mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan Axel. Dan mamah Ratih terlambat datang ke rumah sakit, Ratih sudah pergi untuk selamanya. Dua bulir air mata turun, Axel menangkap kesedihan di raut wajah neneknya.    “Nin, tadi pagi Axel pergi ke makam Mamah. Axel cukup lama di sana. Mendoakan Mamah. Axel ingin ketemu Mamah Nin.” Axel tak kuasa menahan kesedihan di pelukan Neneknya. Hal yang sama tengah meliputi perasan perempuan paruh baya itu.    “Nin juga kangen mamahmu, Axel. Sering-seringlah ke sini. Tengok Ninmu ini.” Axel mengangguk berkali-kali, air matanya berderai. Dia meleraikan pelukannya, melangkah tanpa melihat lagi ke belakang, takut makin larut dalam kesedihan. Terkadang kalau mendengar bagaimana cara mamahnya meninggal, dia selalu menyalahkan dirinya sendiri. Mamah meninggal gara-gara aku, coba waktu itu Mamah tak melahirkan aku. Dia pasti baik-baik saja, jerit hati Axel.    Axel seolah lupa setiap manusia akan mati dengan cara paling rahasia, kapan dan bagaimana cara kematian itu merenggutnya, takdir yang rahasia pula.      ***   Di Lembang, Bimo tengah gelisah dengan keyakinannya. Apa benar Axel pasti pulang cepat? Sebenarnya, ia sendiri ragu. Hanya saja kepulangannya ke Jakarta hanya lah gertakan semata. Ia tak bisa pergi ke mana-mana. Mana mungkin ia bisa pergi tanpa beban, di saat ada masalah di antara mereka yang belum kelar.    Senja sudah jatuh semakin dalam. Axel belum kelihatan batang hidungnya. Bimo dan Daniel saling melempar pandang.    “Kita tunggu saja dulu, Dan.”   “Aku pikir. Benar katamu, aku harus memberi ruang pada Axel dan memberikan kepercayaan penuh padanya. Asal dia terus memberikan informasi terkait keberadaannya, aku tak perlu khawatir.” Bimo menepuk pundak Daniel. Memberi semangat dan berterima kasih karena mau mendengarkan sarannya.   “Kembalikan masalahnya kepada Tuhan, di saat kamu sudah merasa tak mampu menanggungnya. Di saat itu Tuhan akan menunjukkan sebuah jalan keluar sesuai dengan permintaanmu.” Bimo geli sendiri dengan quote yang sering ia berikan untuk Daniel. Pepatah katanya berlaku untuk orang lain, tidak untuk dirinya sendiri.     Bimo cukup heran juga dengan sikap Daniel akhir-akhir ini, Daniel yang biasa diam dan tak banyak bicara kalau sudah menyangkut pelanggaran yang dilakukan Axel berubah menjadi nyinyir dan cerewet.   Ah, entahlah, batin Bimo. Mungkin itu naluri sebagai Ayah, ada sebuah sistem yang memberikan tanda dalam tubuhnya untuk selalu menyalakan warning agar putrinya baik-baik saja. Who knows?    Sampai matahari tenggelam, Axel belum pulang. Bimo merasa sedih, rasa percaya dirinya ternyata terlalu berlebihan. Setelah Daniel lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sama. Akhirnya, Bimo pun menyerah menyusul Daniel kemudian.     “Om!” Langkah Bimo terheni demi mendengar suara yang memanggilnya.     “Axel?”     “Lagi pada nunggu Axel kan?”   “Idih , enggak tuh.”   “Bener nih?”   “Iya.”   “Ok, kalau gitu Axel pergi lagi deh.” Dan Axel pura-pura membalikkan tubuhnya. Bimo cukup gemas juga dengan kelakuan anak itu.    “Eits, cukup Axel. Jangan bikin ommu jantungan.“ Axel tergelak dan berlari ke pelukan Bimo. Laki-laki itu langsung mengacak-acak rambut Axel seperti biasanya kalau lagi gemas. Suaranya lantang memanggil nama Daniel.    “Biasa saja, Om. Justru suara Om yang akan bikin Ayah jantungan,” ledek Axel. Disambut derai tawa Bimo. Daniel datang kemudian.    “Akhirnya, kamu pulang juga. Xel.”    “Ayah, maafkan Axel.”    “Maafkan Ayah juga, Xel.” Mereka berpelukan untuk waktu yang cukup lama. Bimo terharu, dipeluknya mereka berdua dari arah belakang.    “Ah, lebaran masih lama,” goda Bimo. Mereka serempak tertawa.     “tak ada pertengkaran lagi. Ini yang terakhir,” kata Bimo lagi.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN