Kelakuan Axel yang membuat Daniel was-was tak berhenti sampai di sana, ada saja hal-hal yang membuat Daniel marah. Salah satu kebiasaan Axel yang paling membuat Daniel marah adalah berbohong. Ketika Bimo tanya alasan Axel berbohong karena ketakutannya pada Daniel. Axel takut Daniel marah, jadi kalau Axel ingin bermain dengan teman-temannya, Axel selalu berdalih ada kegiatan sekolah.
Bimo selalu memberikan pengertian kepada Axel bahwa kejujuran dan keterbukaan adalah kunci utama dalam sebuah hubungan. Apabila terjadi sebuah kebohongan, akan lahir kebohongan-kebohongan yang lain. Analogi ini bisa dipakai untuk setiap hubungan apa pun, baik itu hubungan antar teman, anak dengan orang tuanya bahkan sebuah hubungan yang didasari cinta antara perempuan dan laki-laki.
“Kenapa harus bohong Axel, sekali kamu bohong maka dunia tak akan lagi percaya padamu. Percaya sama Om. Ayah Daniel tak seseram seperti yang kau bayangkan,” kata Bimo setelah tahu bahwa Axel berbohong pada Daniel.
“Ayah tidak mungkin memberi izin kalau Axel jujur, iya kan Om?” tanya Axel. Hari itu Axel pulang pukul 12 malam sehabis nonton konser musik di Bandung. Kepada Bimo Axel bercerita betapa serunya konser tersebut. Yang Daniel tahu Axel pulang larut karena Axel ada ekstrakurikuler di sekolah.
“Kamu berpikir begitu karena kamu takut Ayah marah. Padahal belum tentu, kamu sudah tertipu rasa takut yang kamu ciptakan sendiri. Yang Om takutkan justru apabila Ayah tahu kamu berbohong. Betapa akan kecewanya ia? Dan kamu pun akan malu jika kebohonganmu terbongkar. Mengerti?” tanya Bimo. Axel mengangguk. Entah ini kebohongan yang ke berapa? Om Bimo selalu tahu Axel bohong, tanpa memberitahu terlebih dahulu dan Axel selalu mati kutu.
“Jadi Axel tak ada kebohongan yang diperbolehkan apa pun tujuannya.”
“Iya Om, ini kebohongan terakhir, Axel akan berusaha jujur pada Ayah Daniel. Mudah-mudahan Ayah akan mengerti dan tidak selalu mengekang Axel.” Meski sebenarnya Bimo tak yakin juga dengan sikap Daniel. Apakah ia akan bijaksana menyikapi segala hal keingintahuan Axel dan mencoba hal baru di usianya yang sedang berkembang dan mencari jati diri.
Sampai suatu hari Bimo merasa bersalah ketika mendapati Axel tengah menangis di depan kolam ikan seperti biasanya
“Axel kenapa, Sayang?” Bimo mencoba mendekati Axel dan mencari tahu apa yang tengah terjadi. Axel malah memeluk Bimo dan tangisnya tumpah di d**a Bimo. Perlahan Bimo mengelus rambutnya mencoba membuatnya lebih tenang.
“Kenapa? Cerita sama Om, barangkali Om bisa bantu. Menangis boleh untuk mengeluarkan beban di dirimu, tetapi menangis bukanlah jalan keluar. Apa dengan menangis lantas malah menjadi selesai?” tanya Bimo. Axel malah terdengar makin terisak.
“Axel berusaha untuk jujur dan tidak bohong lagi, Om.”
“Terus?”
“Tebak apa yang Ayah Daniel lakukan?”
“Apa?”
“Ayah marah. Boro-boro memberi izin. Jadi menurut Om bagaimana?” Axel balik bertanya.
“Memang apa yang sampai membuat Ayah marah?“
“Axel minta izin buat pergi Nonton hari Sabtu besok?”
“Sendiri? “
“Enggak. Axel bilang ramai-ramai bersama teman. Memberi izin tidak, Ayah langsung marah.”
Bimo menarik napas panjang. Apa yang. Daniel lakukan tentu sudah melalui pertimbangan mengingat Axel anak perempuan. Pulang malam hanya sekadar nonton bukan pilihan tepat. Sangat dimengerti oleh Bimo. Namun, mungkin penyampaiannya pada Axel kurang tepat. Seusia Axel pelarangan yang saklek akan menimbulkan persepsi yang lain. Tapi, kalau diberitahu pelan-pelan dan diberi pengertian, Axel tak akan bereaksi negatif. Intinya, haru ada pendekatan dan Daniel tidak bisa melalukan pendekatan tersebut.
“Nanti Om coba bicara sama ayahmu ya. Enggak perlu juga kamu menanggapi sikap ayahmu dengan berlebihan. Axel mengertilah. Apa yang dilalukan ayahmu semata-mata adalah tengah melindungimu dari hal-hal menurutnya akan membahayakanmu.”
“Tapi, harusnya Ayah bertanya dulu, jangan langsung bilang sesuatu hal yang tidak Ayah ketahui kebenarannya. Lalu membuat aturan yang kaku.” Bimo hanya tersenyum menanggapi perkataan Axel.
“Om sangat mengerti perasaanmu. Tapi, Om juga sangat mengerti perasaan ayahmu, kecemasannya dan rasa cintanya. Coba kau tempatkan dirimu jadi ayahmu, biar kamu lebih wise menerima sikap Ayah Daniel. Ia melakukan segala yang menyangkut kamu tentu melalui pertimbangan. Bukan tanpa sebab.”
“Om ini bukannya belain Axel sih. Ya, Axel mengerti, Om. Tapi, Ayah juga kali-kali domg harus menempatkannya dirinya di posisi Axel. Memang enak? Terus-terusan diawasi. Ini enggak boleh itu enggak boleh. Sementara Axel melihat, teman-teman Axel begitu mudah dapat izin ke mana mereka suka,” kata Axel berapi-api. Bimo akhirnya menyerah, tak ada ujungnya juga berdebat dengan anak muda yang selalu menganggap dirinya paling benar dan keras kepala seperti Axel. Anak ini akan mengerti jika ada hal yang terjadi dulu padanya. Tentu Bimo maupun Daniel tidak ingin itu terjadi.
Demi Axel, akhirnya Bimo harus mau jadi bodiguard-nya Axel. Agar mulus izin dari Daniel. Ke mana pun Axel pergi selain sebagai pengawalnya, Bimo pun rela menjadi sopirnya. Pertama-tama, tentu teman-teman Axel merasa ganjil. Lama-kelamaan mereka menjadi terbiasa dan malah akrab dengan Bimo layaknya teman.
Sesekali Bimo mengajak Daniel untuk bergabung, malah suasana menjadi kaku dan menegangkan. Padahal, Bimo merasa Daniel telah berusaha melebur dengan teman-teman Axel. Entahlah, apa yang menjadi penyebabnya. Bimo dengan mudah bisa diterima teman-teman Axel, sedang Daniel? Mungkin karena pembawaan Daniel yang pendiam dan sedikit bicara jadi terkesan dingin dan menakutkan.
Sering kali Bimo akhirnya hang-out bareng teman-teman Axel, seperti acara nonton bareng atau nongkrong di tempat biasa anak-anak nongkrong, semua demi Axel dan Axel tampak nyaman ditemani Bimo ini hanya demi mendapatkan izin dari Ayah Daniel.
Ada yang lucu terkadang, Bimo tanpa sadar merasa tak ada batasan dengan teman-teman Axel. Hingga guyonan mereka pun seperti layaknya teman. Bimo sendiri tak mengerti, kenapa ia bisa dengan mudah bergaul dengan mereka. Pernah suatu kali Bimo mengantar Axel ke acara ulang tahun temannya di Bandung, di sebuah kafe yang cukup terkenal. Saat itu Bimo hanya mengenakan kaus putih dan jeans belel dengan kaki yang dibalut sepatu kets warna putih pula. Tak ayal, penampilan Bimo berhasil menyembunyikan usianya yang sebenarnya. Teman-teman Axel tampak mengagumi Bimo. Dan itu membuat Axel sangat cemburu.
“Kenapa sih Om, jangan keren-keren amat kalau nganter Axel, bisa enggak sih?” tanya Axel tiba-tiba dan pertanyaannya membuat Bimo terbahak.
“Terus Om harus gimana, masa keren sih. Lihat baik-baik penampilan Om, biasa saja kok, “ protes Bimo. Axel melihat penampilan Bimo dari atas sampai bawah. Penampilannya memang biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Cuma kenapa aura yang muncul justru kematangan usia dewasa. Dan di usia itu laki-laki tengah mekar sempurna.
“Iya, Om. Enggak nyadar sih, Om itu ganteng tahu.”
“Ommu dong, makanya bukan Om enggak laku. Ingat, itu,” jawab Bimo sambil terbahak dan meninggalkan Axel dengan perasaan senewen. Sepertinya selalu mengajak Bimo pergi ke mana pun dia pergi, sekarang menjadi masalah baru Axel.
Dan malam itu, Bimo berhasil membuat Axel jengah. Di sepanjang acara ulang tahun Bimo selalu dikelilingi teman-teman ceweknya. Rena apalagi, dia terang-terangan mengaku kepada Axel bahwa dia menyukai omnya. Axel meradang, dan langsung mengajak omnya pulang.
Di sepanjang jalan, Axel cemberut. Hal yang tak dimengerti Bimo. Katanya jika seseorang diam, maka sedang terjadi pertengkaran di kepalanya. Entah apa yang berkecamuk di kepala Axel, Bimo tak mau mengetahuinya, jika ia tahu malah menjadi pikiran nantinya.
“Langsung pulang, Xel? “ tanya Bimo basa-basi. Axel tak menjawab. Bimo tancap gas pulang ke Lembang.
“Mulai besok, Axel enggak perlu lagi diantar-antar Om. Biar enggak dapat izin dari Ayah Daniel juga enggak apa-apa. Axel sudah gede, jadi boleh dong Axel menentukan sendiri apa maunya Axel?”
Tiba-tiba Axel berkata di tengah suasana hening mereka berdua, Bimo cukup kaget mendapat perkataan Axel yang tiba-tiba.
“Kenapa sih, Xel?” Axel menatap Bimo kesal, bagaimana mungkin omnya enggak mengerti perasaannya? Dari gestur tubuh Axel dengan jelas memperlihatkan ketidaksukaannya. Axel tidak suka dengan sikap Bimo yang terlalu terbuka kepada teman-teman ceweknya, perlakuan Bimo bisa disalahartikan oleh teman-temannya, seperti halnya Rena. Jelas Axel tidak suka. Rena dengan lugas mengatakan perasaannya malah memuji Bimo terang-terangan bahwa omnya ganteng dan keren.
“Enggak apa-apa, hanya Axel merasa tidak nyaman Om, serasa anak papa gitu.” Bimo terdiam. Mencoba mengerti perasaan Axel.
“Om sih gimana kamu aja. Ngikutin kemauan kamu. Cuma Om minta, ke depan jika Ayah Daniel tidak mengizinkan kamu untuk pergi bareng-bareng temanmu, ya jangan BT. Terima saja, ayahmu punya alasan yang kadang tidak kamu mengeti.” Axel terdiam. Malam itu Axel banyak diam.
“Iya. Om.”
“Perlu kamu ingat. Ommu ini akan selalu ada untuk kamu. Jadi apa pun, jangan sungkan. Mengerti?” Axel mengangguk. Menatap omnya penuh arti. Dilihat omnya penuh rasa kagum. Bisa seawet muda itu? Pantas Rena tidak bisa menyembunyikan rasa sukanya.
“Siap, Om. Axel akan selalu cerita tantang Axel sama, Om. Jadi jangan khawatir karena Axel tahu, Om selalu support Axel apa pun itu. Axel terima kasih sekali sama Om, yang tak lelah terus membimbing Axel. Axel minta, jangan pernah tinggalkan Axel, bisa sesak Axel nanti.” Axel tergelak. Tapi, getir. Dan Bimo menangkap hal itu.
Bimo berpikir, keputusan kembali ke Lembang dan meninggalkan Ira Gustira adalah hal yang tepat, bagaimana Axel nantinya? Bila perkawinan itu tetap dilaksanakan. Axel belum siap kehilangan dirinya. Bagaimana bisa Bimo memendam rasa bersalah. Diacaknya rambut Axel dengan tangan kirinya, Bimo ikut tergelak, sama-sama getir.
Jauh di lubuk hati Axel, dia merasa apa yang diucapkannya adalah kesungguhan, Axel belum siap ditinggalkan Bimo. Membayangkannya saja tak berani. Dia masih butuh Ayah Daniel dan Bimo selalu berada di dekatnya. Apalagi masa-masa labil seperti itu. Kepada siapa lagi gundah gulana mesti disampaikan, kalau tidak pada omnya. Orang yang paling mengerti perasaannya, tanpa berkata apa pun. Bimo seolah tahu jalan pikirannya. Meski tak jarang pula Bimo seperti kebingungan menerima sikap Axel.
“Om, maafkan Axel selalu menyusahkan, Om. Jangan pernah tinggalkan Axel, ya, Om. Janji?” Bimo tertegun. Axel mengulang permintaannya sambil menyodorkan jari kelingkingnya. Hati Bimo bergetar, ia takut tak bisa menepati janjinya, tak urung tangannya terulur, menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Axel, tampak wajah Axel sumringah, sementara Bimo tampak bingung. Janji yang cukup berat.
Malam kian larut, Bimo tancap gas. Takut Daniel tengah menunggu mereka berdua dengan rasa khawatir. Bimo sesekali menatap Axel yang mulai tertidur di kursinya. Anak itu lebih tenang.
Bimo tahu masa labil Axel masih panjang. Dan, ia harus selalu berada di sampingnya. Memastikan anak itu dalam keadaan baik-baik saja. Tumbuh remaja tanpa sosok seorang ibu tentulah sulit bagi Axel.
***