Axel terjatuh di tikungan sebelah timur arah jalan yang akan naik ke perkebunan milik Daniel. Sebenarnya tidak terluka parah, hanya kabar jatuh ini membuat Bimo merasa bersalah kepada Daniel, apalagi ketika itu Daniel tampak shock. Kaki Axel berdarah cukup banyak, dia menopang beban motor karena agar tidak terlalu parah rusaknya dan beberapa lecet di bagian tangan.
Axel dibopong beberapa warga yang melihatnya. Bimo segera memanggil dr. Wim, dokter keluarga yang masih kerabat dekat keluarga Daniel.
“Apa aku bilang, Bim. Aku takut sekali, sesuatu terjadi pada Axel.”
“Maafkan aku, Dan. Tapi, apa yang terjadi pada Axel tentu akan menjadi pelajaran berharga untuknya. Agar ke depan dia lebih berhati-hati. Kita ambil positifnya saja.”
“Aku tidak akan pernah mengizinkannya lagi untuk pakai motor itu. Aku saja beberapa kali akan terjatuh saat mencoba motormu itu, Bim. Apalagi Axel.” Daniel jadi ngotot mempertahankan argumennya. Bimo terdiam seketika, bukan saat yang tepat mendebat Daniel. Meskipun Bimo tahu, apa yang dikatakan Daniel barusan akan membuat Axel kecewa. Ia tahu, Axel tak akan kapok dan mudah menyerah begitu saja, apalagi hanya mendapat luka seperti itu. Axel itu keras kepala seperti Ratih dulu.
“Bagaimana kaki Axel, Dok?” Daniel dan Bimo memburu dr. Wim, sesaat setelah melakukan pemeriksaan. Dilihatnya Axel tampak meringis.
“Tidak terlalu parah, aku telah memerban lukanya. Tak perlu khawatir. Jika nanti demam, aku sudah menyiapkan obatnya.” Dokter, menepuk pundak Bimo yang terlihat tegang.
Daniel mengantar dokter sampai ke pekarangan sementara Bimo menghampiri Axel di kamarnya.
“Gimana nih, jagoan Om?” tanya Bimo disambut senyum kecil Axel.
“Sangat mengecewakan pastinya. Maafkan aku, Om.”
“Lha, kok minta maaf. Itu namanya kecelakaan, Xel. Dalam hidup ada hal-hal yang terjadi di luar kendali kita, sebagai manusia hanya harus peka terhadap hal-hal seperti ini. Pelajarannya, ambil hikmahnya. Tadi ngebut enggak sih?” tanya Bimo penasaran dilihatnya Axel menahan rasa sakit di kakinya.
“Enggak, Om, hanya hilang keseimbangan pas belok. Dari pada menabrak kendaraan lain yang lagi parkir, itu mobil kok bisa parkir sembarangan pas tikungan lagi, aneh. Axel banting setir, eh, malah jatuh. Untung dari arah berlawanan lagi sepi.”
“Makanya, kenapa Ayah enggak ngizinin kamu buat gaya-gayaan pakai motor trail segala. Nah ini nih. Masih untung hanya luka ringan. Gimana kalau kamu terluka parah?” Daniel tiba-tiba muncul di kamar, cukup mengagetkan Axel dan membuat wajah Axel memberengut.
“Ayah Daniel, pasti khawatir sekali, Axel.” Bimo mencoba menengahi. Mereka lalu sama-sama terdiam. Selalu begitu. Daniel dan Axel, selalu mendapat kebuntuan dalam hal berkomunikasi, seperti ada tembok penghalang. Mereka selalu kaku kalau berdua.
Daniel kurang bisa mengerti Axel dan sebaliknya. Terkadang Bimo merasa tidak enak juga kepada Daniel, mengingat kedekatan Axel kepada dirinya. Bimo selalu berusaha mengerti kemauan Axel, apa pun itu asal positif pasti akan mendukungnya.
“Pokoknya, Ayah enggak mau kamu pakai motor itu lagi. Cukup. Nurut sama Ayah,” kata Daniel menekankan. Dilihatnya Axel hendak melawan perkataan Daniel. Bimo segera memberi isyarat kepada Axel untuk diam. Bimo mencoba mengerti keadaan Daniel yang agak emosional. Rasa khawatir yang Daniel rasakan adalah bentuk cintanya pada Axel, tetapi menasihati Axel saat ini bukan waktu yang tepat.
“Untuk waktu ini dan ke depan, Axel pasti akan berhenti sementara mengendarai motor. Aku pastikan itu. Jangan khawatir.” Bimo mencoba menenangkan Daniel, sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Axel untuk Diam.
“Jangan salah artikan semua kekhawatiran Ayah, ya?!” Ayah Daniel menghampiri Axel lalu memeluknya, Axel balas memeluk ayah Daniel. Axel tahu ayahnya terlalu mencintainya, tetapi terkadang terlalu berlebihan sehingga apa pun yang dilakukan Axel selalu dilarang.
“Iya, Yah, maafkan Axel.” Axel merajuk pada Ayah Daniel supaya hatinya melunak.
“Mulai sekarang, apa-apa itu mesti izin Ayah. Mengerti?” Axel segera mengangguk, menenangkan perasaan ayahnya. Dilihatnya Om Bimo tengah memandang mereka berdua. Axel menangkap kecemasan di matanya.
“Serius deh, lihat kalian seperti ini jadi horor buat Axel.“ Bimo memalingkan muka secepatnya, menyembunyikan rasa khawatir yang berlebihan. Bagaimana mungkin anak itu bisa setenang itu? Jika saja kecelakaan itu membuat Axel terluka parah, ia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Meski ia tadi mengatakan bahwa ada saat tak bisa mengendalikan keadaan, sebenarnya jauh dalam hati Bimo tetap merasa bersalah.
“Axel janji akan lebih berhati-hati, Yah.”
“Tak ada lain kali. Ayah tadi sudah bilang. Cukup! Kamu enggak boleh lagi pakai motor ommu itu.” Daniel tetap pada pendiriannya, terlihat wajah Axel langsung sedih. Bimo menghampiri Axel dan gantian memeluknya.
“Untuk sementara, Sayang. Bilang saja iya, kenapa sih,” bisik Bimo sambil pura-pura mencium pipinya.
Semenjak kecelakaan sore itu, Ayah Daniel lebih protektif. Dan itu membuat Axel sangat tidak nyaman, sering kali Axel mengadu pada Bimo bagaimana perlakuan Daniel pada Axel. Tentu merepotkan Bimo, lagi-lagi ia harus tampil sebagai penengah di antara mereka.
Daniel mengadukan kelakuan Axel yang menurutnya jadi bandel pada Bimo. Sementara Axel mengadu perlakuan ayahnya pun pada Bimo. Usia remaja Axel yang serba ingin mencoba hal yang baru juga terkadang lupa waktu diartikan sebuah sikap perlawanan. Di sisi lain Axel melihat perhatian Ayah Daniel terhadapnya yang terlalu berlebihan disebut sebagai sebuah pengekangan.
Berkali-kali Bimo meyakinkan Axel bahwa apa yang dilakukan Daniel adalah bentuk kecemasan seorang Ayah pada putri semata wayangnya dan tak sekali Bimo meminta Daniel untuk bersahabat terhadap kelakuan Axel di masa remaja.
Pernah Axel pulang larut malam, bukannya masuk ke dalam rumah. Axel malah menyelinap langsung ke tempat Bimo minta perlindungan. Sementara Ayah Daniel sedang menunggu Axel pulang di ruang tamu, terlihat Ayah Daniel mondar-mandir dan kelihatan resah sekali.
“Tidak coba menghubungi ponselnya, Dan?” saran Bimo.
“SMS-ku tidak dibalas, ditelepon enggak dijawab, terakhir malah mailbox.” Daniel tampak kesal sekali, Bimo menghela napas. Alamat terjadi lagi pertengkaran. Hal yang selalu Bimo sesalkan. Takut, berdampak buruk pada perkembangan jiwa Axel.
“Sebentar lagi juga pulang, Dan, barangkali ada hal penting yang mesti dia lakukan di luar sana.”
“Jangan suka membelanya, Bim. Tolonglah, jika dia salah, harus ditegur. Kamu harus fair dong.” Daniel protes, Bimo selalu saja membela Axel. Bimo terdiam tak menjawab dan meninggalkan Daniel sendirian berlalu ke tempatnya.
“Om, tolong aku. Aku takut Ayah marah,” kata Axel mengiba. Bimo menatap Axel kasihan. Tapi, seperti Daniel bilang jika Axel salah, ia harus adil jangan terus melindunginya.
“Axel, kenapa SMS Ayah tidak dibalas? Terus diteleponi, enggak diangkat. Kamu tahu hal seperti ini tentu membuat kami cemas, terutama Ayah kamu. Kamu tinggal bilang dan minta izin, semudah itu. Jangan buat rumitlah, Sayang.” Bimo mencoba mengingatkan Axel.
“Om, tahu kan Ayah? Ia enggak akan ngasih izin apalagi kalau tahu Axel akan pulang selarut ini.”
“Memang kamu dari mana? Ngapain?”
“Axel dari pesta ulang tahunnya Rena, ingat Rena Om?” Bimo mencoba mengingat sosok yang disebutkan Axel. Ah, enggak penting juga, pikir Bimo. Malah Bimo mencoba memutar otak agar Daniel tak memarahi Axel.
“Tapi, kali ini Om tidak bisa menolongmu. Ayahmu tampak marah sekali. Kenapa selarut ini sih pulangnya. Terus siapa yang antar kamu pulang?”
“Firman, Om. Tapi, suruh Axel pulang langsung. Nanti, kalau Ayah tahu Firman yang antar, nanti malah marah sama Firman.”
“Duh, kamu tuh. Kenapa berpikiran seperti itu? Harusnya Firman tadi masuk dulu dan pamit sama Ayah.” Lagi-lagi Bimo mengingatkan Axel.
“Om, mah malah bikin Axel keder sih.”
“Ayo, ke rumah. Ayah Daniel tambah marah kalau kamu kelamaan di sini. Dikiranya kamu belum pulang lagi. Hadapi apa pun risikonya, kamu harus belajar bertanggung-jawab.” Bimo menggandeng tangan Axel untuk menemui Daniel. Bimo ingin memperlihatkan juga kepada Daniel bahwa ia setidaknya sudah menasihati Axel.
“Enggak mau Om, Axel takut.” Axel bergeming. Bimo jadi bingung. Dikirimnya sebuah SMS pada Daniel tanpa sepengetahuan Axel.
“Axel ada di tempatku, dia sangat takut kalau kamu marah.” Tak ada jawaban. Mungkin Daniel tertidur di sofa, pikir Bimo.
Terdengar langkah kaki di luar, tegas dan tergesa. Lalu pintu terkuak, Daniel berdiri di ambang pintu dengan marah. Axel malah lari ke balik punggung Bimo.
“Axel, minta maaf sama Ayah gih,” bisik Bimo. Axel tak menjawab. Malah Bimo merasa wajah anak itu dibenamkan ke punggungnya.
“Dan, sabar, Dan," pinta Bimo.
“Axel!" panggil Bimo.
“Axel, Sayang,” bujuk Bimo.
“Sebenarnya Axel sudah lama di sini, Dan. Dari tadi, aku bujuk untuk ke rumahmu, Axel takut kamu marah.” Lagi-lagi Bimo terkesan membela Axel.
“Sudahlah, Bim. Kita sudah sepakat tadi. Kalau Axel salah, kamu tak harus membelanya kan? Sini Axel!” Axel tambah merapatkan tubuhnya ke punggung Bimo, dan Bimo merasa serba salah.
“Maafin Axel, Ayah. Axel janji enggak akan mengulang kesalahan Axel. Nanti lagi pasti Axel minta izin dulu sama Ayah. Please, Ayah jangan marah.” Suara Axel bergetar, air matanya turun begitu saja. Membuat Bimo tak tega dan malah memeluknya.
“Sini dulu, Ayah mau bicara,” kata Daniel lagi agak lunak. Axel melepaskan pelukan Bimo dan berlari ke pelukan ayahnya. Daniel yang semula sudah berapi-api ketika mendapati Axel menangis lalu memeluknya, membuat hati Daniel luluh.
“Jangan diulangi lagi! Ayah begitu cemas. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” Axel mengangguk segera.
Hari itu tentu sangat membekas di hati Axel maupun Bimo.
***
“Hey, kalian berdua. Malah sekarang barengan melamun. Kenapa sih?” Bunda mengagetkan Axel juga Bimo. Buyar semua lamunan tentang Axel remaja. Axel memandang ke arah Bimo yang pada saat bersamaan tengah memandang Axel lembut.
Anak itu sekarang sudah sebesar itu, waktu rasanya cepat berlalu. Axel sekarang lebih dewasa.
“Bim, bukannya jawab pertanyaan Bunda,” protes Bunda. Bimo sedikit gelagapan menjawab pertanyaan Bunda. Tak mungkin Bimo menceritakan apa pun tentang Axel pada Bunda.
“Maaf, Bunda. Bukan maksud mengabaikan Bunda. Akhir-akhir ini Bimo selalu ingat waktu Axel kecil.” Bimo mencoba menjelaskan pada Bunda. Dilihatnya Axel sedang menatapnya penuh misteri. Ada apa gerangan di kepala anak ini? Tanya hati Bimo.
“Lagian kenapa sih, ikut-ikutan melamun. Jangan-jangan yang dilamunin sama.” Bimo menggoda Axel.
“Idih, GR. Axel tuh lagi ngelamunin kita dulu, waktu Axel lagi bandel-bandelnya,” jawab Axel. Dan jawabannya bikin Bimo senyum-senyum sendiri. Benar kan dugaannya.
“Kalian tuh kalau sudah saling ledek. Enggak berubah, dari dulu sama saja. Bedanya kamu sekarang tambah cantik. Bunda tadi sampai pangling Axel.” Bunda memuji Axel, tampak Axel kikuk dipuji Bunda. Bimo menangkap rona merah di pipi Axel. Ya, Axel memang cantik. Hal yang tak terbantahkan. Dia telah berubah menjadi sosok perempuan yang cantik.
“Aih, Bunda, kalau muji tuh jangan depan anaknya dong. Nanti besar kepala dia,” goda Bimo. Bunda hanya tersenyum.
“Apaan sih.”
“Sudah-sudah. Axel bantuin Bunda, yuk, cuci piring.” Ajakan Bunda menyelamatkan Axel dari godaan Bimo selanjutnya.
Selepas Bunda dan Axel meninggalkan meja makan Bimo kembali teringat masa di mana Axel tumbuh sebagai remaja.
***