Aku tidak mengerti apa yang merasuki Eomma sehingga dia kembali mengundang Hyun Soo untuk makan malam bersama kami. Kali ini dia tidak datang terlambat seperti kemarin, tetapi justru membawa banyak makanan yang dia bilang dari ibunya. Jika dia bisa makan malam di rumah orang tuanya, mengapa harus makan malam di rumahku? Yang benar saja!
Yang aku tau, Hyun Soo tidak lagi tinggal bersama dengan orang tuanya, melainkan tinggal sendiri di sebuah rumah mewah yang lokasinya masih berada satu komplek dengan kami. Hal yang sangat membingungkan untukku, jika dia masih tinggal di wilayah yang sama, mengapa harus pindah rumah? Bukankah kebanyakan orang memilih untuk lepas dari orang tua karena pertimbangan lokasi tempat tinggal yang lebih dekat dengan tempat kerja atau fasilitas transportasi yang baik? Tapi lain lagi dengan pemikiran Hyun Soo yang bahkan aku saja sulit untuk memahaminya. Cara berpikir orang kaya memang beda!
Eomma beberapa kali memberikan potongan lauk di mangkuk Hyun Soo yang dibalas antusias dari pria itu. Aku dan Eomma lebih sering makan masakan barat, hanya sesekali kami makan masakan Korea. Tapi kali ini Hyun Soo membawa banyak menu masakan Korea, yang aku sendiri sejujurnya tidak merasa cocok di lidahku. Tapi aku tetap menghabiskannya karena aku tidak pernah diajarkan untuk menyia-nyiakan makanan dan selalu menghargai usaha pembuatnya.
Seperti malam kemarin, hari ini Hyun Soo kembali mengajakku untuk berbicara di halaman belakang. Sebenarnya aku sudah menolaknya dengan halus, beralasan jika aku sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Tetapi Eomma justru membela Hyun Soo dan memintaku untuk menemani Hyun Soo berbincang. Aku masih ingat pembicaraanku bersama Eomma tentang Hyun Soo siang tadi, itu sebabnya kini aku merasa sedikit tidak nyaman berada di dekatnya.
"Kamu lebih banyak diam malam ini, tidak seperti biasanya," ucap Hyun Soo membuka pembicaraan.
"Mungkin hanya perasaanmu," jawabku dengan tersenyum singkat.
"Apa aku benar-benar mengganggumu?"
"Iya." Hyun Soo justru tertawa. "Kenapa?" tanyaku bingung yang melihatnya justru tertawa.
"Kamu jujur sekali. Tidak bisakah berbohong sedikit saja?" ucap Hyun Soo dengan sisa tawanya.
"Aku tidak suka berbohong," jawabku dengan acuh.
"Sedikit saja."
"Aku tidak nyaman dengamu."
"Apa lagi yang membuatmu tidak nyaman dengaku?"
"Kamu terus menumpang makan malam di rumahku. Kamu pikir itu bukan bentuk pemborosan!" Aku mendengus kesal.
"Bukankah kamu bilang jika tidak suka berbohong? Aku yakin bukan itu alasanya." Hyun Soo menghentikan tawanya lalu menatapku dengan lembut. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang manis.
"Aku dengar, kamu selalu menjalani hubungan singkat," ucapku sembari menatap Hyun Soo dengan serius.
"Dari mana kamu mendengar itu? Apakah kamu sudah membuktikannya?" tanya Hyun Soo dengan santai.
"Iya, kamu juga bercerita sendiri padaku."
"Ketika kita tidak lagi memiliki kecocokan, lalu untuk apa memaksa untuk tetap bersama? Bukankah hal itu hanya akan menjadika kita saling menyakiti?" jawab Hyun Sooo dengan santai.
"Tapi secara tidak langsung, kamu pernah mengatakan jika kamu bisa berkencan dengan wanita bahkan sebelum mencintainya."
"Iya, tapi aku sudah merasa nyaman sebelum memutuskan untuk menjalin huibungan."
"Jadi hanya dengan nyaman kamu bisa memutuskan untuk berpacaran?" tanyaku tidak percaya dengan jalan pikiran Hyun Soo.
"Ya, karena kita memiliki tingkatan untuk sebuah ketertarikan. Tidak ada cinta pada pandangan pertama, yang ada itu terpesona. Ah, gadis itu cantik. Itu disebut terpesona. Jika berhasil dekat, kamu akan merasa nyaman. Lalu baru kamu bisa disebut cinta."
"Setelah cinta?"
"Sayang. Karena kamu bisa mencintai seseorang tanpa menyayanginya."
"Apa maksudnya?"
"Kamu mencintai seseorang, tapi kamu masih bisa hidup tanpanya. Tapi jika kamu sudah pada taraf mencintai dan menyayangi seseorang, maka ketika orang itu pergi kamu akan merasa hampa. Seolah seluruh isi dunia pergi bersamanya." Sok puitis sekali pria ini.
"Berlebihan sekali," cibirku.
"Tapi memang seperti itu," jawab Hyun Soo sembari tertawa kecil. Tapi aku justru merasa tersinggung dengan maksud dari ucapannya.
"Eommaku bisa hidup tanpa Daddy kamu pikir dia tidak sayang?!" Tanpa sadar aku menaikan satu oktaf nada bicaraku.
"Tapi tanpa kamu tau, Bibi Hana merasa kesepian. Seolah dunianya ikut pergi setelah daddymu pergi. Mungkin kamu tidak tau jika dia pernah berpikir untuk pergi bersama suaminya, tapi Bibi Hana memilih bertahan bersamamu. Karena kasih sayangnya mungkin lebih besar padamu dari pada rasa sayang Bibi Hana pada mendiang suaminya." Aku mencerna ucapan Hyun Soo, setengah dari diriku memahami dan membenarkan ucapannya, tapi sebagian lagi mengatakan jika Hyun Soo hanya membual untuk membela dirinya.
"Aku yakin jika kamu berpikir aku seorang playboy?"
"Bukankah memang itu faktanya?" jawabku dengan tersenyum miring. Dia mungkin bermaksud bercanda, tapi aku sedang tidak berada pada mode bercanda.
"Aku tidak mudah menaruh hatiku pada seorang wanita. Kamu tau kenapa? Karena aku memang tidak sepenuhnya percaya pada semua wanita yang pernah aku temui."
"Termasuk aku?" ucapku sembari menunjuk diriku sendiri.
"Selain dirimu."
"Kenapa aku tidak?" tanyaku dengan bingung.
"Di dalam duniaku, aku melihat begitu banyak kemunafikan, kamu mungkin juga faham kemunafikan seperti apa yang aku maksud. Aku tidak pernah tau, apakah mereka memang secara tulus mendekatiku atau hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan kepopularitasan."
"Lalu kalian melakukan simbiosis mutualisme? Mereka memanfaatkanmu dan kamu juga meminta beberapa hal dari mereka?" tanyaku to the point.
"Dalam berbisnis, kita tidak mau merugi. Benarkan?" Melihat senyum Hyun Soo kali ini, aku tidak menyukainya. Aku beranggapan jika dia tengah merendahkan wanita. Biar bagaimanpun aku jelas akan membela kaumku yang tertindas.
"Kepuasan?" tebakku, tapi Hyun Soo justru mengerutkan keningnya.
"Apakah kamu berpikir jika aku meminta para mantan kekasihku untuk melayaniku hanya karena kami menjalin hubungan?" Dengan refkeks aku mengangguk. "Memang bukan seperti itu?" tanyaku.
"Astaga, ternyata aku sudah menjadi seburuk itu di matamu. Tentu saja bukan!" jawab Hyun Soo tidak terima. Aku melihat dia yang sedikit kesal, lalu aku tertawa. Ternyata berhasil membuat Hyun Soo kesal semenyenagkan ini karena biasanya dia yang membuatku kesal.
"Aku tidak dengan mudah menerima semua wanita yang mendekatiku. Aku juga seorang pria yang pemilih, aku harus mempertimbangkan bibit, bebet dan bobotnya. Seperti yang pernah kamu katakan, kamu berjuang untuk sukses lalu mengapa harus mencari pria yang berada di bawahmu? Secara tidak langsung, aku juga berpikir seperti itu. Bukan matrealistis, tapi memang kenyataanya itu realistis. Kita ingin mendapatkan pendamping yang setidaknya sejajar dengan kita. Maka jika aku sudah merasa nyaman dan memutuskan untuk berkencan, mereka membantuku untuk menjalin relasi yang lebih luas. Menjalin kerja sama denga beberapa kolega baru yang direkomendasikan oleh para mantan kekasihku."
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan para kolega ketika kalian putus?" tanyaku penasaran, jika kerja sama juga ikut berhenti lalu mengapa susah-susah koleksi mantan kaya raya?
"Kami masih menjalin kerja sama hingga sekarang. Sebagai pembisnis, kita dituntut untuk selalu berlaku profesional."
"Apakah dari mereka tidak ada yang pernah merasa dendam dan menjelekkanmu di depan para investor?" tanyaku penasaran. Memang terdengar picik, tapi kebanyakan manusia memang jahat, bukan?
"Tidak, karena aku selalu mengakhiri hubungan dengan baik. Jika kita menjalin hubungan dengan baik, maka juga harus dengan cara baik-baik juga saat menyelesaikannya."
"Apakah itu mungkin? Karena yang aku tau, tidak ada mantan yang baik, tidak ada juga kata putus secara baik-baik. Karena jika itu baik, maka kalian tidak akan pernah memutuskan hubungan." Hyun Soo justru tertawa mendengar ucapanku.
"Tapi faktanya memang seperti itu. Karena jika kamu berpikir jika hanya aku yang tidak mudah menaruh hati? Maka mereka juga melakukan hal yang sama. Bedanya, wanita lebih suka di perhatikan dan membutuhkan kejelasan. Itu sebabnya ketika mereka merasa tertarik, maka harus ada kejelasan lebih dulu di antara keduanya barulah mulai perlahan mencintai ketika menjalin hubungan."
"Aku tidak paham dengan jalan pikiran kasus percintaanmu. Karena yang aku tau, kita harus saling mencintai untuk bisa menjalin hubungan."
"Kami masih muda kala itu. Masih senang bermain-main dan tidak memikirkan keseriusan. Berbeda dengan sekarang. Aku tidak akan melakukan hal yang sama denganmu."
"Apakah aku harus senang dengan itu?"
"Akan aku buktikan jika aku tulus padamu."
"Bagaimana aku bisa percaya jika kamu tulus, bahkan kita baru bertemu beberapa kali."
"Terkadang kita memang tidak akan pernah paham bagaimana cara cinta bekerja. Kita hanya bisa terkagum saat merasakannya." Aku bisa memahami apa maksud ucapan Hyun Soo, karena sejujurnya aku juga merasakan hal yang sama. Aku bukan orang yang dengan mudah memberikan kesempatan kedua, tapi dengannya aku memberikan kesempatan. Aku bukan orang yang mudah bergaul dengan orang baru, tapi dengannya aku bisa bersikap seakrab ini. Cinta memang terkadang membuat kita lupa, sungguh luar biasa. Tunggu dulu, aku belum mencintainya!
Setelah pembicaraan yang sedikit serius, kini kami bersantai dengan obrolan yang lebih ringan. Karena beban di hatiku sudah terangkat ketika aku sudah menanyakan semuanya pada Hyun Soo. Aku tidak lagi penasaran.
"Apa masakan Eommoni tidak enak?" tanya Hyun Soo dengan ragu.
"Enak, memang kenapa?" tanyaku heran karena melihat ekspresi Hyun Soo yang terlihat sedih.
"Aku lihat, kamu tidak terlalu lahap saat menyantapnya."
"Kamu memperhatikanku?"
"Ya, apa pun yang kamu lakukan tidak luput dari pengawasanku."
"Kamu mata-mata," jawabku sembari tertawa. Aku ingin sekali mengubah topik pembicaraan, karena aku takut membuatnya tersinggung.
"Jadi benar jika kamu tidak menyukainya?" Aku bisa melihat ekspresi Hyun Soo yang berbeda. Meskipun dia bisa menampilkan ekspresi biasa saja, tapi aku bisa melihat tatapan matanya yang kecewa.
"Bukan masakan ibumu tidak enak, tetapi lidahku memang tidak begitu cocok dengan masakan Korea. Mungkin karena aku sudah terlalu lama hidup di Amerika, sehingga lidahku beradaptasi dengan makanan yang ada di sana."
"Bukankah kamu juga sudah cukup lama di Korea?"
"Iya, tapi lidahku belum terbiasa."
"Besok aku akan meminta Eommoni untuk memasak masakan yang lain."
"Sebenarnya hal itu tak perlu. Kamu juga tak perlu repot untuk membawakan masakan ibumu kemari."
"Kenapa? Eommoni suka jika harus berbagi masakan dengan calon besan dan menantunya," ucap Hyun Soo sembari terkekeh.
"Kamu akan terus makan malam di sini? Kamu punya rumah, ada juga rumah orang tuamu. Untuk apa selalu menumpang di sini?!" tanyaku dengan terkejut. Bukan hanya terkejut, tapi juga tidak terima. Untuk apa juga aku harus menambah beban pengeluaran dengan membiarkan orang asing selalu menumpamg makan malam setiap harinya. Yang benar saja!
"Bibi Hana yang memintaku," jawab Hyun Soo dengan tertawa. Dia nampak puas sekali membuatku kesal.
"Eomma tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak, aku masih harus membicarakan hal ini lebih lanjut denganya. Enak saja kamu selalu menumpang di sini."
"Jadi mulai sekarang aku harus memberikan uang bulanan untuk calon istriku karena sudah menumpang makan malam di sini?" Hyun Soo menampilkan seringaian kemenangannya, aku yang kesal lalu memukul lengannya dua kali
"Jangan seenaknya saja!" Aku ingin memukul Hyun Soo lagi tapi tanganya langsung menggenggam kedua tanganku.
"Aku juga harus terbiasa makan bersama seperti ini. Bukankah kamu ingin tetap tinggal di sini ketika kita menikah nanti? Karena kamu tidak ingin meninggalkan Bibi Hana? Makanya aku mulai melatih Bibi Hana dengan keberadaanku di sini supaya dia mulai terbiasa denganku." Aku bisa merasakan wajahku yang memanas, seolah seluruh peredaran darahku berpindah ke wajah, ucapan Hyun Soo berhasil membuatku tersipu malu. Kurang ajar memang!
"Hyun Soo lepas!" Aku berusaha untuk melepaskan cekalannya, tapi Hyun Soo justru tersenyum manis ke arahku.
"Aku akan gigit jika kamu tidak lepas!" Ancamku. "Mau di gigit," jawab Hyun Soo dengan ekspresinya yang dibuat selucu mungkin. Aku kesal tapi juga ingin tertawa. Lalu dengan keras aku menginjak kaki Hyun Soo dengan sekuat tenaga hingga dia mengerang kesakitan dan otomatis melepaskan tanganku.
"Rasakan!" Hyun Soo kesakitan tapi kemudian tertawa. "Kekerasa dalam rumah tangga itu tidak baik."
"Kita belum berumah tangga!"
"Akan segera," jawab Hyun Soo sembari tersenyum.
"Ini sudah malam, pulanglah."
"Kamu suka sekali mengusirku," celetuk Hyun Soo dengan ekspresi dibuat supaya terlihat sedih.
"Aku tidak akan tertipu!" Aku lalu beranjak berdiri dan berjalan lebih dahulu. Belajar dari yang sudah lalu, Hyun Soo akan sulit untuk di suruh pulang. Tetapi jika aku yang berjalan lebih dahulu, dia juga akan mengikutiku.
Setelah Hyun Soo pulang dan aku akan membalikkan tubuhku untuk masuk ke dalam rumah, aku dikejutkan dengan keberadaan Eomma yang berdiri di belakangku.
"Eomma!" teriakku karena terkejut.
"Sepertinya ada yang sudah menyelesaikan kesalah pahaman," sindir Eomma dengan mencebikkan bibirnya.
"Apa maksud Eomma?" tanyaku pura-pura bodoh.
"Siapa yang tadi mengatakan ragu pada Hyun Soo. Tapi setelah bertemu, bisa tertawa dengan keras." Setelah mengatakan itu, Eomma berlalu begitu saja masuk ke dalam rumah.
"Eomma!" teriakku dengan kencang. Tapi Eomma sudah lebih dahulu berlari. Ya Tuhan, aku malu sekali di hadapan Eomma. Sial!