04

1871 Kata
Dari kantor Ana langsung bergegas ke pasar untuk membeli bahan makanan. Kalau interaksi dengan pedagang bukan masalah bagi Ana. Karena interaksi mereka sekedar antara pembeli dan penjual. Makanya Ana sering kesal kalau ada penjual yang sangat ramah dan menanyakan hal di luar dagangan. Ana hanya belanja seperlunya, dan sepintar-pintarnya mencari toko yang murah yang menekan pengeluaran. Jadi sisa uangnya masih banyak, dan rencananya akan Ana tabung. Enak juga punya suami, kalau butuh uang tinggal minta. Batin Ana. Tapi kalau suaminya pelit sih, percuma. Ana memang pintar dalam mengatur uang. Dari kecil, meskipun orang tua berkecukupan, bahkan lebih. Orang tua Ana tidak membiarkan Ana menikmati uang yang mereka miliki begitu saja, bahkan Ana sampai harus dagang waktu SMA, agar bisa membeli apa yang ia mau –tapi jualan online. Orang tua Ana hanya memberi uang untuk keperluan yang benar-benar perlu, dan biasanya nge pas. Jadi Ana harus putar otak, agar sisanya banyak. Sekarang Ana sudah jadi istri orang, ia tidak akan minta macam-macam dengan Jino. Tapi kan ia dikasih uang belanja, kalau uang belanja sisanya banyak seperti inikan, jadi bisa ditabung untuk beli yang lain. Jadi istri itu harus pintar atur uangkan? ••• Jino melepas sepatunya dan meletakannya pada rak sepatu, ia kemudian bergegas masuk ke dalam rumah, dan menemukan Ana tengah menonton tv sambil main ponsel. Posisinya berbaring tengkurap di atas sofa panjang. Jino menggelengkan kepala melihatnya. "Gue udah pulang nih." Kata Jino mencoba menarik perhatian Ana. "Oh, hai, selamat datang di rumah." Kata Ana cuek, matanya masih sibuk di depan layar ponselnya. Jino mendengus, ia mengambil remote tv, kemudian mematikan tv, membuat Ana seketika menatap Jino yang posisinya berdiri. "Kok dimatiin? Tadi tuh lagi iklan!" protes Ana. "Emang lagi nonton apa?" tanya Jino. "Nonton jodoh wasiat bapak! Itu lagi seru woy! Pembunuhannya lagi mau terungkap! Akh!" Ana beranjak berdiri dan mencoba merebut remote yang ada di tangan Jino, tapi Jino malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hingga Ana tidak bisa menggapai remotenya. Ana sudah loncat-loncat, tapi tingginya dengan Jino itu benar-benar jauh. "Jino! Keburu udah selesai iklannya ih!" rengek Ana pada akhirnya. "Harusnya kalau suami pulang kerja itu diapain?" tanya Jino. "Dimintain duit." Balas Ana asal, dan kepalanya seketika langsung dihadiahi jitakan oleh Jino. "Disambut, disenyumin, dicium tangannya, pipinya, bibirnya, bawain tas, siapin air buat mandi, terus ngajak makan malem." Kata Jino. "Dih ogah banget gue nyium bibir lo, entar bibir gue ketularan jadi gede kayak bibir lo." Ekspresi Jino seketika berubah datar, ia tiba-tiba meraih wajah Ana, dan mendaratkan bibirnya di atas bibir Ana dengan cukup kasar. Ana terkejut dan otomatis meronta, tapi tidak semudah itu untuk lepas. Jino mendorong tubuh Ana pada sofa, hingga punggung Ana terhempas di sana. Ana yang kesal menggigit bibir Jino, hingga akhirnya Jino melepas tautan bibir mereka. Ana dengan kasar mendorong Jino dari atas tubuhnya, ia kemudian merebut remote dari tangan Jino dan langsung menyalakan tv. "Yah udah habis!" erang Ana kesal. Jino menarik nafas kemudian menghembuskannya. Bibirnya terasa perih, dan saat ia mengusap bibirnya menggunakan punggung tangannya, noda darah langsung mengotori punggung tangannya. Bibirnya terluka, tapi sekarang Ana sama sekali tidak merasa bersalah, padahal dia pasti tahu bibir Jino terluka karenanya. Siapa yang tidak kesal dan marah jadinya? Jino merebut remote tv dari tangan Ana, ia mematikan tvnya, kemudian meraih tubuh Ana, mengangkutnya seperti karung beras lagi. Ana tentu saja meronta dan memukuli b****g Jino, namun Jino tidak peduli, ia membawa Ana ke kamar. Dan begitu sampai di kamar Jino langsung menghempaskan tubuh Ana di ranjang. Ana melotot dan panik, ia mencoba melarikan diri, tapi Jino menekan kedua sisi pinggangnya dengan kedua lututnya. Jino kemudian melepas kemejanya, dan mendekatkan wajahnya pada wajah Ana. Ana otomatis memejamkan mata dan memalingkan wajahnya. "Anak nakal itu harus dikasih hukuman, biar jera. Iyakan?" bisik Jino. ••• Jino keluar dari kamar mandi, dengan kondisi rambut basah dan handuk melingkar di pinggangnya. Ia baru saja selesai mandi. Jino berjalan mendekat ke ranjang, matanya melihat Ana yang sudah terlelap. Salah satu tangan Jino pun tak lama terulur untuk mengusap jejak air mata pada pipi Ana. Karena tadi Ana menangis kesakitan, jadi Jino memilih menghentikan aktifitas mereka. Ia tidak tega melihat Ana menangis sambil menahan sakit. Yah sebenarnya dari awal Jino bilang mau memberikan hukuman pada Ana, Ana sudah hampir menangis dan tampak sangat ketakutan. Tapi Jino tidak berhenti. Selesai pakai baju, Jino bergegas ke dapur untuk makan malam. Di meja makan, ia menemukan ayam goreng yang dipesannya di kantor tadi siang, sudah terhidang. Jino langsung buru-buru makan, karena ia sudah sangat lelah dan mengantuk, ingin cepat-cepat bergegas tidur. ••• Ana menguap lebar sembari beranjak duduk, ia kemudian menggaruk-garuk leher dan bagian atas dadanya cukup lama, sampai ia baru menyadari sesuatu. Ana seketika membelalakan matanya, ia kemudian mengedarkan pandangannya dan menemukan pakaiannya berserakan di lantai. Ana menepuk keningnya, kemudian ia memeluk dirinya sendiri. "Iihhh geli geli geliii..." gumam Ana sembari mengusap-ngusap kedua lengannya. "Apaan sih berisik." Rupanya Jino mendengar Ana yang sedang sibuk merutuk sendiri. Ana tidak menanggapi Jino, ia segera memakai bajunya, dan turun dari ranjang. Ana langsung mandi dan membiarkan Jino masih tidur. ••• "Jin, dompet lo dimana?" tanya Ana. "Ngapain nanya-nanya dompet gue? Mau nyopet lo?" "Ck, ini gue pesen makanan buat sarapan. Buat bayar makanannya nanti." Jino seketika membuka matanya dan beranjak duduk, ia menatap Ana dengan matanya yang masih setengah terpejam. "Kok pesen sih? Emang lo gak masak?" tanya Jino. "Gak selera masak, kalau gue paksain tetap masak, entar rasanya jadi gak enak." Kata Ana. Jino menghela nafas. "Lo gak beli makanan yang mahalkan?" "Enggak kok, totalnya cuman 70 ribu." Jino mengambil celananya yang biasa ia gunakan ke kantor, dari atas sandaran kursi, ia mengambil dompetnya lalu mengeluarkan uang 70 ribu pas dari sana. "Gak ada lebihnya nih? Gue kira mau dikasih 100 ribu." Kata Ana saat Jino menyodorkan uang itu padanya. "Mau korupsi lo? Mau gak nih? Kalau gak entar bayar makanannya pakek uang lo." Kata Jino, yang membuat Ana buru-buru mengambil uang tersebut dari tangan Jino. "Kalau mau gue kasih 100 ribu, sisa uangnya lo beliin pengaman buat entar malem, kan semalem belum berhasil tuh." Kata Jino sembari kembali berbaring. "Dih ogah! Yang semalem aja gue masih geli!" balas Ana. "Gak masalah dong dipegang suami sendiri, apa lagi suaminya macem gue, harusnya lo bersyukur." Ana mencebikan bibirnya, kemudian memilih keluar kamar. •••                                                            Jino langsung turun ke lantai bawah, saat Ana teriak kalau makanan sudah datang. Jino belum cuci muka apa lagi mandi, karena hari ini libur, makanya Jino santai. Sebenarnya orang tua Ana sudah menyuruh Jino untuk cuti saja setelah menikah, agar ia bisa bulan madu dengan Ana. Tapi ya Jino menolak, ia tidak minat saja untuk bulan madu, menurut Jino itu membuang waktu, masih mending kalau bulan madunya dengan gadis yang memang ia sukai. Jino pergi ke dapur, dan menemukan Ana sudah duduk manis di salah satu kursi meja makan untuk sarapan. Jino kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi yang di duduki Ana. "Hari ini gak ngantor?" tanya Ana. "Kan minggu." Balas Jino. "Gak inget hari ya lo?" "Iya enggak." Jino menggelengkan kepalanya. "Habis sarapan jalan-jalan yuk, gue kenalin sama temen-temen gue yang lain." Kata Jino. "Mager ah." Balas Ana. "Kalau gak mau lanjutin yang semalem mau?" Wajah Ana seketika menegang, ia kemudian buru-buru menggelengkan kepalanya. "Nah makanya, kita pergi aja. Kalau cuman berduaan di rumah seharian entar ujung-ujungnya gue nyerang lo." "Serem amat sih." Gumam Ana. "Kalau gue gak gitu, tandanya gue gak normal." "m***m lo." "Ya selama mesumnya ke istri sendiri gak papa, dari pada ke istri orang." "Ya in," ••• "Gak usah dandan tebel-tebel, temen gue cowok semua." Kata Jino yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Gak tebel kok ini." Balas Ana yang sedang sibuk memoles liptint dibibirnya. Jino berdecak, ia kemudian membuka pintu lemari hendak mengambil pakaian. Selagi Ana masih sibuk dandan, Jino melapisi tubuhnya dengan hoodie putih dan celana skinny hitam. "Ketet amat celananya." Komentar Ana yang dapat melihat Jino dari kaca meja rias. "Punya kaki bagus gak boleh disia-siain." Balas Jino. "Perhatiin tuh tengahnya." Jino seketika menundukan kepalanya, tapi ia kemudian hanya menarik ke bawah hoodienya sambil menggendikan bahunya. "m***m lu, merhatiin segala." Kata Jino. "Ye! Bukan merhatiin, keliatan." "Ya udah cepetan dandannya." "Iya, iya, bentar." Jino berjalan mendekati meja rias Ana, ia mengambil sunscreen Ana tanpa izin, dan langsung mengoleskannya pada wajah, leher dan tangan. Ana memicingkan matanya pada Jino. "Izin dulu kek." Kata Ana. "Barangmu barang aku juga, jadi ngapain gue izin?" "Enggaklah, barangmu barang aku juga, tapi barangku ya barangku, apa lagi ini gue belinya pakek duit sendiri." "Alah entar juga kalau habis, minta uang buat belinya lagi ke gue." "Gue gak kepikiran loh, tapi lo udah ngomong gitu, ya udah. Oke! Kalau kosmetik gue habis, gue bakal tadah tangan ke elo." Dan Jino seketika merasa menyesal. ••• Jino membawa Ana ke cafe yang biasa Jino datangi bersama teman-temannya. Ana terus memeluk lengan Jino erat begitu mereka memasuki cafe. "Tuh temen-temen gue, duduk dulu sana, bilang lo istri gue, gue pesenin makanan sama minuman dulu." Kata Jino. "Pesennya bareng-bareng ajalah. Gue kan butuh adaptasi, jangan langsung nyuruh gue kumpul sama mereka sendirian." Kata Ana. "Ck, ya udah deh." Jino kemudian membawa Ana pada meja bar untuk memesan. "Mau pesen apa?" tanya Jino. "Cappucino, yang panas, kalau makanannya, cheese cake oreo." Setelah Ana selesai menyebutkan pesanannya, giliran Jino yang menyebutkan pesanannya. Selesai memesan, mereka pun pergi ke meja di mana teman-teman Jino sudah berkumpul. Ada satu orang yang menarik perhatian Ana, namanya Han, dia dari Negeri Jiran, tapi darahnya Negeri gingseng, dan sekarang kerja di Indonesia. Menurut Ana, Han terlihat mencolok dengan surai blonde nya serta pipi chubby. Setelah berkenalan lalu basa-basi, Ana diam, sedangkan Jino sibuk bercanda dan mengoceh dengan teman-temannya. Tak lama pesanan Ana dan Jino datang, jadi Ana bisa ada aktifitas selain diam, yaitu minum dan makan. Mau main ponsel rasanya tidak sopan, padahal beberapa dari teman Jino juga ada yang lebih sibuk main ponsel. "Kapan nak punya anak?" "Kapan-kapan." Ana sedikit tersedak mendengar cara bicara Han, karena dari tadi tawa Jino mendominasi pendengarannya, jadi ia tidak memperhatikan cara bicara Han. Cara bicara Han seperti anak kecil yang terkontaminasi kartun Boboiboy atau Upin Ipin. ••• "Kok diem aja sih tadi? Ngobrol kek." Protes Jino sesaat setelah mereka berada di dalam mobil hendak pulang. "Kan gue udah bilang, gue gak bisa gaul." Kata Ana. "Ya latihanlah ogeb." Balas Jino. "Sungguh teganya dirimu mengatai aku ogeb." "Ya habis kenyataan." Ana sontak mengerucutkan bibirnya. "Btw, temen lu yang namanya Han lucu ya? Mukanya imut, caranya ngomongnya juga lucu." Kata Ana yang ekspresinya telah berubah menjadi berseri-seri. "Heh, ingat lo udah punya suami." Kata Jino. "Tapi kan gak cinta, lo juga gak cinta sama guekan?" Jitakan segera mendarat di atas kepala Ana membuat Ana mengaduh. "Mulut tuh dijaga, gak cinta juga tapi gimanapun kita itu udah sah jadi suami istri, udah janji di hadapan Tuhan buat sehidup semati. Enak banget lo main mau ngingkarin. Nanti juga perasaan itu tuh bakal muncul sendiri." Kata Jino. "Padahal gue cuman bilang Han lucu, gak ada niatan selingkuh, sensi aja lu." "Iyalah sensi. Suami mana yang gak sensi istrinya muji cowok lain? Padahal dia gak pernah muji suaminya sendiri." Omel Jino sembari mengerucutkan bibirnya. "Utututuuuu... ya udah aku muji kamu deh sekarang, kamu tuh suami aku yang paling ganteng..." kata Ana akhirnya. "Emang," balas Jino. "Tinggi, bibirnya sexy..." puji Ana lagi. "Tepat sekali." "Tapi bawel, ketawanya juga berisik, sok imut lagi, narsis, tiap hari selfie mulu." Seolah di jatuhkan dari Menara tertinggi di dunia, ekspresi Jino langsung berubah datar dan kesal mendengar perkataan terakhir Ana. "A!" dan untuk kesekian kali, kepala Ana menerima jitakan. ••• Jino dan Ana tidak jadi langsung pulang, Jino malah mengajak Ana ke mall untuk belanja. "Gue malesss..." keluh Ana. "Gue aja cowok seneng belanja, lo yang cewek kok malah gak suka?" "Elo gak normal." "Elo juga." Mereka terus berdebat dengan kaki yang melangkah ke dalam mall. "Mau beli apa sih?" tanya Ana. "Jalan-jalan aja dulu, kali aja ada yang perlu, sumpek gue di rumah, berduaan sama cewek buluk kayak lo." "Cih, bilangnya aja gitu, tapi selalu ngancemnya mau nyerang." "Ya itu mah naluri cowok aja kalau lagi berduaan sama istrinya." Ana mencebikan bibirnya sembari memicingkan matanya pada Jino.[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN