Chapter 9 : Save Her

1622 Kata
[Kepingan memori kecil Matilda 2] Kedua manik indah Matilda kini berkabut, pusing bukan main ditambah dengungan pada kedua telinganya yang sangat keras. Ia mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan dengan ranjang yang tidak asing baginya. Bising sekali disana, ayah menyuarakan protesnya sebab Matilda dengan berani keluar gerbang rumah tanpa sepengetahuannya untuk menemui seorang pria. Kepala Matilda menjadi begitu pening, mengingat kapan ia keluar untuk menemui seorang pria? itu nyaris mustahil dalam kehidupannya. Ia berada dalam pengawasan ayah dan ibu yang sama sekali tidak mengizinkannya keluar rumah tanpa sebab dan keperluan yang jelas, atau tanpa awasan pria-pria suruhan mereka yang membuntuti Matilda dari belakang setiap kali keluar rumah. “Mengapa ayah melarangku keluar?! berikan alasan yang cukup jelas untukku. Tidakkah ayah merasa bahwa aku seperti tawanan disini? TIDAKKAH AYAH MERASA BAHWA AYAH MEMPERLAKUKAN ANAK AYAH SEBAGAI TAWANAN DISINI?!” amarah Matilda meledak seketika, seiring dengan tamparan keras yang ia terima pada pipi kanannya yang terasa panas serta perih merebak sampai ke dalam hatinya. Tetesan air mata berjatuhan tanpa bisa lagi ditahan, diiringi napas ayah yang masih tersenggal di sana. Matilda menyadari ada sebuah penyesalan dalam kedua iris sang ayah yang tampak kaget dengan perbuatannya sendiri barusan, namun enggan pula untuk sekadar menghambur putri satu-satunya itu kedalam pelukan sembari membisikan kata ‘maaf’. Ayah membanting pintu meninggalkan Matilda di dalam kamarnya seorang diri, dapat Matilda dengar suara kunci yang beradu di luar sana membuatnya kian sulit untuk Matilda terobos, bersama beberapa kemungkinan sang ayah menaruh seorang penjaga untuk memastikannya tetap rapat. Ini sangat tidak masuk akal, segala fasilitas Matilda sudah dari tiga hari lalu disita oleh ibunya itu membuatnya bahkan tidak bisa menghubungi Shopia. Namun Matilda mengingat sesuatu, seminggu lalu ia pergi ke pasar bersama para suruhan ayah yang menjaganya. Ia tertarik pada sebuah toko elektronik tua yang ia lihat tepat di seberang mini market tempatnya berbelanja, Matilda pergi kesana untuk mendapatkan beberapa koleksi barang vintage yang akhir-akhir ini mulai digemarinya. Para penjaga sepertinya tidak menaruh kecurigaan sama sekali, Matilda menelusuri beberapa radio-radio tua yang berjajar hingga pada jajaran handphone jadul. Para penjaga pun sepertinya menaruh minat pada barang-barang disana, terlihat dari beberapa kali mereka berdua saling berbincang mengenai satu barang yang memiliki kenangan pada masa kecil mereka. Itu membuat Matilda mampu bebincang dengan leluasa bersama pemilik toko tersebut. “Apakah ada yang masih bisa berfungsi dengan baik?” Matilda sepertinya telah merencanakan hal tersebut untuk keadaan dalurat sewaktu-waktu. Pria tua pemilik toko tersenyum dengan ramah dan tampak sedikit membungkuk untuk menghormati pelanggannya yang satu ini. “Ini masih berfungsi dengan baik, nona.” Pria paruh baya itu menyodorkan sebuah ponsel yang cukup tua, bisa Matilda ingat itu seperti ponsel ayahnya ketika ia masih sekolah dasar dulu. “Bisakah aku mendapatkan sim cardnya?” pria paruh baya itu menyunggingkan sebuah senyuman dan menggeleng. “Kami tidak menyediakan itu, nona.” “Aku akan memberimu tiga kali lipat dari harga normal yang kau berikan.” Suara Matilda sangat pelan, bahkan nyaris seperti sebuah bisikan. “Kalau begitu, aku akan menyimpan sim card miliku pada ponselnya.” Itu ide yang menarik, Matilda nyaris melompat saking senangnya. “Tiga kali lipat bersama harga sim card milikmu. Belilah yang baru, dan semoga tuhan memberkatimu, tuan.” Pria paruh baya itu membalas senyuman Matilda. Tak pernah ia lihat gadis yang sering mondar-mandir keluar masuk mini market di seberang tiap dua pekan sekali ini memperlihatkan senyuman sebahagia ini. Kembali pada Matilda yang tengah mengacak bawah ranjangnya sendiri. Setelah beberapa menit, setelah kotak-kotak besar berisi buku-bukuan beserta mainan lama yang tengah dikemasnya untuk berdonasi mulai disingkirkan, akhirnya ia bersua dengan sebuah kotak persegi berwarna biru langit dengan pita silver yang menyimpul, ia segera membukanya. Menemukan beberapa remahan kertas putih hingga tangannya berhasil menemukan ponsel yang ia beli di toko pria tua depan mini market langganannya. Matilda menyalakan ponselnya dan hampir mengumpat ketika menyadari baterai pada ponselnya begitu lemah, bahkan ada sebuah pemberitahuan agar ponsel segera dimatikan. Matilda bergegas bangkit dengan sebuah charger di tangan kirinya, ia bahkan tanpa sadar menendang beberapa kotak disana dan meringis ketakutan apabila orang di luar sana mendengar kegaduhan dan berusaha memeriksa kedalam kamarnya. Matilda menahan napas beberapa saat sembari memastikan tidak akan ada orang masuk untuk memeriksa keadaannya di dalam. Menyadari tak ada sama sekali pergerakan dari luar, Matilda kembali melangkah dengan cepat untuk mengisi daya ponselnya. Beruntung ponselnya belum mati, dan ia tidak akan membuang waktu untuk mengisinya hingga penuh terlebih dahulu. Matilda menarik sebuah nakas disana, meraih sebuah note kecil dan melihat sisi terakhir dari buku kecil tersebut yang menyimpan sebuah nomor. Nomor pun ditekan, Matilda mendekatkan ponselnya ke telinga hingga suara bariton seorang pria terdengar dari sana. “ini aku, Matilda.” Dari seberang sana terdengar suara bahagia dari pria tersebut, “akhirnya kau meneleponku.” Matilda memejamkan matanya ketika mendengar ucapan itu terlontar pria tersebut. “Bisakah kau membawaku pergi dari sini?” Matilda melirik jam dinding yang menggantung di tembok tepat arah ranjangnya menghadap, ia lantas mengangguk dengan yakin sebelum sambungan ponsel terputus. Sesegera mungkin kedua tangannya dengan cekatan merapikan beberapa kotak yang berserakan barusan. Semua ini harus benar-benar rapi agar tidak ada kecurigaan dari siapapun yang mungkin akan menggeledah kamar dan mencari bukti atas perginya Matilda nanti. Matilda menaruh ponselnya pada saku di jaketnya, lagi-lagi memastikan tidak akan ada bunyi yang keluar dari ponsel tersebut apabila orang yang tadi ia telepon mencoba menghubunginya kembali. Satu jam berlalu, suara pintu diketuk tanpa sebuah suara. Matilda menaruh harap penuh ia akan dibebaskan atau kemungkinan yang ada di depan pintu sana adalah orang yang ia hubungi untuk persekongkolannya kabur dari rumah. Namun sayang, itu hanya seorang pelayan yang mengantarkan makan malam untuk Matilda. Matilda hanya terdiam di tempat, tidak menaruh minat pada makanan di atas nampan yang tersaji dengan beragam makanan lezat. “Selamat makan malam, nona.” Matilda tak bergeming barang sedikitpun, hingga pintu kembali ditutup dan ia mendegar suara kunci kembali dimainkan disana—Matilda benar-benar hanya diam. Jangankan untuk makan, seluruh pikirannya hanya dipenuhi dengan beragam cara agar bisa keluar dari rumah tersebut, berikut dengan beberapa kemungkinan kegagalan yang ia sedang pertimbangkan pula saat ini. Pikirannya mulai gaduh, hatinya kadang dibuat yakin, kadang pula dibuat ragu. Ia begitu kesal dengan sikap kedua orang tuannya yang terus mengekangnya, namun terkadang Matilda merasa bahwa pemberontakan tidak pernah ada pada dirinya. Ia seolah tidak mengenali dirinya sendiri, lantas gamang dengan situasi yang terlalu mencekiknya seakan ia hanya sebuah marionette yang disandera di dalam sebuah castile. Namun ia tidak bisa membatalkan rencananya begitu saja. Harapan bisa terbebas dari kukungan kedua orang tua dan melihat dunia luar tanpa awasan siapapun sungguh terlalu menggiurkan untuk diurungkan. Harapnya ini kali terakhir ia akan merasakan sebuah penyanderaan dengan embel-embel kasih sayang. *** “Jangan pernah mempercayai Mr.Michael. Jangan lagi memberi obat-obatan yang dianjurkan dari rumah sakit ini kepada Matilda.” Darren melempar kerikil pada danau, membuat bayangan dirinya serta-merta menguar seiring dengan loncatannya. Pikirannya melayang mengingat perkataan Dokter Albert mengenai sebuah fakta yang hanya diketahui segelintir orang terpercaya di Hiraeth. “Jadi, apakah kami bisa mengharapkanmu untuk menyelamatkan Matilda?” Darren menoleh ke belakang, ia melihat Madam Bettie menghampirinya. “Madam?” lontar Darren refleks, ia tidak menyadari kedatangan Madam Bettie di belakangnya barusan. “Mengingat perjumpaan pertamamu dengan Matilda, sebuah jebakan yang tidak diketahui akan berakibat seperti apa nantinya. Namun kamu, bukanlah seseorang yang dengan sengaja Matilda pilih untuk ia jebak.” Madam Bettie semakin mendekat, ia memposisikan diri tepat di samping Darren sembari memandangi danau yang dilingkupi cahaya lampu taman yang tenang. “Yaa awalnya Matilda benar-benar hanya ingin menjebakmu. Hanya saja kamu membantunya menemukan kepingan memori-memori kecilnya yang hilang.” “Jadi itu mengapa ia mengangkatku sebagai perawat pribadinya?” tanya Darren dengan cukup kaget. “Ada sebuah sentuhan dari setiap jemarimu yang mengingatkannya pada kisah yang selama ini ia cari dengan susah payah pada memori di kepala dan hatinya.” Darren terdiam sejemang, sejak tadi sore begitu banyak informasi yang baru ia ketahui tentang Matilda. Kendati ia tidak yakin bisa membantunya, namun Darren harap ia cukup berguna setelah mendengarkan semuanya. “Ada seorang pria yang mendatangi butik milikku pada malam hari di tiga tahun yang lalu. Ia menawarkanku gaji fantastis untuk setiap dua kali dalam sehari mendandani orang sakit jiwa. Aku tidak mengenal Matilda sama sekali saat itu, sebab pria itu hanya memberiku sebuah kartu nama dan sebuah surat kontrak kerja. Ada banyak syarat dan ketentuan yang tidak boleh kulanggar termasuk memberitahu kepada siapapun mengenai siapa pria ini, hingga melarangku menggali informasi hingga menceritakan hal apapun mengenai keterikatan dirinya dengan Matilda kepada orang lain.” “Lantas mengapa anda menceritakannya kepadaku, Madam?” Darren mengulum senyum, tidak mengerti mengapa semua orang terlihat sangat ingin menggantungkan kepercayaan untuk menyembuhkan Matilda melalui kedua tangannya. “Kamu orang yang bisa dipercaya.” “Aku?” “Ya, kamu terlihat cekatan, kamu juga terlihat begitu peduli terhadap Matilda. Jadi aku harap kamu bisa mengembalikan gadis kecil yang ceria saat kecil dulu. Mungkin kamu memang tidak akan mendapatkan gaji lebih untuk ini, namun setiap dari kita memerlukan orang yang mengerti bangaimana cara memanusiakan manusia.” “Jadi anda ingin aku terlibat atas ini?” tanya Darren, cukup sentimental. Bagaimana seseorang mengajukan penawaran tanpa penghargaan dengan resiko menghadapi orang kaya—ras orang kaya merupakan ras paling unggul, ketika hukum juga mampu ditaklukan dengan lembar uang dollar. Dan pria bodoh seperti Darren adalah kambing hitam yang dipaksa maju ketengah arena permasalahan orang lain. “Kamu akan tertarik untuk menolongnya apabila kamu semakin mendengar kisah dari seorang Matilda.” “Apa kamu dan Dr.Albert merencanakan ini bersama-sama? Mengapa kalian berdua secara berturut-turut menceritakannya dan memintaku untuk membantu pasienku?” “Tidak, aku tidak begitu mengenal Dr.Albert selain beberapa kali berpapasan dengannya. Namun kian hari semakin kasihan aku terhadap wanita itu. Andai ada seseorang yang mampu membebaskannya dari semua penderitaan ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN