"Aku bahkan bingung apa yang aku rasakan saat berada diantara kedua orang tuaku," ucap Matilda, ia beranjak duduk pada sisi ranjang dan membiarkan madam Bettie yang tidak tahu menau seluk-beluknya untuk mendengarkan.
"Berada di sini, maupun di rumah orang tuaku rasanya sama-sama sepi," tutur Matilda, pandangannya nampak kosong saat ini.
"Tapi kau mempunyai pelukan dan belaian ternyaman kala kau sedih jika ibumu ada di sampingmu. Banyak orang mendambakan hal itu, hal yang bagi kalian sangatlah sepele, percayalah bahkan kami haus akan hal sesepele itu."
"Sekalipun ibumu tak memperlakukanmu dengan layak?" tanya Matilda.
"Tergantung tingkat ketidak layakannya." Ucapan Madam Bettie membuat Matilda termenung bingung.
"Begini, apa ibumu menjualmu? apa ibumu memintamu mencuri? apa ibumu menyuruhmu membersihkan seisi rumah dan memerintahmu seperti babu? ataukah pernah ibumu memukulimu?" Matilda menggeleng sebagai jawaban.
"Berarti ia masih layak disebut sebagai ibu, berarti kasih sayangnya masih layak didapati, pun berarti bahwa ia masih sangat layak diampuni. Bahkan jika seorang pria memberiku kekayaan dengan syarat aku harus meninggalkan ibuku, sepertinya lebih baik aku tidak memiliki pasangan daripada harus berjauhan dengan ibuku sendiri," tutur Madam Bettie, kali ini benar-benar membuat Matilda berpikir.
"kau membuat kepalaku ingin pecah saja." Matilda beranjak menekan tombol dalurat agar perawatnya bisa segera datang ke ruangan.
"Ya Tuhan, kenapa kau memanggilnya sekarang?" tanya Madam Bettie panik.
"Memang kenapa?"
"Aku belum membenarkan riasanku." Madam Bettie segera meraih bedaknya dan memolesnya dengan tergesa.
"Hahaha apa kau menyukai Darren?" Matilda tertawa dengan keras.
"Namanya Darren?" tanya Madam Bettie, namun ia segera mematung saat mendengar suara langkah kaki menuju ruangan Matilda.
"Katakan padanya aku Bettie, dan aku tertarik padanya," ucap Madam Bettie dengan cepat, saat ia beranjak Darren pun tiba di ruangan Matilda.
Matilda menyambut Darren dengan tawa, Madam Bettie terkesima pada Darren, dan Darren terpesona pada Matilda. Gila, Darren bahkan tak berkedip dan Madam Bettie seolah tak pernah ada di situ bagi Darren, yang ada hanya bidadari cantik berbalutkan gaun kuning yang sedang tertawa gembira. Dalam bayang Darren Matilda menghampirinya dengan malu-malu dan melingkarkan tangannya di tangan kiri Darren, nyaris seakan tak nyata padahal benar adanya. Dan Matilda berjinjit untuk meraih kuping Darren memberinya sebuah bisikan, "Namanya Madam Bettie, jika kau mau kau bisa mengambilnya dengan percuma."
"Uhuk.." Darren terbatuk, ia menatap Matilda dan Madam Bettie secara bergantian. "K..kupikir aku dipanggil untuk membersihkan ruanganmu," ucap Darren kikuk. Ia bergidig ngeri ketika tanpa sengaja pergerakan Madam Bettie yang genit membuatnya menatap lagi ke sana. "Ya, kau boleh membersihkannya sekarang," ucap Madam Bettie, sedang Matilda hanya terkikik tanpa suara.
Darren berjalan mengambil sapu di sudut ruangan yang sempat ia tinggalkan tadi, sebisa mungkin ia meredam kegugupannya ketika kedua wanita disana memperhatikan pekerjaannya sembari tersenyum-senyum. "Darren, apa kau tidak merasa bahwa dirimu lebih cocok menjadi seorang model daripada harus melakukan pekerjaanmu saat ini?" tanya Madam Bettie tiba-tiba.
"Aku hanya merasa tidak ada salahnya juga melakukan pekerjaan ini," timpal Darren, sesekali menatap pada Madam Bettie demi kesopanan.
"Jika kau mau aku akan merekrutmu sebagai modelku," ujar Madam Bettie, membuat Darren benar-benar menghentikan pekerjaannya dan menatap Matilda sesaat setelah permintaan Madam Bettie terlontar.
"Aku rasa aku mulai menyukai pekerjaanku saat ini." Darren tersenyum, menyapu sisa terakhir dan memasukannya ke dalam sebuah kantong pelastik.
"Bekerja disini memberikanku pelajaran-pelajaran lain tentang kehidupan," mendengarkan lanjutan ucapan Darren membuat madam Bettie beranjak,
"benar, jangan hanya bekerja untuk uang, tapi dapatkan pula pengajaran penting dalam pekerjaannya. Ohh ya, Matilda sepertinya aku juga akan semakin menyukai pekerjaanku yang datang setiap hari kemari untuk meriasmu, sampai nanti malam. Aku lupa ada janji tiga puluh menit lagi. Darren, sampai jumpa lagi."
Madam Bettie meraih peralatannya dan berlalu dari ruangan Matilda setelah si wanita tambun itu memeluknya singkat. Dalam hati Darren berucap syukur sebab bisa menghindari Madam Bettie kali ini, dan ia tak akan melupakan untuk menanyai kapan waktu-waktu madam Bettie datang agar ia bisa bersembunyi saat kedatangannya.
"Hahahah...lucu sekali, dia tampak sangat menyukaimu, Darren" ucap Matilda tiba-tiba, ia beranjak menaiki ranjang dengan kedua kaki mengayun-ayun disana.
"Tolong jangan katakan itu, nona" pinta Darren.
"kenapa? dia baru berusia tiga puluh tahun, pekerjaannya juga sangat bagus. Dan tentu saja dia kaya," ucap Matilda, tak henti menggoda Darren yang mulai geram.
"Apa mungkin aku terlihat sangat menginginkan uang?"
"Ya, tentu saja. Kau bekerja untuk uang, bukan?"
"Hemm..begini-" Darren menarik sebuah kursi tepat di hadapan Matilda dan mendudukinya dengan tenang.
"Ada dua hal yang tidak bisa kau beli dengan uang, itu adalah perasaan dan sebuah kehendak mutlak dari Tuhan, atau yang kita kenal sebagai takdir. Kita tidak bisa selamanya mengharapkan memiliki uang agar memiliki semuanya." Matilda mematung mendengarkan penuturan Darren, otaknya terlalu banyak dipakai berpikir hari ini dan membuatnya sedikit lamban untuk mencerna. Pria itu sendiri tidak yakin apakah seorang Matilda mampu memahaminya atau tidak, namun setidaknya ia tidak akan merasa bersalah sebab yang ia katakan adalah nasihat yang baik dan benar.
"bisakah kau mengajakku berjalan-jalan?" tanya Matilda, membuat Darren menghela napas panjang sebab yakin bahwa ucapannya barusan tidak berhasil dicerna wanita ini.
"Baiklah, tetap berada di sampingku, bicaralah padaku jika kau merasakan sesuatu saat sedang berjalan-jalan nanti." Darren menodongnya dengan sebuah telunjuk, disaat semua orang begitu menyegani Matilda namun Darren melakukan apapun tanpa takut.
Matilda memberikan seulas senyuman menawan yang membuat Darren tanpa sadar menahan napas, "Baiklah, tidak masalah." Matilda melompat dari ranjangnya dan bersiap untuk keluar bersama sang perawat pribadi.
Matilda berjalan beriringan bersama Darren keluar, mereka menelusuri koridor rumah sakit yang cukup megah, banyak para pasien yang berlalu lalang, banyak pula yang tiba-tiba terhenti sejenak setelah melihat Matilda keluar dari ruangannya. "Aku tidak suka menjadi pusat perhatian, bisakah kau berjalan di depanku?" tanya Matilda, kendati sekalipun ditutupi tubuh Darren semua orang akan tetap terpana akan eksistensinya.
"Kenapa kau tidak menyukai menjadi pusat perhatian, nona? Orang-orang bahkan berlomba demi menjadi seperti itu," bisik Darren, nyaris lupa bahwa orang yang ia ajukan pertanyaan adalah seorang pasien rumah sakit jiwa.
"Berlomba untuk apa? ucapanmu itu kadang sangat tidak jelas, Darren." Mendengar itu membuat Darren memutar irisnya jengah, lebih tepatnya terhadap dirinya sendiri sebab berulang kali menganggap Matilda adalah wanita dewasa yang asik diajak bicara banyak, alih-alih pasien rumah sakit jiwa yang tujuh kali dalam setahun berusaha membakar gedung Hiraeth.
"Tidak, aku hanya berbicara pada diriku sendiri," tukas Darren.
"Kau sering berbicara dengan dirimu sendiri? aku juga sering melakukan itu, bukankah itu mengasikan? kau seperti punya teman."
Darren mendesah--kesekian kalinya, dan lebih memilih untuk diam kali ini hingga mereka sampai di luar ruangan Hiraeth untuk berkeliling. Tanah berumput hijau segar membentang mengelilingi Hiraeth, jika mengambil arah ke barat maka kita akan menemukan sebuah taman bunga. Terdapat beberapa kursi serta lampu-lampu taman yang akan mempercantik taman pada malam hari. Disana juga terdapat jalan berbatu-batuan untuk refleksi. Tempat itu penuh dengan tawa-tawa para pasien yang tidak pernah memesan untuk terlahir demikian.
Sedang apabila kita menyusuri melalui timur, maka yang pertama kali dilihat adalah tempat bermain bagi pasien anak-anak di Hiraeth, kendati orang-orang dewasa lebih banyak kita temui memakai fasilitas mainan disana seperti ayunan dan perosotan. Lantas jika kita berjalan tepat ke belakang Hiraeth, maka pemandangan danau akan sangat menyegarkan mata siapapun yang tiba di sana. Beberapa burung juga sering hinggap pada rerumputan sebab tahu orang-orang disana selalu menyiapkan makanan untuk sekadar melihat binatang bersayap ini dari jarak dekat.
"Darren, kenapa kau menyukai pekerjaan disini? kau tidak takut akan menjadi pasien disini jika berlama-lama disini?" tanya Matilda, kini ia telah mendaratkan bokongnya pada sebuah kursi taman yang sengaja disimpan di dekat danau.
"Karena mereka semua," ucap Darren refleks, seraya menunjuk para pasien dengan tatapan matanya yang kali ini mampu Matilda pahami kembali.
"Tidak ada yang menarik dari mereka, mereka hanya orang gila-sama sepertiku," tukas Matilda, memandang iris hazel Darren lekat-lekat.
"Karena itu, mereka memberiku pandangan lain mengenai dunia. Seperti seorang anak remaja di kursi seberang, ia membunuh kawannya di sekolah, ibunya terpuruk dan dikucilkan oleh warga itu sebabnya ia membawa puteranya kemari lantas ia pergi ke luar kota menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang puteranya."
Matilda tak mengerti ucapan Darren, namun cerita si remaja pria di depan sana cukup menarik. "Jauh di sebelah sana, seorang anak berusia tujuh tahun harus tumbuh di bawah atap Hiraeth hanya karena ia tidak seperti anak-anak pada umumnya. Ia datang kemari saat akan menginjak umur satu tahun ketika kedua orang tuanya telah mengetahui kelainan pada putranya." Derren memperhatikan anak laki-laki yang hendak memasuki gedung Hiraeth setelah berjemur bersama perawatnya.
"Semua itu mengingatkanku bagaimana seharusnya aku bersyukur terlahir seperti ini. Tak mengapa tidak memiliki orang tua, seribu kali lipat aku lebih beruntung karena mendapatkan kasih sayang yang layak dari kedua orang tuaku selama mereka masih hidup." Darren mengambil makanan burung yang terdapat di saku celananya, entah sejak kapan pria itu memilikinya dalam kantung. Darren bangkit dan menabur pakan burung tak jauh dari kedua kakinya
"Banyak lagi pesan lain yang bisa kita ambil di tempat ini. Dari urusan tentang cinta, kriminal, perselisihan tahta dan jabatan, hingga masalah se-fana misteri yang melibatkan makhluk halus. Latar belakang mereka yang berbeda-beda mampu memberikan pengalaman dan cerita yang seharusnya kita pahami bahwa hal yang membuat mental rusak itu memang selalu ada saja."