"I'm sorry for loving you with all my ekspetations." - Dia
...
"Ma-masss...tolong lepasin saya."
Suara Dia semakin terdengar pilu karena bercampur dengan tangisannya. Tanpa memperdulikan ucapan Dia, Aryan justru semakin mencumbu tubuh atas Dia. Sebelum terjadi sesuatu yang lebih jauh, Dia mengumpulkan tenaga yang masih tersisa. Ia dorong dengan sekuat tenaga d**a bidang Aryan. Aryan sedikit tersentak dan mendongakkan kepalanya menatap wajah istrinya yang memandangnya dengan tatapan benci, takut, hancur, sedih dan itu membuat Aryan mulai tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan.
Plakk. Satu tamparan mendarat sempurna di pipi kanan Aryan. Tidak lagi ada senyuman manis seperti yang biasa Dia tampakkan di depan suaminya. Yang ada hanya seorang gadis yang terisak dengan penampilan hampir setengah telanjang. "Shitt, apa yang barusan gue perbuat." Aryan beranjak dari atas tubuh Dia dan mengacak rambutnya. Ia duduk di sisi sofa yang kosong.
Dia beringsut dari posisinya semula. Duduk dengan menekuk lututnya sebagai penopang kepalanya yang ia tundukkan. Ia memeluk lututnya. Hatinya sungguh hancur. Airmatanya sudah tak lagi bisa ia bendung.
Melihat kondisi Dia, Aryan semakin merutuki kebodohannya. Tangisan istrinya begitu terdengar pilu untuknya. Ia beranjak mendekat ke arah Dia, "Di, maaf...gue gak bermaksud untuk seperti ini." Dia mendongakkan kepalanya, "JANGAN DEKET-DEKET SAYA. SAYA BENCI SAMA MAS."
Aryan tidak menampik jika istrinya sekarang terlanjur terluka karena perbuatannya. Ia tak sanggup untuk mengatakan apapun. Rasanya percuma. Tidak akan sanggup menghapus luka yang sudah ia torehkan di hati gadis ini. Ia usap kepala Dia yang masih tertutup hijab. Ia lepaskan jaketnya dan menutupi tubuh Dia. Gadis itu menolak jaketnya. Tapi bukan Aryan namanya kalo dirinya kalah. Semakin kekeh Dia menolak semakin kekeh pula ia memakaikannya. Sampai ketika Dia tak lagi bereaksi, ia rengkuh tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya.
"Maaf," ujar Aryan lirih ketika Dia terus saja meronta-ronta agar bisa lepas dari pelukannya. Sesekali gadis itu memukulkan tangannya ke d**a bidang Aryan. Aryan masih tak bergeming. Semakin dieratkan pelukannya sambil mengusap-usap punggung istrinya. "Saya benci. Hikk hikk Benci sama mas....Mas hikk jahatt.." ucap Dia disela-sela tangisnya. Bukan pernikahan seperti ini yang Dia bayangkan selama ini. Ini pernikahan yang hanya menyakiti hatinya.
Aryan masih setia mendengarkan ucapan-ucapan sang istri. Ia sadar benar jika memang pantas istrinya itu membencinya sekarang. Diusapnya punggung Dia yang menangis di pelukannya. Hingga setelah beberapa saat gadis itu seperti kehabisan energi akibat menangis terlalu lama dan mulai terdengar nafas teratur dalam tidurnya.
Menyadari jika istrinya sudah tertidur, ia uraikan pelukannya. Di tatapnya wajah ayu yang ada di hadapannya. Jaket miliknya tadi hanya menutupi bagian belakang tubuh istrinya. Dan kini saat ia memakaikan ulang jaketnya agar juga menutupi bagian depan, ia dengan jelas melihat jejak-jejak keganasan ulahnya.
Aryan memejamkan matanya sesaat. Dirinya tersadar bahwa ia punya perasaan tertentu untuk Dia. Ditatapnya lagi wajah istrinya. "Gue cemburu. Gue gak suka ngliat lo sama orang lain. Gue ternyata sayang sama lo. Dan lo mungkin udah benci banget sama gue pasti," sesalnya lirih. Ia rengkuh tubuhnya istrinya dalam dekapannya dan beranjak berdiri menuju kamar tidurnya. Ia sengaja membawa istrinya ke kamar miliknya. Milik mereka berdua seharusnya.
...
Adzan shubuh terdengar sayup-sayup di telinga Dia. Ia mengerjapkan matanya. Menangkap pemandangan asing di hadapannya. Ini bukan kamarnya. Satu kalimat itu yang terlintas di benaknya.
Ada suara dengkuran halus dan nafas seseorang menerpa tengkuknya. Ia menggeliatkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari sebuah tangan kokoh yang tengah memeluk pinggangnya. Saat ia berhasil membalikkan badannya. Pemilik tangan itu terlihat gusar namun tetap masih memejamkan matanya. Dia menatap wajah itu dengan jarak yang sangat dekat. Bentuk wajah yang sempurna, rahang yang kokoh, alis tebal, hidung mancung dan bibir yang seolah diciptakan untuk menggoda iman.
Jujur saja wajah Dia saat ini sangat merah hanya dengan melihat suaminya yang tengah tertidur. Ini pertama kali selama mereka menikah, ia terbangun dengan pemandangan sedamai ini. Namun perasaan itu tak berlangsung lama, ia kembali teringat atas apa yang terjadi semalam. Diusapnya dengan pelan pipi sebelah kanan yang sempat ia tampar. "Kamu kalau lagi tidur gini kayak malaikat. Tapi kalau udah bangun, kenapa jahat banget sama aku sih," batinnya.
Dia menggeser tangan Aryan dengan hati-hati dan beranjak dari kasur. Diedarkan pandangannya ke dalam seisi kamar. Sedikit berantakan. Memang sejak perdebatan mereka di mobil itu Dia tak lagi masuk untuk membereskan kamar ini atau sekedar menyiapkan pakaian untuk suaminya. Dia menghindari suaminya itu. Hatinya sedang lelah dan tak ingin semakin lelah jika harus menghadapi sikap ketus Aryan.
Ia berdiri di depan cermin di kamar suaminya. Ia tatap dirinya sendiri. Mata sembab, bibir yang sedikit sobek, dan jejak-jejak kissmark di sepanjang leher dan tentu saja dihampir semua tubuh bagian atasnya. Rasanya sakit jika mengingatnya meskipun suaminya berhak atas tubuhnya itu.
Ia langkahkan kakinya untuk memunguti beberapa kaos yang tergeletak sembarangan dan menaruhnya di sofa untuk ia bawa ke bawah dan mencucinya. Langkahnya beranjak ke arah rak buku. Ada beberapa buku dan dokumen yang terlihat tidak rapi. Ia mulai meletakkan buku-buku itu kembali ke tempat semula dan memasukkan beberapa dokumen ke laci meja. Namun matanya sedikit terusik oleh sebuah amplop coklat yang ditutup tidak rapi sehingga bagian kertas di dalamnya menyembul keluar.
Ia raih amplop itu dan menarik kertas di dalamnya. Degg. Jantungnya seperti berhenti sepersekian detik. Dia hampir tidak percaya apa yang ia lihat. Buru-buru ia masukkan kembali kertas itu dan membawanya keluar kamar. Ia lupakan tentang membereskan kamar suaminya yang masih belum selesai. Ada hal lain yang membuat hatinya tidak enak.
...
Panik. Satu kata itu yang terlintas dipikiran seorang Aryan. Dirinya keluar untuk membeli sarapan, namun sekembalinya ke rumah ia tak menemukan keberadaan istrinya. Tidak di dalam kamarnya. Tidak di dalam semua ruangan di rumahnya. Rasa paniknya akhirnya terjawab ketika ia menemukan secarik kertas dengan tulisan, "Saya pamit ke kantor. Maaf gak sempet bikin sarapan."
Waktu masih menunjukkan pukul 07:00 tapi istrinya sudah berangkat ke kantor. Tidak seperti biasanya menurut Aryan. Apakah istrinya hanya ingin menghindar darinya saja. Berbagai dugaan terus saja berputar-putar di kepala Aryan.
Lamunannya baru berhenti ketika ia mendengar suara bell pintu rumahnya berbunyi. "Aryan, Dia, buka pintu ini mama." Mendengar suara mamanya, Aryan bergegas membukakan pintu. Begitu pintu terbuka sang mama buru-buru masuk dan melihat-melihat ke dalam rumah. Seperti sedang mencari sesuatu hingga akhirnya duduk di sofa ruang tamu disusul oleh Aryan.
"Dia mana Ar? Dia baik-baik aja kan? Mama mau ketemu sama Dia"
"Mama ngapain pagi-pagi begini ribut nyariin anak orang lain. Anak sendiri malah gak ditanyain."
"Ishh kamu itu. Mama lagi serius ini. Mana Dia, Ar."
"Orangnya udah berangkat ke kantor."
"Kok malah berangkat ke kantor. Emang Dia baik-baik aja? Kamu yakin Dia gak kenapa-kenapa?"
"Apa sih ma. Aryan gak paham. Emang Dia kenapa? Orang Dia gak kenapa-kenapa. Masih utuh."
"Aryaannn...Mama serius ya. Kamu ini pura-pura gak tau apa beneran gak tau. Kamu gak update berita yang lagi heboh di sosmed apa?"
"Aryaan belum buka hp mama ku sayang. Lagian apa hubungannya Dia sama berita yang lagi heboh."
"Dasar kamu kebangetan. Istri kamu itu kecelakaan kemarin."
"Apa? Kecelakaan? Kok Aryan gak tau ma. Mama gak lagi bercanda kan?"
"Nih, lihat video ini. Kamu ini suami macam apa sih, istrinya hampir ketabrak malah gak tau. Mama malu sama Mba Nares kalo tau kamu kayak gini sama Dia." Mama Aryan masih saja mengomel ketika Aryan sudah khusyuk melihat video kejadian tabrakan kemarin.
"Ini beneran Dia ma?" Wajah Aryan berubah pucat. Perasaannya kacau. Hatinya terasa nyeri. Satu sisi ia merasa bersyukur istrinya selamat dari kecelakaan. Tapi sisi hatinya yang lain mengutuk dirinya sendiri. Sepertinya ia sudah membuat kesalahan fatal kepada istrinya kemarin. "Ini kan di tempat kemarin. Jadi.....arghhh berarti gue udah salah paham ke dia dan malah nglakuin itu. Kenapa gue kemarin gak dengerin penjelasan dia dulu sih. Lo bener-bener kelewat b******k Ar. " maki Aryan dalam hati.
"Beneran Aryan. Makanya mama pagi-pagi kesini mau lihat keadaan menantu kesayangan mama. Lagian mama tau dari papamu. Mertua kamu masih diluar kota tapi mereka telpon papamu soal kecelakaan ini." Aryan hanya membeku mendengar ucapan sang mama. Ia harus meminta maaf pada istrinya.
...
Aryan masih saja terdiam sambil memandang sebuah ponsel di tangannya. Tidak merespon ucapan Dimas yang sejak tadi menjelaskan tentang hasil pertemuan mereka dengan perusahaan Wijaya. Perusahan yang menawarkan kerjasama pembangunan hotel Dirgantara di Bali. Tubuhnya ada di sini. Tapi hati dan pikirannya tidak. Yang harus dia lakukan adalah memperbaiki hubungan dengan istrinya. Tapi, bagimanakah caranya?
"Ry, lo denger gue ngomong gak sih?" Aryan masih saja diam. Membuat Dimas memutar bola matanya malas dan menyenggol siku Dewi yang duduk di sebelahnya. "Wi, itu sepupu lo kenapa lagi sih? Galauan mulu deh perasaan." Dewi hanya mengedikkan bahu. Tanda tidak tahu. "Hadeh...gak Aryan gak lo Wi. Sama aja."
Suasana kembali hening. Dewi tak menggubris ucapan Dimas. Begitupun dengan Aryan. Hingga terdengar suara nada dering ponsel terdengar nyaring memecah kebisuan mereka.
Drrt drtt drttt
So they say that time
Takes away the pain
But I'm still the same
And they say that I
Will find another you
That can't be true
(*Song by One Ok Rock - Heartache)
"Ry, itu bunyi terus-terusan lho. Gak pengen diangkat gitu. Tapi tumben amat ponsel lo nada deringnya begitu." Dimas kembali membuka suara. Aryan mengernyitkan dahi melihat nama yang tertera di layar ponsel. Badai Angkasa.
"Lah, Ar itu bukannya ponsel Dia kan? Kok ada sama lo sih?" Dewi memandang heran ketika menyadari jika ponsel yang sejak tadi dipandangi sepupu sekaligus bosnya itu adalah ponsel Dia.
Ya itu adalah ponsel Dia yang tertinggal di kamar Aryan karena semalam Aryan membawa Dia untuk tidur bersamanya. Tidur dalam pelukannya. Tadi pagi saat ia tak menemukan keberadaan istrinya, ia justru menemukan ponsel istrinya yang terus-terusan berbunyi. Bukan hanya orang dengan nama Badai saja yang sejak tadi menelpon ponsel istrinya. Tetapi ada juga yang bernama Elang dan tentu saja orang yang bernama Axel juga terus-terusan menelpon sejak tadi pagi. Rasa-rasanya dirinya masih kesal jika mengingat soal laki-laki yang sudah menyulut emosinya kemarin. Siapakah orang-orang ini sebenarnya? Apa hubungan mereka dengan Dia, istrinya?
"Kok lo tau Wi ini punya Dia?" selidik Aryan.
"Taulah, orang gue pernah pinjem ponselnya buat telpon lo kok."
"Kapan? Perasaan kagak pernah gue dapet telpon dari ponsel Dia. Heran, giliran pas gue hubungin nomernya gak pernah aktif. Sekarang bunyi terus dari tadi pagi."
"Gimana mau hubungin elo, orang nomernya aja elo block kok. Lupa apa pura-pura lupa lo."
"Sok tau lo. Kalo gue block Dia, mana mungkin gue bisa dapat Wa dari dia soal foto gue sama Silla."
"Idiih lo tu yang sok tau. Dibilangin juga. Gue kasih tau ya, nomer yang dipake Dia buat Wa lo itu cuma nomer sementara. Bukan nomer Dia yang sesungguhnya. Gue yang nyuruh Dia buat chat lo pake foto itu. Awalnya Dia gak mau tapi gue paksa. Biar lo pulang, dan berhasil kan. Kalo lo gak percaya, buka aja tu ponsel. Cek sendiri history chat Dia yang selalu doi kirim ke lo. Padahal udah tau gak akan pernah nyampe tu pesen-pesen tapi Dia tetep aja nglakuin itu. Dan lo gak pernah tau itu kan?"
"Seriously?"
"Iya gue berani sumpah demi kecantikan gue yang paripurna ini. Gini deh, sini gue kasih tau lo nomer Dia. Noh, sama gak sama yang lo punya?" Dewi menyodorkan nomer ponsel Dia dari ponselnya untuk dicocokkan dengan nomer yang Aryan save. Sesuai yang dikatakan Dewi, nomor yang ia save berbeda dengan yang ada di kontak Dewi. "Gue telpon deh...nah masuk kan?"
Aryan hanya bisa tertegun. Hari ini dirinya mendapati fakta yang sama sekali tidak dia bayangkan. Tadi pagi mamanya datang dengan cerita soal kecelakaan Dia. Dan baru saja Dewi memberikan kejutan lainnya. Wow. Aryan bahkan tidak ingat jika dirinya telah memblock nomer istrinya sendiri.Sungguh luar biasa, kecerdasan Aryan makin dipertanyakan.
"Tapi kok gue gak inget ya kalo gue ngeblock nomer Dia?"
"Kalo dari cerita Dia, pas abis akad nikah lo ngilang itu Dia chat lo, nyariin lo. Tapi malah lo block. Buka aja ponselnya. Trus cek history chat Dia ke lo."
Aryan memandang Dewi dengan tidak percaya atas apa yang dikatakan sepupunya itu. "Kok lo gak pernah cerita ke gue Wi? Gimana mau ngecek, orang gue gak bisa buka ponsel Dia. Di password."
"Dia ngelarang gue buat bilang apapun. Dia selama ini itu tulus cinta sama lo tau gak. Dia diem-diem selalu nanyain tentang lo ke gue Ar. Dia yang selalu bilang ke Om sama Tante kalo dirinya bahagia punya suami yang baik kayak lo. Hadeeh padahal mah gue tau lo kagak ada baik-baiknya sama doi. Please dong buka mata sama hati lo. Dia itu gak kayak seperti yang lo pikirin. Gue sih takutnya suatu saat lo tu baru sadar pas Dia udah gak ada. Dan lo cuma bisa nyesel doang" Dewi menghela nafas panjang setelah penjelasan panjangnya ke Aryan. "Gue kasih tau passwordnya deh. 1 sampe 5. Gue harap setelah ini lo bisa bersikap baik sama Dia. Kurang-kurangi tu sok tau akut lo yang cuma bakal bikin lo salah paham sendiri. Heran aku tuh, muka doang ganteng, otak cerdas eh kelakuan kenapa gak ada bijak-bijaknya sih" lanjutnya.
Tanpa membuang waktu Aryan membuka ponsel Dia dan mencari history chat Dia ke nomernya. Aryan semakin pucat pasi membaca deretan chat yang setiap hari dikirim istrinya itu untuknya. Dari mengingatkan Aryan tentang makan, menanyakan kabarnya, tentang Dia yang meminta izin kepadanya untuk bertemu orang lin atau pergi kemanapun.
"...Sekalipun saya ijin, mas gak akan pernah tau..Percuma..."
Rasa sesal Aryan semakin menyeruak. Dirinya kembali teringat soal perdebatan dirinya di mobil saat Aryan menuduh Dia yang nongkrong dengan teman-teman kantornya tanpa seijin dirinya. Kesalapahaman yang berbuntut pertengkaran itu ternyata dirinyalah yang bersalah.
Suasana kembali hening. Aryan semakin membisu. Sementara Dimas yang sejak tadi hanya seperti obat nyamuk, memilih untuk diam. Ia sedang tidak lagi dalam mode kepo karena sejak tadi diabaikan.
Tokk tokk. Mereka bertiga menengok ke arah suara pintu ruang meeting yang diketuk oleh salah satu staff Aryan dan muncullah seseorang dengan name tag Rena yang bertugas sebagai front office di perusahaan Aryan. "Maaf pak Aryan, saya mengganggu waktu bapak sebentar. Di lobi kantor ada perempuan yang sedang menunggu Bapak. Katanya beliau ingin bertemu dengan Pak Aryan tapi belum membuat janji bertemu. Apakah saya harus menyuruh pulang atau mungkin Bapak ingin menemuinya?"
"Siapa Ren?"
"Namanya ibu Ayudia."
...