"Inginku memiliki, tapi tak tau bagaimana mengawali." - Aryan
...
"Kamu ngapain mas?"
Deg. Aryan membeku mendengar suara itu berada dekat dengan tempat ia berdiri. Dirinya merasa kaku seperti sedang ketahuan tengah berbuat sesuatu yang memalukan. Aryan menghela nafas dan menoleh ke arah Dia, sambil memasang wajah ketus. "Lo gak liat gue lagi mau masak."
Dia sesaat mengernyitkan dahi lalu ketika matanya tertuju ke arah jari sang suami yang mengeluarkan darah, tanpa banyak bicara ia mengambil tissu dan menarik jari Aryan. Dia menekan-nekan jari itu sampai ketika dirasa darahnya tidak lagi keluar, ia segera menarik tangan Aryan ke wastafel untuk membersihkan jarinya.
"Mas, tunggu sini ya. Jangan kemana-mana." Aryan hanya menggangguk seperti seolah terhipnotis oleh tindakan Dia barusan. Dirinya tidak marah-marah seperti biasa ketika Dia berada sangat dekat dengannya tadi.
Dia kembali sambil membawa kotak p3k ke dapur tempat Aryan berdiri. Dia meraih jari Aryan yang terluka tadi. Mereka berdua berdiri sangat dekat. Aryan bisa mencium aroma manis seperti buah pear dari tubuh istrinya. Oh jantungnya, kenapa berdetak sangat keras. "Apa gue sedang kena serangan jantung. Apa mungkin jari yang tergores akan membuat jantung seseorang berdetak sangat kencang. Dan apa ini, kenapa gadis ini berpakaian seperti ini malam ini." gumam Aryan dalam hati.
Aryan tanpa sadar mengamati Dia dengan teliti. Rambut panjang sepinggang yang tergerai begitu indah. Wajah mungil, mata sayu yang berbentuk bulat dengan bulu mata yang lentik. Ah ada satu tahi lalat kecil di sudut mata kanannya. Manis sekali. Lalu pipi halus dan agak tembam itu sungguh membuatnya ingin menggigitnya. Aryan menurunkan tatapannya ke bibir mungil berwarna pink. Apakah rasanya akan sangat manis. Haruskah ia mencobanya. Aah dirinya menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir pikiran anehnya.
Tatapannya kembali menelusuri gadis berperawakan mungil itu. Di arahkannya pandangananya ke lekuk tubuh istrinya dan ehm sangat sexy. Malam ini secara mengejutkan dirinya melihat Dia hanya mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam. Saking pendeknya celana itu benar-benar mengekspos paha mulusnya. Oh damn, Aryan benar-benar merasa tidak bisa mengendalikan hasrat dirinya. Ingin rasanya ia ah sudahlah.
"Nah sudah selesai. Jari mas akan sembuh besok," ucap Dia sambil tersenyum manis setelah selesai memasang plester luka di jari suaminya. Ehem, Aryan berdeham dan mengalihkan pandangannya. Dirinya baru saja ketahuan tengah menatap gadis yang sukses membuat otaknya berfantasi.
"Gue laper, gak ada makanan di dapur. Masakan lo tadi kemana?"
"Tumben jam segini mas laper. Karena tadi gak mau makan ya udah makannya saya kasih ke pak satpam komplek. Sayang kalo mesti dibuang karena gak kemakan. Hmm, mau saya buatin sesuatu?"
"Nasi goreng. Gue mau itu."
"Oke kapten."
"Gak usah senyum. Gue terpaksa minta lo masak. Jari gue sakit jadi gak mungkin kalo gue yang mesti masak."
"Iyaaaa tau." Dia kembali tersenyum dengan sangat manis. Ia segera mengupas bawang merah dan putih lantas mengambil beberapa cabai dan mulai mencucinya. Diambilnya cobek dan memasukkan garam dan mulai menguleknya bersama bumbu-bumbu lainnya untuk membuat nasi goreng.
"Gue mesti bantu apa?" Dia sedikit terkejut saat Aryan berdiri di belakangnya dan sangat dekat dengannya. Dia membalikkan badannya menghadap sang suami dan menggelengkan kepala, "Enggak usah bantuin. Nanti sembilan jari yang tersisa kenapa-kenapa lagi." Aryan mencembikkan bibirnya, "Gak usah ngejekin."
Dia hanya tertawa, "Gak maksud ngejekin tapi kita udah gak punya plester luka lagi. Kalo kena pisau lagi mau diobatin pake apa coba?" Dia kembali membelakangi suaminya. Tawa dari istrinya barusan sukses membuat jantungnya kembali berulah. Ada perasaan aneh seperti sebuah sengatan dalam dirinya. "Di obatin pake senyum kamu" batin Aryan. Eh kenapa dirinya mulai tidak waras. Tolong otaknya yang memiliki kecerdasan dari lahir itu sepertinya sudah benar-benar gila.
"Hmm, boleh tolong iketin rambut saya. Tangan saya kotor." ucap Dia sambil kembali menghadap suaminya.
"Mana ikat rambutnya?"
"Ini" ucap Dia sambil menjulurkan tangan kanannya yang terdapat tali rambut berwarna biru dengan aksen pita yang terlihat seperti gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Aryan meraih tangan itu dan menarik ikat rambutnya. Ada perasaan hangat ketika ia memegang tangan itu. Tatapannya sedikit terusik pada lengan istrinya. Ada plester luka di sana.
"Ini mesti diikat gimana?"
"Dicepol ke atas bisa? Atau sebisa mas aja deh yang penting keiket."
Aryan tidak membalasnya dan mulai menyentuh rambut Dia. Baunya benar-benar wangi. Dikumpulkannya rambut itu menjadi satu dan mulai mengangkatnya ke atas dan mengikatnya menjadi cepolan asal. Ada beberapa helai anak rambut yang terjuntai tidak terikat dan justru semakin membuat Dia semakin mempesona. Leher jenjang yang berwarna putih mulus itu terpampang di depan Aryan. Aryan menelan ludahnya. Bagaimanapun dirinya adalah laki-laki dewasa yang normal. Ingin rasanya dia merengkuh tubuh mungil di hadapannya itu. Menempatkan kepalanya di cekukan leher istrinya dan menghirup aroma pear manis dari tubuh ini dan mulai melakukan.....Oke fik mari kita julukin Aryan sebagai orang gila malam ini.
"Terima kasih mas."
"Hemm."
Diliriknya lagi lengan sang istri. Tidak hanya satu plester luka. Tapi ada dua. Kapan luka itu ada. Kenapa dirinya tidak pernah tau. Bodoh, selama ini kan dia pake baju tertutup mau tau bagaimana. Aryan kembali mengutuk dirinya. Dan lagi hubungan mereka yang tidak baik membuat Aryan selalu sukses untuk tidak memperhatikan sang istri. Tapi malam ini berbeda. Matanya tidak bisa lepas dari Dia. Benar-benar akal sehatnya sudah tidak bisa ia kendalikan. Sekalipun otaknya terus-terusan menyuruhnya untuk berhenti memperhatikan justru hatinya dan tubuhnya itu tidak bisa diajak kompromi.
Tak butuh waktu lama bagi seorang Dia untuk menyelesaikan kegiatan masaknya. Suasana hatinya benar-benar bahagia. Rasanya hampir tidak percaya jika sekarang dirinya sedang memasak untuk suaminya. Dan tentu saja kehadiran suaminya yang tengah duduk manis di meja makan menanti hasil masakannya adalah keajaiban menurutnya. Padahal tadi dirinya berniat keluar kamar karena merasa haus. Tidak disangka dirinya malah bertemu dengan suaminya hingga berujung kegiatan masak di tengah malam.
Sepiring nasi goreng dengan potongan sosis dan telur mata sapi tersaji di atas piring. Dia tersenyum ke arah sang suami ketika Aryan menerima nasi goreng itu dengan mata berbinar. Tak menunggu waktu lama, Aryan segera menyuapkan sendokan pertama ke mulutnya. "Suer, ini enak banget" puji Aryan dalam hati. Tentu saja dia takkan mengatakan itu langsung. Gengsi dong.
"Mau minum air putih atau teh anget mas?"
"Teh."
Dia berbalik ke arah dapur dan membuatkan secangkir teh hangat manis. Setelah selesai dengan teh untuk suaminya, diraihnya lagi satu buah gelas dan ia mulai mencelupkan teh seduh ke gelasnya. Namun dirinya hanya menuangkan air panas setengah gelas dan tanpa gula. Setelah dirasa teh sudah cukup terseduh dalam gelas ia buang kantong teh celupnya dan menambahkan beberapa es batu dari dalam kulkas. Tangan kanannya ia pakai untuk membawa cangkir teh hangat manis untuk sang suami. Sementara satu gelas teh tawar dingin itu adalah miliknya.
"Ini mas tehnya. Pelan-pelan aja makannya," ucap Dia sambil hendak berlalu dari hadapan Aryan. Tapi belum sempat ia melangkah lengannya sudah ditarik oleh Aryan. "Mau kemana? Duduk. Gue gak suka makan sendirian."
Jelas itu bukan permintaan, melainkan perintah. Dia melirik ke arah Aryan sebentar. Suaminya itu masih fokus dengan nasi di depannya. Dirinya sedikit ragu apakah benar jika suaminya itu yang mengatakan kalimat barusan mengingat bagaimana hubungan mereka selama ini.
Dia melangkah pelan, menarik kursi dan duduk di sebelah Aryan yang masih sibuk dengan nasi gorengnya. Diminumnya es teh tawar yang sejak tadi ia pegang. Rasa dingin menjalar ditenggorokannya. Dia melirik Aryan yang terlihat semakin tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini.
"Gak usah ngliat gue kayak gitu. Tau kok gue emang ganteng."
Deg. Dia terkejut dan sedikit gugup sehingga tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya. Bagaimana laki-laki itu bisa tau jika dia tengah memperhatikan suaminya itu, padahal sejak tadi Aryan tak sedikitpun menoleh ke arahnya. "Hmm ma-maaf," ujar Dia gugup sambil terus menggigit bibir bawahnya itu.
"Jangan digigit bibirnya." Aryan menengok ke sisi samping istrinya dan mendapati jika sang gadis tengah mengigit bibir bawah yang sejak tadi sangat menggoda itu. Diusapnya bibir Dia pelan dan menatapnya dengan sangat intens. "Inget, jangan lakuin itu lagi, apalagi di depan orang lain kecuali aku,"lanjutnya.
Wait apakah Dia salah mendengar. Apakah telinganya mulai tidak berfungsi. Barusan suaminya menggunakan kata aku. Duh mendadak melting deh hati ini. Ya ampun pipi Dia sukses merona dan ada rasa panas menjalarinya ketika tadi bibirnya diusap pelan oleh Aryan.
"Ke-kenapa?"
"Nanti bisa luka. Kalo masih digigit juga itu bibir, ntar gue cium."
Blush. Seketika pipi Dia semakin dibuat merona oleh ucapan Aryan. Diliriknya lagi suaminya itu yang seolah tidak peduli dengan apa yang sudah diucapkannya. Bahkan ekspresi wajah Aryan sangat datar. Tidak terbaca apa maksud ucapannya barusan.
Dia menundukkan wajahnya. Duduk nya sedikit gelisah karena gugup. "Please Ya Allah, jika ini mimpi, aku ikhlas untuk menutup mata selamanya" batin Dia. Diteguknya lagi es teh tawarnya berusaha menetralkan degup jantungnya yang tidak beraturan.
"Itu kenapa lengannya? Kok ada plester luka?" Aryan akhirnya menanyakan juga karena dirinya sangat penasaran sejak pertama kali melihatnya. Ada perasaan tidak rela melihat tangan mulus itu memiliki luka. Hanya memikirkan tangan saja, otaknya bisa piknik kemana-mana. Apakah ia benar-benar sudah menjadi lelaki m***m. Tidak, tentu tidak. Selama ini ia sering melihat model-model sexy dan biasa saja baginya. Kenapa efek yang ditimbulkan gadis ini sangat mengejutkan untuk dirinya. Aryan menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali fokus dengan nasi goreng yang masih sisa setengah itu.
"Hmm, gak papa cuma sempet kegores karena gak hati-hati pas jalan."
"Oh."
Hanya oh. Dia hampir tidak percaya. Dia kira suaminya akan mengucapkan sesuatu yang lebih panjang tapi ternyata hanya oh. Hatinya kembali mencelus setelah tadi sempat berbunga-bunga karena sikap manis Aryan. Dirinya hampir lupa bahwa hubungan mereka tidak pernah baik sebelumnya. Rasanya untuk mengobrol berdua seperti tadi saja itu sangat mustahil. Tapi sekarang mereka duduk sedekat ini dan berbicara seolah hubungan mereka baik-baik saja.
...
Klik. Aryan menutup pintu kamarnya dan duduk di tepian tempat tidurnya setelah menyelesaikan drama makan di tengah malam. Dari tadi dirinya mati-matian menahan diri untuk tidak menerkam istrinya itu dan berpura-pura dingin.
Dihempuskannya nafas panjang. Akal sehatnya benar-benar sudah hilang. Harusnya kan ia membuat istrinya tidak betah. Tadi itu apa-apaan. Mereka malah seperti pasangan kekasih yang sedang pacaran di dapur.
"Bego lo Ar. Bisa-bisanya ngomong mau cium-cium segala. Pake lo usap segala tadi. Tapi bibirnya kenapa lembut gitu yak. Argghhh..."umpat Aryan pada dirinya sendiri. "Itu bibir kenapa cipokable banget sih, gak salah dong kalo gue sampe khilaf. Untung aja gak kejadian. Mau ditaruh mana coba muka gue kalo sampe kejadian."
"Apa jangan-jangan tadi gue dihipnotis kali pas dia ngobatin. Ya, gak mungkin aja gue suka sama dia. Tapi...kok rambutnya, matanya, hidungnya, bibirnya, lehernya...eh bego kenapa malah kebayang-bayang mulu sih. Penasaran kan gue."
"Aahhh s**t, gue bener-bener mesti mandi malem kan jadinya. Mana dingin lagi. Tau ah, gelap. Besok-besok gue mesti jauh-jauh dari dapur sama pisau. Gara-gara tergores nih otak gue yang cerdas jadi geser kan." Aryan mulai beranjak menuju kamar mandi sambil terus memaki dirinya sendiri lalu meyakinkan diri bahwa ini bukan salah dirinya. Melainkan salah pisau dapur. Oke fik, pisau bisa menyebabkan otaknya yang kelewat cerdas itu jadi tidak waras.