"Bagaimana aku bisa terus berpura-pura tidak tahu, jika segala tentangmu selalu berhasil mengusik hati dan pikiranku" - Aryan
...
"Ry, cari sarapan yuk. Ini udah mau jam 8 lho. Lo mau gue mati kelaperan di sini."
"Berisik amat si lu Dim. Bentar 10 menit lagi."
"Ya elah. Gue beneran laper bego. Lagian kejem amat sih lo bangunin orang shubuh-shubuh cuma buat dengerin curhatan aneh lo, mana sampe jam segini kagak dikasih makan."
"Fine. Ayo cari makan. Tapi lo yang nyetir pake mobil lo. Gue lagi males bawa mobil."
"Dih mobil itu dikendarain bukan dibawa. Kek kuat aja lo."
"Berisik. Ayo cepetan katanya keburu mati kalo gak makan."
"Iya iya. Tungguin napa."
Aryan berjalan tanpa menoleh ke arah Dimas yang masih saja mengomel di belakangnya. Shubuh tadi dirinya melarikan diri ke kantornya setelah menyeret Dimas dari rumahnya hanya untuk mendengarkan kegilaan pikirannya. Bagaimana bisa seseorang yang kegores pisau menjadi tidak karuan. Jantung terus berdetak kencang. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan dan dia tidak tahu apa itu. Rasanya ada banyak kembang api yang meledak-ledak di dalam hati dan pikirannya. Apakah dirinya benar-benar sudah gila. Dan tentu saja Dimas hanya geleng-geleng kepala menanggapi ucapan aneh sahabat sekaligus bosnya itu.
"Kita mau makan apa? Bubur ayam aja gimana?" tanya Dimas saat dirinya sudah berjalan di samping Aryan. "Ngapain nanya kalo ujung-ujungnya udah ngomong bubur ayam." balas Aryan jutek. "Ya kan gue cuma kasih ide. Daripada kalo ditanyain makan apa lo bakal jawab terserah. Lo kan rese' orangnya kek cewek-cewek labil yang lagi ngambek." jawab Dimas sambil tersenyum nyengir. "Bangke lo Dim."
Saat mereka sampai di lobi kantor, mereka sempat berpapasan dengan beberapa karyawannya yang sudah berdatangan. Maklum sudah jam 8, jam masuk kantor. Tak terkecuali dengan beberapa karyawan perempuan yang tersenyum menyapa bosnya itu. "Ya ampun Pak Aryan kenapa ganteng banget sih. Jadi pengen deh ngayal dipeluk gitu." bisik salah satu karyawannya. "Pak Dimas juga gak kalah ganteng, malah lebih ramah lagi. Duh bawaannya pingin jadiin suami kalo ketemu mereka berduaaa." bisik yang lainnya.
"Selamat pagi pak Aryan. Mau kemana?" sapa seorang perempuan bernama Silla sambil memegang lengan Aryan dan tersenyum genit.
"Ya Allah cobaan apa ini pagi-pagi begini," keluh Dimas sementara Aryan hanya menganggukan kepala. Silla tersenyum sinis ke arah Dimas. "Pak Aryan sudah sarapan? Atau mau saya temenin sarapan." lanjut Silla mengabaikan ucapan Dimas.
"Kamu mundur empat langkah ke belakang." ucap Aryan sambil menunjuk ke arah belakang. Silla tampak kebingungan tapi tetap mengikuti perintah Aryan.
"Oke stop. Jarak kamu kalo di sekitar saya sejauh itu. Jangan dekat-dekat."
"Savage Pak Bos," seru Dimas.
"Kok begitu sih pak. Kan kita ini teman dekat." ucap Silla sambil melangkah maju.
"Maju satu langkah, saya kirim surat pemecatan untuk kamu. Dim ayo cepetan," balas Aryan sambil berjalan keluar kantor.
"Wohooo lo emang warbiyasah Ry. Akhirnya sadar juga kalo dia itu parasit. Bisa-bisanya yang model begitu ngaku-ngaku temen deket lo. Silla is totally hadeeeh"
"Apaan sih lo. Gue ini udah gak available buat dikejar, bego. Lagian mana mungkin gue sama cewek yang pake baju aja kurang bahan. Ya kali badannya diumbar buat berjamaah. Ogah."
"Maksud lo gak available lagi?"
"Berisik lo Dim. Ayo cepetan jalanin mobilnya. Laper gue."
"Iyaaa...iya pak bos."
...
Jam masih menunjukkan pukul 07:00 pagi tetapi Dia sudah rapi sejak shubuh. Setelah sholat shubuh, dirinya bergegas dengan pekerjaan rumah dari mulai beberes dan menyiapkan sarapan.
Ceklek. Dibuka pintu kamar suaminya. Dia membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dirinya mengernyitkan dahi ketika tak ia temukan suaminya di dalam kamar. "Kok mas Aryan gak ada. Apa sedang mandi?" gumam Dia sambil beranjak ke kamar mandi di kamar Aryan. "Kamar mandi juga kebuka. Terus kemana coba?" ujar Dia sambil keluar kamar Aryan dan menuruni tangga. Dirinya mulai berkeliling rumah mencari keberadaan sang suami. "Kok gak ada sih. Mobilnya juga gak ada. Apa semalam gak pulang? Tapi kalo gak pulang yang semalam minta nasi goreng itu siapa? Hiii...gak mungkin hantu kan? Ta-tapi semalam mas Aryan emang berbeda sih. Jangan-jangan beneran hantu lagi.." Dia bergidik ngeri. "Ahh tapi perasaan semalam mas Aryan nyata kok."
Dia bergegas mengambil ponsel dan mendial nomer suaminya. "Nomor yang Anda hubungi tidak tersedia,".. Tuttt tuutt tuttt..."Ah lupa, kan aku gak bisa telpon mas Aryan...Hmm gimana dong. Ah telpon mba Dewi."
Selang beberapa saat terdengar suara dari ponsel Dia.
"Hallo, Assalamualaikum Di. Tumben telpon jam segini? Kamu gak papa kan?"
"Wa'alaikumsalam mba. Hmm gak papa kok mba cuma mau nanya sekaligus minta tolong."
"Apa yang mba bisa bantu? Ayok sebutin."
"Mas Aryan gak ada di rumah ni mba. Kalo nanti mba sampai kantor tolong dicek dong apa mas Aryan ada di sana atau gak?"
"Ya ampun tu anak ngilang lagi? Udah coba ngehubungin ponselnya"
"Udah mba tapi kan mba tau aku gak bisa telpon mas Aryannya. Hmm tapi please jangan bilang apa-apa ke papa atau mama mas Aryan ya mba. Takut mereka khawatir. Tolong nanti aku dikabarin aja ada atau ndaknya mas Aryan di kantor?"
"Ya Allah ntar biar gue pites tu anak kalo ketemu. Pokoknya kamu tenang aja biar mba yang cari tau."
"Makasih banget lho mba. Maaf ya Dia suka ngrepotin mba mulu deh."
"Apaan sih kamu. It's okay mba gak pernah ngrasa repot. Lagian mba malu kali sama kelakuan Aryan yang seenak jidatnya itu ke kamu. Ini mba langsung meluncur ke kantor deh abis ini."
"Oke mba dewi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
...
"Ngapain lo Wi celingak celinguk di ruangan gue." ucap Aryan ketika dirinya dan Dimas kembali dari membeli sarapan dan menemukan Dewi sedang menelusupkan kepalanya ke celah pintu ruangan Aryan. "a***y kaget gue." seru Dewi mendengar suara dari belakangnya.
"Nyariin situ Pak Aryan."lanjut Dewi
"Tumben lo nyariin Pak Bos pagi-pagi gini." timpal Dimas
"Bentar deh Wi gue ada sesuatu." Aryan berlalu memasuki ruang kerjanya dan mengambil satu tas paper bag. "Nih oleh-oleh pesenan lo dari Bali. Lupa mulu mau ngasihnya kemarin."
"Dih telat lo, kalo cuma oleh-oleh dari Bali yang gue pesen udah dapet gue."
"Dapet darimana? Orang gue baru sempet ngasih sekarang."
"Dari Dia lah. Dia kan ke Bali nyusulin lo yang ilang kemarin."
"Dia ke Bali? Maksud lo?"
"Dia ngelarang gue buat bilang sebenarnya cuma gedeg gue sama lo. Tega amat sih sama Dia. Doi tu bela-belain tau cuti dari kerjanya dan nyusulin lo Bali. Cuma buat nyariin lo doang, sampe ketrabak tau pas di sana."
"Lo bencanda kan? Trus ketrabak gimana?
"Tanya aja sendiri sama istri lo kalo gak percaya. Asli ya gue tu kecewa sama lo Ar. Dia itu kurang baik apa coba. Kalo gak inget lo itu bos sekaligus sepupu gue, udah gue cakar bolak balik deh. Hadeeeh emosi gue."
"Wait, kalian ngomongin apa sih? Istri? Terus yang di maksud dia..dia ini dia siapa?" sela Dimas yang dari tadi nyimak obrolan tapi tidak juga paham. Daripada bingung mending tanya.
"Dia nyusulin ke Bali palingan buat mata-matain gue kan? Bener kan yang ngadu sama papa kalo gue gak pulang kemarin itu Dia."
"Bukan Dia Aryaann... Tapi gue, gue yang bilang sama om Zain karena beliaunya maksa buat gue cerita. Tau gak Dia ke Bali supaya om sama tante itu percaya kalo kalian mau bulan madu di sana. Bisa-bisanya lo malah nuduh yang aneh-aneh."
"Tapi Dia gak bilang apa-apa tuh."
"Dia bukan gak bilang, tapi gak bisa bilang. Buka mata lo Aryan, Dia itu gak seburuk yang lo pikirin. Kebagusan malah buat orang kayak lo. Duh jadi lupa kan tujuan awal gue nyariin lo. Lo nih suka mancing-mancing emosi dueh."
"Lo sendiri yang ngegas mulu dari tadi."
"Ya abis gue kesel sama lo. Oke sorry deh kalo gue kebawa emosi. Hmm jadi tadi gue nyariin lo karena tadi pagi Dia telpon bilangnya lo gak ada di rumah. Dia khawatir takut lo kenapa-kenapa. Makanya Dia minta tolong supaya gue mastiin lo di sini apa gak?"
"Oh."
"Cuma oh. Subhannallah Bapak Aryan..." Dewi mengusap wajahnya dan hendak beranjak ke meja kerjanya, tapi lengannya di tahan Aryan, "Jadi oleh-olehnya gak mau nih?". Dewi hanya mendengus dan mengambil paper bag di tangan Aryan. "Hehehe makasih."
Aryan tersenyum geli melihat kelakuan sepupu sekaligus sekertarisnya itu. Sementara Dimas yang sejak tadi cuma jadi figuran dalam pembicaraan tadi kembali membuka suara. "Ry, kok gue gak paham sih. Yang kalian omongin itu apaan coba?"
"Kepo. Udah balik ke ruangan lo. Udah jam kerja nih." Aryan berlalu memasuki ruang kerjanya meninggalkan Dimas yang kesal karena merasa diabaikan.
Aryan mendudukan dirinya di kursi kebesarannya. Pikirannya yang sudah tidak fokus sejak semalam semakin bertambah kacau karena ucapan Dewi barusan. Pikirannya kembali teringat akan luka di lengan Dia.
"Hmm, gak papa cuma sempet kegores karena gak hati-hati pas jalan."
Ucapan Dia semalam kembali muncul di pikirannya. "Apa luka itu gara-gara kecelakaan di Bali seperti yang dibilang Dewi." Aryan mengacak rambutnya. Rasanya ingin sekali dia melihat istrinya itu sekarang. Tapi untuk apa dirinya pun tidak tahu. "Argghhh pusing gue. Kenapa semua tentang lo buat gue penasaran. Gue mesti gimana kalo lo terus-terusan baik sama gue."