08 Untuk Pertama Kali

2229 Kata
"Jatuh cinta itu berdua. Berjuangnya juga harus berdua. Jika sendirian, jomblo juga bisa." - Dia ... "Kalian ngomongin apa sih, berisik amat sampe parkiran kedengeran tauk." Degg. Aryan menegang mendengar suara itu barusan. Suara dari orang yang sudah berhasil mengobrak-abrik pikirannya seharian ini. Didongakkan kepala nya menatap seorang perempuan yang sedang berdiri bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal. Dia tampak terkejut mendapati sang suami sedang duduk bersama teman-teman kantornya. "Kenapa ada mas Aryan?"batinnya. Apakah dirinya sedang berhalusinasi melihat suaminya atau memang benar bahwa lelaki yang sedang duduk dan menatap tajam ke arahnya adalah suaminya. "Nah ini Dia. Eh ada dedek Raka juga." sahut Mas Adi. "Lah Rak, kok malah sama Dia? Mana swalayan kesayangan lo? Gak jadi ikut doi?" "Gak usah komen deh bang Ke-vin. Gue bukan status Facebook." ujar Raka manyun membalas pertanyaan yang dilontarkan oleh bang Kevin. "Keknya ada yang udah jadi mantan padahal belum jadian nih." Fadilah menyahut sambil mengedikkan alis sebelah kanannya. Saat Raka ingin membalas, mas Fadilah kembali berujar. "Gak usah direply, gue gak lagi ngetwit kok...Aww sakit bebs." Fadilah menghentikan ucapannya ketika istri disebelahnya mencubit pinggangnya karena menggoda Raka. "Mba Shanash, aku padamu. Mas Fa jinaknya cuma sama istri." seru Raka penuh kemenangan. "Udah dek. Duduk sini." Dia menepuk bahu Raka dan mengajaknya duduk di kursi kosong yang tersisa di sebelah Mas Adi. Dirinya kini persis duduk di hadapan sang suami yang semakin menatapnya dengan sangat garang tapi tampan. "Eh ada Pak Gatta, sama ehm...." Dia menghentikan ucapannya mencoba mencari kalimat yang tepat. Tidak mungkin dirinya menyebut pria di hadapannya ini sebagai suami karena keinginan Aryan yang pernah memintanya untuk pura-pura tidak kenal jika bertemu di tempat umum. "Mereka teman saya Dia. Aryan sama Dimas namanya. Tadi kita gak dapat tempat duduk terus gabung di sini deh." Gatta tersenyum menatap wajah gadis yang diam-diam ia kagumi tersebut. "Oh, selamat malam pak Aryan dan pak Dimas. Saya Ayudia. Panggil saja Dia dan ini Raka. Kita staffnya Pak Gatta." ucap Dia sambil tersenyum sopan ke arah dua laki-laki di hadapannya tersebut. "Selamat malam juga Dia dan Raka. Gak usah formal sama gue. Gue Dimas." Dimas mengulurkan tangan ke arah Raka dan dibalas pemuda itu untuk menyambut uluran tangan Dimas sembari tersenyum. Lalu Dimas berlanjut mengulurkan tangan ke arah Dia, namun Dia hanya membalasnya dengan menangkupkan kedua tangannya di d**a. Dialihkannya pandangan matanya ke arah Aryan yang sejak tadi hanya diam tapi tatapan matanya masih saja tidak mau lepas dari Dia. "Hmm, Bapak sama temennya silahkan lho kalo mau pesen makanan. Kita-kita udah pesen duluan tadi. Di sini semua kopi nya enak. Terus makannya juga enak-enak Pak." Mas Adi menyerahkan buku menu daftar makanan ke hadapan Gatta dan teman-temannya. "Hu'um makanan di sini emang enak-enak. Kayaknya kalian sering ya ke sini?" Dimas kali ini yang bersuara. "Iya pak. Selain tempat dan makannya enak, kebetulan pemilik tempat ini temennya Dia. Yang gak Di?" Mas Adi melemparkan pandangan ke arah Dia yang sedikit lebih pendiam ketimbang biasanya. "Eh iya." jawabnya singkat. "Jadi kayak gini kelakuan Dia di belakang gue. Wajahnya aja yang polos tapi tebar pesona sama cowok-cowok di luar sana. Bilangnya khawatir sama gue tapi nyatanya malah asik ketawa ketiwi sama laki-laki lain. Dasar murahan," maki Aryan dalam hati. Pikirannya sudah diliputi hipotesa sok taunya tentang keburukan Dia. Jujur saja ada sudut hatinya yang merasa tak rela melihat senyum Dia untuk laki-laki lain. Senyum yang berbeda dengan saat tersenyum padanya. Setelah Gatta, Aryan, dan Dimas selesai memesan makanan dan minuman untuk mereka, datanglah beberapa pelayan mengantar pesanan. Di saat bersamaan muncul juga seseorang dengan seragam cafe yang sama datang dengan nampan berisi minuman dan dessert. Diletakkan minuman dan makanan itu di depan Dia. Spontan saja Dia langsung mendongak ke arah laki-laki berseragam cafe itu. "Za, aku gak pesen ini lho." ucap Dia kepada laki-laki yang diketahui bernama Reza. "Ini spesial buat mba Di. Amanat dari mas Axel. Es teh tawar dengan es batu yang banyak dan satu porsi panna cotta. Sudah saya pastikan ini tidak terlalu manis." "Axel? Axel ada di sini?" "Enggak, tapi beberapa hari ini mas Axel terus bertanya apa mba Di kesini atau ndak. Katanya saya disuruh laporan kalo mba kesini." "Kamu dibayar jadi manager atau mata-mata Axel sih Za. Eh tapi makasih ya untuk ini" Dia menunjuk ke arah makanan dan minuman yang diberikan oleh Reza. Laki-laki itu hanya mengulum senyum dan berpamitan kembali ke pekerjaannya. "Siapa sih laki-laki yang namanya Axel ini. Sok banget. Gak tau apa kalo dia itu istri gue." Aryan masih saja mengomel dalam hati. Pikirannya semakin dipenuhi berbagai dugaan dan itu membuatnya semakin tidak nyaman. Ya dirinya memang merasa tak nyaman mendapati istrinya itu di kelilingi banyak cowok yang tidak ia kenal. Apalagi barusan ia mendapati fakta bahwa kemungkinan sahabatnya sendiri menyukai istrinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 19:30 tetapi mereka masih saja asik dengan berbagai obrolan. Tak jarang terdengar suara tawa dari mereka. Sementara suasana cafe semakin ramai dan udara malam yang dingin begitu terasa. Maklum sedang turun hujan deras di luar. Dia kembali mengesap es teh tawarnya. Sesekali ia kunyah bongkahan es batu itu seolah sedang mengunyah makanan ringan. "Dih ngilu gue Di ngliat lo ngunyah es batu mulu. Dingin-dingin gini sempet-sempetnya minum es." Bang kevin bersuara sambil menggelengkan kepalanya. "Bang Ke-vin lemah" Dia tertawa kecil. "Kayaknya sekarang pertemanan kita sudah berada pada titik dimana aku jadi saksi pergeseran kalian dari yang suka minum es beralih ke minuman hangat. Aku berteman dengan orang-orang tua nih..hahahha." Dia kembali tertawa dengan sumringah. "Dia cantik. Sangat cantik ketika tertawa." batin Aryan. "Eiitsss Raka masih muda ya mba." "Kamu mah masih anak kecil dek." Kini giliran Mas Bams yang menyahut. "Halah, mana ada anak kecil tapi hobinya cinta-cintaan mulu." timpal Mas Fadilah. "Iish, mas Fa nih. Gue lagi males bahas cinta-cintaan." "Males bahas tapi dari tadi gue liat lo nge-stalk doi mulu. Udah deh dedek Rak sepatu. Gak usah stalk. Stalk itu cuma nyari penyakit ke diri sendiri." Mereka serempak tertawa melihat Raka yang semakin manyun dan mengerucutkan bibir tanda protes tidak suka. "Aku kasih tau ya dedek Raka Rahadian yang mukanya gak seganteng Reza Rahadian....Jatuh cinta itu mesti berdua. Berjuangnya juga berdua. Kalo sendiri mah jomblo juga bisa." "Aisssh mba Diaaaaaaa jangan ikutan ngledekin dong." Raka semakin menampakkan ekspresi sebal tapi justru terlihat menggemaskan bagi yang melihatnya. "Eh kita main batu gunting kertas yok. Yang kalah nyanyi di depan. Gimana?" Bang Kevin berujar sembari memainkan alisnya naik turun. "Oke, pak gatta sama temen-temen nya ikutan juga dong. Biar makin rame." sahut Mas Adi. "Eh gue gak bisa nyanyi lho. Jangan ditanya dua orang ini apalagi. Hadeeh muka doang mereka oke. Skill nyanyi mah noob." balas Dimas yang berhasil mendapatkan pelototan dari Gatta dan Aryan. "Gapapa kita-kita juga gak ada yang suaranya bagus. Yuk ah mulai batu...kertas...gunting....."Mas Adi mulai memberikan instruksi. "Yesss gue menang...." Raka tersenyum senang ketika ia, Mas Bams, Bang Kevin, dan Gatta masuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman. Eh salah golongan yang menang sehingga menyisakan Dia, Mas Fadilah, Mas Adi, Dimas serta Aryan untuk kembali suit gunting batu kertas. Sementara ibu negara dari Mas Bams dan Mas Fadilah memilih untuk tidak ikutan. Sudah diwakilkan sama sang suami katanya. "Wahaha syukurlah gue gak harus nyanyi. Iya gak Ry." "Jangan sampe lo nyanyi. Bisa budeg tujuh hari tujuh malam gue Dim." "Etssdah sadis bener sih mas Bos." Percakapan antara Dimas dan Aryan sukses membuat yang lainnya tergelak. Sementara Mas Fadilah, Dia dan Mas Adi hanya saling berpandangan. Setelah melakukan beberapa kali suit tersisalah mereka bertiga yang artinya mereka sudah kalah dan harus menyanyi ke depan. "Kalian nyanyi lagu yang syahdu dong. Hujan, kopi dan lagu kenangan. Biar gue bisa bikin story kek anak-anak indie gitu." Raka berujar dengan penuh semangat. "Ya elah Rak gaya-gayaan kek anak indie. Denger lagu Pakde Didi aja auto joget ambyar." balas Mas Adi mencibir Raka. "Subhannallah Raka kenapa punya temen kalo ngomong suka gak pake akhlak sih." "Kalian berdua aja yang nyanyi, ntar gue iringin pake gitar. Oke." ucap Mas Fadilah sambil beranjak dari kursi dan mulai berjalan ke arah tempat band cafe yang sedang bernyanyi menghibur pengunjung. Sesampainya di tempat mereka akan bernyanyi. Mas Fadilah sempat membisikan sesuatu ke para crew band cafe bahwa mereka akan menyumbang lagu dan diangguki oleh mereka. "Oke, malam ini kita kedatangan tamu istimewa yang akan bernyanyi di sini untuk menghibur kita semua." ucap sang vocalis band cafe itu. "Gak usah basa basi lama, kita tampilkan saja mereka." lanjutnya. "Selamat malam semua. Kita akan menyanyikan sebuah lagu untuk kalian semua. Semoga saja kalian suka." ucap Mas Adi di depan seluruh pengunjung cafe. "Ini kami persembahkan spesial untuk mba dan mas yang sedang duduk di ujung sana. Judulnya Waktu Yang Salah." Mas Adi mulai mengkode mas Fadilah yang sudah mulai memainkan jemarinya di senar-senar gitar diiringi riuh tepuk tangan dari pengunjung cafe. [Mas Adi part] Jangan tanyakan perasaanku Jika kau pun tak bisa beralih Dari masa lalu yang menghantuimu Karena sungguh ini tidak adil [Dia part] Bukan maksudku menyakitimu Namun tak mudah 'tuk melupakan Cerita panjang yang pernah aku lalui Tolong yakinkan saja raguku [Mas Adi part] Pergi saja engkau pergi dariku Biar kubunuh perasaan untukmu Meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka [Dia part] Beri kisah kita sedikit waktu Semesta mengirim dirimu untukku Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah [Mas Adi part] Hidup memang sebuah pilihan Tapi hati bukan 'tuk dipilih, oh Bila hanya setengah dirimu hadir Dan setengah lagi untuk dia .. Riuh tepuk tangan dari pengunjung cafe mulai beralih menjadi tatapan-tatapan takjud ketika suara Dia dan Mas Adi berpadu bersama petikan gitar Mas Fadilah. Semua terhanyut menjadi satu dengan suasana cafe yang romantis. Tak jarang mereka mulai mengabadikan moment itu ke dalam camera mereka, termasuk Raka yang senyum-senyum baper sendirian. "Gila, mereka keren parah sih. Besok-besok kalo hotel ada acara panggil mereka aja Ry." Dimas berujar penuh semangat. Aryan hanya terdiam. Dadanya terasa sesak melihat istrinya. Ini pertama kali dirinya melihat Dia dengan sosok yang berbeda. Dia yang lebih banyak tertawa dan berbicara ketimbang saat bersamanya. Eh memang kapan mereka pernah bersama. Kecerdasan dari lahir Aryan mulai patut dipertanyakan. "Eh tapi mereka berdua itu gak pacaran atau punya hubungan istimewa ya? Tapi kok chemistry mereka pas nyanyi asli kek lagi curhat gitu." Dimas mengedarkan pandangan ke lainnya mencoba mencari jawaban. Aryan sedikit tersentak mendengar pertanyaan Dimas. Rasa ingin tahunya membuncah. "Enggak lah." "Aiissh Gatta gercep banget sih jawabnya. Ini lo ngomong gini bukan karena cemburu kan ya." Dimas mengerling jahil ke arah Gatta. "Apasih Dim. Gue gak cemburu. Toh emang gue tau mereka gak ada hubungan apa-apa kok." "Cieee pak bos beneran naksir mba Dia ya?" Raka tidak kalah jahil. "Ecieeeee" sahut bang Kevin dan mas Bams bersamaan. "Bukan begitu ya. Lagian kalo semisal. Ini semisal ya. Kalo gue naksir Dia, kenapa? Dia single, gue juga. So, gak salah kan? Tapi ini cuma semisal aja lho." "Iya percaya kok Gat, lo naksir Dia. Semisal lho ini." Dimas semakin semangat menggoda Gatta tanpa tau bahwa seseorang di dekatnya kini semakin merasa tidak nyaman. "Tapi saran nih, pastiin lagi deh Dia itu single beneran apa gak? Gue kek liat doi pake cincin lho di jari manisnya. Siapa tau itu bukan cincin biasa. Eh lo kan gak naksir beneran yak. Jadi woless aja Gat." "Enak aja suka sama istri gue. Dia gak single. Dia milik gue. Gak bisa nih dibiarin lama-lama. Gue gak suka milik gue disentuh orang lain." umpat Aryan dalam hati. Dirinya sudah tidak bisa menahan diri lagi. Suasana hatinya semakin buruk. "Arghh gue kok uring-uringan gini sih. Gak mungkin gue cemburu sama Gatta kan. Bego Ar, lho gak mungkin suka sama istri lo." Aryan masih terus memaki dirinya sementara yang lain kembali fokus ke penampilan mereka bertiga. .. [Mas Adi part] Pergi saja engkau pergi dariku Biar kubunuh perasaan untukmu Meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka [Dia part] Beri kisah kita sedikit waktu Semesta mengirim dirimu untukku Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah [Dia part] Bukan ini yang ku mau [Mas Adi part] Lalu untuk apa kau datang? [Dia part] Rindu tak bisa diatur [Mas Adi part] Kita tak pernah mengerti [Dia part] Kau dan aku menyakitkan [Mas Adi dan Dia] Pergi saja engkau pergi dariku Biar kubunuh perasaan untukmu Meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka Beri kisah kita sedikit waktu Semesta mengirim dirimu untukku Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah Di waktu yang salah (Original song by Fiersa Bersari feat Tantri - Waktu Yang Salah Prokkk...prokkk.. penampilan mereka diakhiri dengan sambutan hangat dari pengunjung cafe. Mas Fadilah dan Mas Adi kembali ke tempat duduk mereka, sementara Dia pamit ijin ke toilet. "Wuiihh, ajib banget kalian. Raka sampe terharu tuh..." goda mas Bams sambil menunjuk Raka yang sudah sibuk dengan social medianya. "Kita gituhhh.." seru mas Adi. "Wah keren lho kalian. Besok-besok kalian tampil di hotel kita aja gak Ry?" Dimas menyenggol Aryan yang sejak tadi diam. Bukan menjawab pertanyaan Dimas, dirinya justru beranjak dari tempat duduknya. "Woi Ry, mau kemana sih? Ditanyain malah pergi." cerocos Dimas yang sepertinya tidak mengerti jika suasana hati sahabat sekaligus bosnya itu tidak sedang baik-baik saja. "Toilet." Aryan menjawab dengan singkat serta bergegas berlalu dari tempat duduknya. ... "Mas Aryan.. Ngapain di sini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN