Radio

1478 Kata
POV: Andini Tring tring. Suara bel yang tergantung di bagian atas pintu menyambutku saat melangkah masuk ke dalam cafetaria favorit anak-anak muda ini. Selain karena ruangan yang full AC dan free Wi-Fi, dekorasinya juga bagus, nuansa klasik, tapi tetap terlihat elegan. Tawa kecil sekumpulan anak-anak muda yang tengah asyik mengobrol di salah satu meja terdengar. Wajah-wajah riang yang menghabiskan waktu dengan hal-hal yang menurutnya menyenangkan, tak ada beban. Beberapa dari mereka bahkan masih menggunakan seragam sekolah. Di sudut yang lain, mataku menangkap beberapa pasang kekasih yang duduk di kursi khusus dua orang dengan sebuah meja kecil bundar di hadapannya. Saling menatap, berbicara pelan dengan sunggingan senyum di bibir. Aduhai, hari-hari mereka pasti terasa indah sekali. Sudah cukup lama aku tidak mampir ke sini. Mungkin terakhir dua atau tiga bulan yang lalu. Ya, alasannya jelas, selain karena tidak ada waktu, harga menu-menu di sini juga sudah tidak sesuai dengan kantongku. Dari pada membayar secangkir kopi dengan harga sekilo beras, lebih baik aku minum di rumah saja. Meja-meja disusun membentuk huruf U, di bagian depan sedikit agak ke tengah, terdapat sebuah panggung kecil, lengkap dengan peralatan musik. Aku memandang ke seluruh penjuru, mencari sosok yang ingin kutemui di sini. Di salah satu meja itu, mataku menangkap seorang gadis manis berwajah tembam. Di depannya terhidang secangkir minuman yang masih mengepul. Itu pasti cokelat panas, minuman kesukaannya. "Hei, sini!" Ia terlihat sumringah begitu tau aku sudah datang, tangannya melambai-lambai. "Aaaaa! Kangeen!" Suci memeluk tubuhku erat. Aroma parfumnya tercium, wangi sekali. Aku jadi minder dengan badanku yang masih bau keringat. "Udah nunggu lama ya, Ci?" "Iya, tau!" Tiba-tiba wajahnya berubah cemberut dengan bibir dimonyongkan. "Udah nunggu seabad rasanya. Aku kira kamu ga jadi datang." Aku terkekeh melihat ekspresinya. "Kalau sudah janji, pasti kupenuhi." "Maaf ya, aku belum berani main ke rumahmu lagi," ujarnya, menunduk. "Ayahmu masih marah banget sama aku, ya?" Aku menghela napas. "Dari dulu kan aku udah bilang, Ci. Ayah udah maafin kamu, kamunya aja yang masih ngerasa bersalah terus. Ayahku bahkan mungkin udah lupa sama kejadian itu." "Beneran?" Ia menatapku. Aku menyentuh ujung jari sahabatku itu. "Beneran. Kamu main aja ke rumahku." Kami pernah mengalami suatu kejadian tidak mengenakkan. Semua orang menyalahkan dia, termasuk ayahku. Padahal aku tau, itu adalah salah kami berdua. "Oke deh." Ia tersenyum. Obrolan dua orang sahabat yang lama tak bertemu mengalir begitu saja. Mulai dari hal-hal sederhana dan lucu yang mengundang tawa, hingga hal-hal berat yang layak untuk dibagi. Bersamanya, sejenak aku bisa melupakan beban yang menumpuk di pundak. Tertawa lepas, berhaha-hihi sekenanya. Aduhai. Seandainya aku bisa sering-sering seperti ini. *** Aku bermimpi aneh malam ini, mimpi yang belum pernah kualami sebelumnya. Pemandangan tanah merah yang basah terkena air hujan, seorang gadis kecil yang duduk bersimpuh di atasnya, dan seorang anak laki-laki yang mengintip di balik pepohonan, tak jauh dari sana. Sebuah gundukan kecil tanah merah, seperti kuburan baru. Entah itu kuburan apa? Terlalu kecil untuk ukuran manusia. Anak laki-laki itu ingin berlari mendekat, tapi langkahnya terlihat ragu. Tangan kanannya memegang tas hitam yang diangkat tinggi melindungi kepala, lalu di tangan kirinya terlihat sebuah payung kecil berwarna biru muda yang belum terkembang. Ia sesekali menoleh ke belakang, ke arah beberapa orang anak laki-laki lainnya yang berlari menghindari hujan. Aku terbangun ketika pagi menjelang. Teringat akan mimpi yang masih terlukis jelas di ingatan. Ah, pemandangan itu mirip seperti kejadian ketika aku sedang menguburkan di Manis, kucing kesayangan yang mati keracunan. Ketika itu aku merasa begitu sedih. Si Manis sudah kurawat sejak masih bayi. Ia kutemukan bersama induknya di tengah jalan, ketika pulang sekolah. Induknya mati tergilas mobil, meninggalkan ia yang mengeong-ngeong kebingungan, seolah-olah menjerit-jerit mencari pertolongan. Anak kucing berbulu putih-hitam itu kupungut dan kubawa pulang. Namun, sayang, belum genap setahun usianya, kucingku tiba-tiba muntah-muntah darah. Saat dibawa ke dokter, katanya keracunan, nyawanya tidak tertolong. Aku ingat betul kejadian hari itu. Hujan turun dengan begitu derasnya ketika tubuh si Manis kubalut dengan kain sebelum kemudian kukuburkan di halaman belakang rumah. Hanya saja, aku tak ingat siapa anak laki-laki yang mengintip dari kejauhan tersebut? Memori tentangnya seolah hilang begitu saja tanpa sisa. Lalu, mengapa alam bawah sadarku masih mengingat wajahnya? Entahlah. Suara kendaraan berlalu lalang mulai terdengar satu-satu dari arah jalan raya di depan rumah. Sekali siang, semakin berisik. Pagi ini tubuhku sudah sedikit lebih segar dari pada tadi malam. Cahaya matahari pagi masuk dengan leluasa ke dalam kamar karena tirai penutup kaca jendela sudah terbuka, pertanda ayah sudah bangun lebih dahulu. Mungkin tadi beliau masuk ke sini untuk kembali mengecek kondisiku. Aaaarrghh. Aku menggeliat, meregangkan otot-otot tangan dan kaki yang terasa pegal sekali. Sendi-sendi juga masih terasa ngilu. Kuputar badan ke kiri dan ke kanan mengeluarkan suara derak di tulang punggung. Hooaaaam. Masih ada sisa-sisa kantuk di pelupuk mata. "Ngojek gak ya, hari ini?" Pertanyaan itu yang pertama kali muncul di benakku. Tentu saja, tak bekerja berarti tidak ada uang masuk. Tak ada uang berarti tidak makan. Sayup-sayup terdengar suara lagu yang tidak asing dari kamar ayah. Ya, seperti biasa, ayah pagi-pagi begini sudah nyetel radio. Ia hobby betul mendengarkan lagu-lagu barat lawas yang biasanya diputar pagi-pagi. Lagu-lagu romantis dari Bryan Adam dan MLTR seolah tak pernah membosankan meski didengar berkali-kali oleh telinganya. Beberapa bulan belakangan, ayah lebih senang mendengar radio. Ia bilang, saat bosan di rumah, mendengar radio bisa membantu menghilangkan suntuk. Berbeda dengan menonton televisi, katanya di radio ia bisa ikut bergabung, merequest lagu-lagu favoritnya, atau sekadar menyapa sang penyiar dan berkirim salam untuk para pendengar yang lain. Usai cuci muka dan gosok gigi, aku menghampiri ayah yang sedang duduk bersandar di kursi santai, tepat di sebelah tempat tidurnya. Ayah tampak kaget, lalu buru-buru mengusap wajahnya. Laki-laki itu menangis lagi. Harus diakui, kalau sudah menyangkut masalah hati, laki-laki dan perempuan seperti tidak ada bedanya. Apalagi ketika kehilangan orang-orang terkasih. Air kata tak dapat dibendung lagi. "Dini, udah bangun ternyata. Gimana? Udah mendingan badannya?" Bibir ayah merekah, melontarkan senyum, walau bagiku itu terlihat memilukan. "Udah dong, Yah." Aku memasang wajah ceria, kuusir jauh-jauh atmosfer kesedihan di ruangan ini. "Sarapan apa nih kita, Yah? Mau katupek gulai paku? Atau lontong gulai cubadak?" Kuberikan opsi sarapan terlezat yang ada disekitaran sini. Raut wajahnya mulai berubah. "Ayah mau bubur hitam," katanya. Bayangan menu sarapan berbahan pulut hitam dengan santan itu muncul di pikiran, membuatku menelan ludah seketika. "Oke. Andini keluar sebentar yaa." Aku langsung ke depan, mengeluarkan motor matic kesayangan, memanaskan mesinnya sebentar, lalu berangkat ke jalan utama kota. *** "Tidak boleh!" Ayah berkata tegas saat aku bilang tetap mau ngojek siang ini. "Kamu istirahat dulu sampai benar-benar pulih. Kalau nanti makin parah, malah makin susah, Dini." Kalau sudah begini, mau bagaimana pun membujuknya, keputusan ayah tetap tidak akan berubah. Alhasil, siang ini aku tetap berada di rumah. Kuliah masih libur semester selama kurang-lebih sebulan ke depan, tidak ada yang bisa dilakukan selain bersantai. Ayah sudah kembali ke kamarnya untuk beristirahat, meninggalkanku sendiri di ruang tengah. Sebuah radio yang ada di atas meja tiba-tiba saja menarik perhatianku. "Apa sih serunya mendengarkan radio?" gumamku. Saat kutekan tombol powernya, terdengar suara seorang penyiar laki-laki di sana. "102,9 Gema FM. Bareng Iqbal Maulana di ajang All 'bout Memori." Kusimak sebentar kata demi kata yang dilontarkan sang penyiar. Kemudian, aku semakin tertarik ketika mendengar ia mengangkat tema hujan dan kenangan. "Well, seperti biasa di ajang ini, Iqbal ngasih kesempatan buat sahabat Gema yang mau ikut ber-atensi di sini, bisa langsung aja kirimkan pesan ke Inbox f*******: kita ya," ujarnya sang Penyiar dengan tempo cepat tanpa ada satu pun kata yang salah sebut. Kalimat yang terucap dalam bahasa tutur dari lisan sang penyiar begitu enak didengar. Kata-katanya mengalir begitu saja, seolah sudah paham betul kalimat apa yang akan menjadi penyambut setiap kata yang sudah keluar. Di beberapa waktu juga diselipkan candaan-candaan ringan yang mengundang senyum. Terdengar berkonsep, tapi tidak seperti membaca. Apalagi ditambah dengan vocal suaranya yang renyah dan terasa memanjakan telinga. Satu hal lagi yang membuatku kagum adalah cara penyiar mengaturnya perpindahan dari voice ke lagu. Ia seolah-olah paham di mana harus mulai dan di mana harus berhentilah berbicara. Jeda iklan yang diputar juga diselingi dengan lagu-lagu yang enak didengar, hal ini membuat pendengar tidak bosan menyimaknya. "Boleh juga," gumamku. Setelah beberapa saat hanya diam dan menyimak saja, akhirnya aku memutuskan untuk ikut mengirimkan pesan. Kucari nama sss radio yang bernama Gema FM tersebut lalu mengirimkan pesan ke Inbox-nya. Pembahasan tentang hujan tentu saja membuatku sangat tertarik. Kukirimkan pesan berisi segala sesuatu yang kuketahi tentang hujan ke sana. Berikut juga hubungan antara hujan dan kenangan yang sedari tadi dipertanyakan oleh penyiar yang bernama Iqbal tersebut. Ada rasa senang tersendiri dan perasaan terhibur dalam hati ketika pesan yang kukirimkan dibacakan di Radio oleh sang penyiar. Bahkan terkadang membuat bibirku spontan senyum-senyum sendiri dibuatnya. Apalagi ketika ada pendengar lain yang ikut merespon, menjawab tulisanku, atau sekadar mengirim salam kenal dari jauh. "Oh, jadi ini yang membuat ayah begitu terhibur mendengar radio. Ternyata seru juga," gumamku lagi. Sepertinya setelah ini, aku akan lebih sering mendengar radio.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN