Gadis Yang Selalu Riang

1373 Kata
POV: Andini Hujan. Aku tak mengerti mengapa hujan memiliki keterkaitan unik dengan hidupku. Hampir semua hal-hal penting yang terjadi, selalu disertai hujan. Baik itu momen menyenangkan, hingga yang paling menyedihkan sekalipun. Dulu sekali, Dini kecil sering kali terserang demam karena bermain hujan-hujanan. Meski sudah berkali-kali diingatkan, tetap saja aku tak menggubris. Karenanya, hampir setiap bulan, selalu langganan pada bidan atau dokter spesialis anak. Demam, flu, batuk, dan meriang sudah menjadi makanan sehari-hari. Di bawah hujan, aku merasa begitu tenang. Tetesan demi tetesan yang jatuh ke ubun-ubun bagiku terasa seperti belaian alam yang membuat tubuh terasa nyaman. Belum lagi aroma tanah basah ketika hujan. Seolah-olah menjadi candu, ingin rasanya setiap saat menghirup aroma itu. Sang Petrichor. Dari kecil, bertahun-tahun yang lalu, hingga sekarang. *** Aku gemetar, menahan dingin yang masih saja singgah di sekujur badan, padahal pakaian tebal sudah terlilit rapi menyembunyikan hampir seluruh permukaan badanku. Selimut berbulu juga sudah melapisi sebagai penghalang pergantian udara di tubuh. "Bisa-bisanya kamu lupa, Dini! M-mantel itu adalah hal wajib yang harus selalu siap sedia kamu bawa. Apalagi di cuaca yang sedang tidak jelas seperti sekarang ini!" Ayah belum juga lelah menghujaniku dengan berbagai macam omelannya. Kucoba untuk tak menghiraukan, juga kualihkan pada perbincangan lain. "Teh hangat ini sedap sekali ya, Yah, kontras sama cuacanya," ucapku sembari mengangkat gelas bening bertangkai, menunjukkan untuk sekadar memamerkan pada Ayah. Raut wajah Ayah masih saja sama, ia tidak tersenyum, malah menatap lekat wajahku dengan raut khawatir yang teramat sangat. Ah, Ayah, selalu saja berlebihan saat aku seperti ini. Aku memang salah, teledor. Sore kemarin, mantel yang masih basah karena baru saja dipakai, kugantung di jemuran belakang rumah. Paginya, saat berangkat bekerja, aku lupa memasukkan benda penting tersebut ke bawah jok motor. Alhasil, saat sore hari turun hujan, aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Sebenarnya tadi sempat berteduh sejenak, tapi mengingat hari semakin gelap, dan aku khawatir ayah sendirian di rumah tanpa makanan, aku buru-buru pulang dengan membawa dua bungkus nasi yang sudah kubeli sebelumnya. "Sini!" Ayah meraih kedua tanganku dengan telapak tangannya yang juga masih belum begitu bertenaga. Kemudian, ia menempelkan punggung tangan kanannya tepat di dahiku, tangan kurus itu terasa dingin. "Y-ya ampun, Dini!" Ayah tersentak mendapati suhu badanku yang melebihi normal. Bergegas, dengan segala keterbatasan, Ayah bergerak ke ruangan lain dengan tergesa-gesa. "Ayah, mau ke mana?" Aku masih khawatir dengan gerakan kakinya yang masih sedikit kaku, belum sempurna. "J-jangan coba-coba beranjak," larangnya lagi saat melihatku menyingkapkan selimut lembut nan tebal itu. Aku berpasrah, mengurungkan niat dan tetap berada di atas ranjang, menunggu. "Ayah, hati-hati jalannya, jangan buru-buru begitu. Nanti jatuh, kepeleset lagi." Sekarang entah siapa yang tengah mengkhawatirkan siapa. Ayah menghampiri tempat tidurku lagi, dengan sebuah kotak obat di tangannya. Ia menyuapi sebutir pil paracetamol 500 gram ke mulutku, lalu memberi segelas air putih hangat. Wajahnya yang teduh semakin jelas dapat kupandang. Namun, tak sanggup lama-lama aku menatapnya karena buliran bening itu mulai terlihat menumpuk di kedua sudut matanya. "M-maafkan Ayah, D-dini." Sudah kuduga. Pasti kata itu yang akan terlontar dari lisan Ayah, ini bukan kali pertama ia menyalahkan diri sendiri akan semua yang menimpa kami akhir-akhir ini. Aku pura-pura tidak mendengarnya. "M-maafkan Ayah," ucapnya lagi dengan terbata, berbarengan dengan sedu-sedan tangis. Namun, kali ini aku tak sanggup untuk mengabaikannya karena Ayah telah mendaratkan pelukan hangatnya di tubuhku. Erat sekali. Semenjak kepergian Bunda, Ayah selalu bersikap seperti ini. Menyalahkan diri atas setiap apa yang terjadi kepadaku. Sekecil apapun itu. Terlebih, ia sangat terpukul dan masih saja sulit menerima bahwa kini harus akulah yang menjadi tulang punggung keluarga, meski nyatanya kita hanya hidup berdua. "Masa super hero bisa nangis, sih," candaku. Kutepuk-tepuk pundak Ayah yang tak lagi kekar karena perlahan terkikis oleh rasa sakit yang dideritanya. "Udah, Yah. Dini gak apa-apa kok, cuma meriang biasa, kelamaan hujan-hujanan tadi." Ayah masih saja enggan untuk melepas pelukannya. Perlahan air mata itu terasa hangat, membanjiri pundakku yang dijadikan sandaran oleh Ayah. "K-kamu masih terlalu muda untuk menanggung semua ini, Sayang. M-maaf, ya, kamu berhak benci sama Ayah. Gara-gara Ayah k-kamu harus berubah jadi seperti ini." "Hah?" Aku terkejut mendengar kata-katanya yang tak biasa. "Berubah? Andini berubah gimana, Yah? Andini masih seperti anak Ayah yang dulu," tuturku. Laki-laki itu menyeka matanya yang semakin basah. "A-ayah tau, semenjak kondisi kita berubah jadi seperti ini, k-kamu jadi lebih banyak murung dan diam. Ya, m-mungkin karena kamu kecapean usai seharian bekerja, tapi yang jelas, sosok Andini dulu, gadis yang selalu ceria, s-sudah benar-benar berubah." Kalau dipikir-pikir benar juga. Di luar sana mungkin aku masih bisa tertawa-tawa dengan teman-teman lainnya, atau dengan para penumpang. Namun, setelah sampai di rumah, aku memang lebih banyak diam. Mungkin benar karena capek dan letih usai bekerja. "Ah, tidak kok, Ayah. Kan sering malam-malam, sebelum tidur, kita masih bercanda-canda dan tertawa," kilahku. Ayah hanya tersenyum, mengusap rambutku. "T-terima kasih ya, Nak. Sekali lagi, m-maafkan Ayah. Sekarang istirahat lah." *** Sejak kecil, aku memang terkenal sebagai gadis periang yang selalu tampil ceria di segala situasi. Ruangan yang sepi dan tenang, ketika ada aku akan langsung berubah ramai. Aku terkenal ribut, selalu banyak bicara, suka ingin tau berbagai macam urusan, cerewet dan banyak tanya, bahkan semua orang tau tentang tertawaku yang sangat keras. "Huahahahahaha!" begitulah kira-kira. Tak jarang orang-orang di dekatku spontan memberikan kode jari telunjuk di bibir, menyuruh diam. Ah, mereka tidak tahu saja, bagaimana kondisiku ketika sudah berdiam sendiri di dalam kamar. Berbeda seratus delapan puluh derajat. Ayah dan ibuku adalah sepasang pengusaha sukses. Banyak pasutri lain yang iri pada mereka. Kemampuan keduanya yang bisa dibilang saling melengkapi, membuat usaha apa pun yang digeluti, jarang sekali akan berujung pada kegagalan. Ayahku adalah seorang yang gigih dalam bekerja, ia pantang menyerah, ulet dan tekun. Hanya saja, ayah adalah orang yang sedikit kurang teliti, kadang gegabah dalam pengambilan keputusan, dan yang paling fatal adalah ia terlalu mudah percaya pada orang. Karenanya, sering kali ayah hampir tertipu. Kekurangan itulah yang dilengkapi oleh ibuku. Ibu adalah seorang wanita yang sangat teliti, pintar mengatur keuangan, dan yang paling penting, ia sangat awas terhadap orang-orang baru dan pintar membaca karakter lawan bicara. Di samping itu, ibu juga seseorang yang tegas dan tidak gampang tergoda rayuan. Gabungan dari kedua karakter yang berbeda itulah yang menjadikan mereka pasangan pengusaha yang serasi. Tentunya itu adalah hal yang baik, bukan? Ya, baik dari segi keuangan keluarga kami, tapi tidak untuk anak semata wayang mereka. Tidak untukku. Aku benci saat ayah dan ibu sibuk di kantor. Aku benci harus main sendirian di rumah, benci harus makan sendirian di meja makan yang panjang, paling benci jika sampai malam mereka masih belum pulang sehingga harus tidur sendirian. Aku tak peduli mereka pulang dengan uang banyak, anak kecil sepertiku waktu itu tidak butuh uang, aku hanya butuh perhatian dan kasih sayang orangtua. "Dini, ayah dan ibu masih ada kerjaan, kamu tidur sama bibi dulu yaa. Jangan tunggu ibu pulang, nanti tidurnya kemalaman." Begitu biasanya perkataan ibu via telepon apabila telat pulang. Ketika aku memelas, maka giliran ayah yang akan berkata, "Kamu gak boleh gitu, Dini. Ayah dan ibu kan bekerja buat kita juga, cari yang banyak biar bisa beli mainan yang bagus, biar bisa ngajak kamu jalan-jalan. Buat sekolah kamu juga." Aku tidak setuju, tapi kala itu aku masih terlalu kecil untuk bisa menjawab perkataan mereka. Seorang bibi pengasuh yang dibayar untuk menemaniku di rumah, sama sekali tidak bisa menggantikan mereka. Seorang anak butuh ayah dan ibunya, butuh belaian dan kasih sayang kedua orangtuanya. Tentu saja berbeda dengan apa yang bisa diberikan oleh seorang pengasuh. Sesayang apa pun bibi padaku, tetap saja rasanya berbeda. Tetap saja kebutuhan itu tidak terpenuhi. Begitulah. Ketika sedang larut dalam kesendirian dan kesepian, aku memutuskan menutup wajah dengan bantal dan menangis sendirian. Namun, di hadapan semua orang, aku adalah gadis yang berbeda. Aku adalah Andini, gadis yang selalu riang. Ceklek! Suara pintu terdengar. Aku tersadar dari lamunan masa lalu itu. Buru-buru kupenjamkan mata, pura-pura tidur. Terdengar suara langkah kaki pelan dan tertatih-tatih, mendekat. Itu ayah, mungkin ia hanya ingin mengecek. Terasa tangannya yang dingin meraba keningku. Aku tetap diam dan mengatur napas, agar terlihat benar-benar sudah tidur. Terasa tangan ayah membetulkan posisi selimut hingga menutup tubuhku sampai leher, lalu ia kembali melangkah pergi. Aduhai, laki-laki itu selalu membuatku terenyuh dengan perhatian yang ia berikan. Terima kasih ayah. Aku berjanji, akan kembali seperti Andini, yang ayah kenal. Andini yang selalu riang dan ceria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN