POV: Iqbal
"Kembali lagi di 102,9 Gema FM. Lagu romantis bertemakan rasa rindu yang lagi happening banget membuka sesi kedua kita di ajang "Canda Santai Minggu Pagi" ini. Lagu ini udah lebih dua minggu menempati posisi teratas di tangga list The Most Popular Song. Gak heran, soalnya lagu ini emang keren banget sih, musiknya juga kekinian, ditambah lirik yang dalem, sesuai banget sama selera anak muda jaman now."
Backsound dengan beat medium kuputar.
"Weekend kali ini lembab ya, Guys. Dari pagi tadi hujan gak reda-reda, sampai sekarang masih ada gerimis yang tersisa."
Benar, hampir setiap hari turun hujan, entah itu pagi, siang, sore atau pun malam hari. Walau ini tidak terlalu buruk menurutku, tapi tentu sebagian besar orang akan kesal juga. Terutama mereka yang banyak beraktivitas di luar rumah.
Untungnya, tempat tinggalku yang bisa dibilang dataran tinggi, bukanlah daerah yang rawan banjir.
Hari Minggu pagi jadwal siaranku 3 jam di ajang khusus hiburan yang dikenal dengan C-SMP "Canda Santai Minggu Pagi". Dari pukul delapan pagi, hingga pukul sebelas siang. Di sini, para pendengar diberi kesempatan untuk bergabung via telepon dan juga Inbox di akun f*******: Radio. Mereka bebas untuk berkirim salam, juga memberikan teka-teki lucu, pantun jenaka, rayuan gombal, ataupun hal-hal lain yang dapat mengundang tawa.
Ajang ini adalah salah satu ajang favorit para pendengar. Terutama untuk para remaja yang di akhir pekan sedang libur sekolah.
"Baiklah, kita terima lagi Sobat Gema yang mau bergabung via telepon ya. Kayaknya udah ada yang terhubung nih, langsung aja kita sapa. Hallo! Gema FM!"
"Hallo, Kak!" Terdengar suara laki-laki di headphone-ku dari seberang sana.
"Iyak, Gema FM!?" ujarku dengan semangat.
"Saatnya suara remaja menggema!" Ia menyahut dengan tidak kalah lantang.
"Waahh, semangat banget pagi ini ya, dengan siapa, di mana?"
"Semangat dong, Kak. Hehee. Dengan Randi, di puskot, Kak."
"Oke, Randi. Lagi apa nih pagi-pagi?"
"Masih selimutan nih, Kak. Dingin banget pagi ini. Hahaa. Di sini masih ada gerimis tipis-tipis soalnya, jadi tambah mager."
"Waduuuh, udah jam segini, masih selimutan yaa. Mentang-mentang hari libur. Hahaha." Kami berdua tertawa berbarengan. "Jadi ada teka-teki lucu pagi ini, atau apa nih?"
"Iya, Kak. Ada teka-teki lucu nih, kali aja ada yang bisa jawab."
"Okee." Aku mencoba mendengar dengan serius. "Apa tuh teka-tekinya?"
"Gini. Apa yang kalau kita tutup jadi tongkat, kalau dibuka malah menyerupai terpal?"
Aku mengernyit, mencoba berpikir.
"Waahh, apa ya? Iqbal belum dapat ni jawabannya. Kalau ada di antara Sobat Gema lainnya yang bisa menjawab, langsung chat di inbox f*******: kita yaa."
Begini lah ajang yang kubawakan setiap minggu pagi, mencoba menghibur para remaja yang sedang libur sekolah dengan hal-hal remeh dan lucu untuk sekadar mengendurkan otak yang mungil menegang karena tugas-tugas yang menumpuk selama enam hari belakangan.
Di samping menunggu atensi dari pendengar, tak jarang aku juga menyiapkan bahas lelucon untuk disampaikan. Sekadar memancing para pendengar agar teratur untuk ikut bergabung. Kadang kusiapkan teka-teki yang didapat dari internet, kadang pantun-pantun lucu berasal dari buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan di dekat sini.
"Oh ya, Kak. Sambil nunggu ada yang bisa jawab, aku mau kirim salam, boleh, Kak?" Lelaki itu buka suara lagi.
"Oh, boleh, Randi, silakan. Buat siapa salamnya?"
"Aku mau ngirim salam buat si Gadis Hujan, Kak. Udah lama ya dia gak muncul."
Aku tiba-tiba ikut teringat pada gadis itu. Benar juga, sudah beberapa hari ini ia tak lagi mengirimkan pesan di inbox f*******: radio. Biasanya, paling tidak ia akan mengirimkan pesan pendek sekadar menyapaku dan pendengar lainnya. Dari kemarin sebenarnya sudah ada beberapa orang yang mananya perihal dirinya.
"Oh iya, benar juga ya. Ke mana kah kamu, hai Gadis Hujan? Ayo gabung lagi, banyak yang nyariin nih. Iqbal Maulana salah satunya." Aku berbicara seolah yakin saat itu orang yang dituju sedang mendengarkan.
"Iya, Kak. Salam spesial deh ya buat si Gadis Hujan, kalau dia lagi monitor. Gara-gara dia, aku jadi tau banyak hal tentang hujan. Banyak kayak istilah-istilah baru gitu, yang pertama kali aku dengar dari dia. Keren yaa, jadi penasaran, gimana sih orangnya? Hehehehe."
"Okey, Randi. Semoga do'i denger yaa. Nah, buat teka-tekinya udah ada beberapa orang yang ngirim jawaban nih. Ditutup jadi tongkat, dibuka menyerupai terpal, apa itu spanduk?"
"Salah, Kak!"
"Topi sulap?"
"Masih salah."
"Waahhh, yang ngirim di inbox, salah semua nih. Ayo, Sobat Gema, ada lagi yang bisa jawab?"
"Gimana, Kak? Nyerah aja?"
"Waduuh, iya nih kayaknya gak ada lagi yang bisa jawab. Nyerah aja kali yaa."
Tiba-tiba sebuah pesan kembali masuk di aplikasi f*******: mobile, dan tanpa diduga-duga, itu adalah si gadis hujan.
"Jawabannya adalah Payung. Ditutup seperti tongkat, dibuka menyerupai terpal." Kubacakan pesan yang ditulisnya.
"Waahh, benar, kok bisa tau ya," jawab Randi dengan nada kecewa.
Si Gadis Hujan yang ditunggu-tunggu setelah beberapa hari menghilang, akhirnya muncul secara tiba-tiba dengan jawabannya.
***
Sebuah lagu kembali kuputar sebagai pembukaan di sesi terakhir ajang ini. Waktu tersisa lima belas menit lagi untuk closing statement.
Si Gadis Hujan tiba-tiba menjadi primadona di kalangan pendengar Radio Gema FM, pagi ini. Setiap pendengar yang bergabung, selalu mengirim salam untuknya. Bahkan tidak jarang dari mereka yang bersikeras meminta kontaknya, walau tentu saja tak bisa kuberikan karena itu adalah privasi yang harus dijaga.
Memang benar, semakin seseorang itu menutupi identitasnya, malah sejak banyak saja orang yang penasaran.
Ting! Sebuah pesan kembali masuk di inbox f*******: Radio.
Ternyata itu dia, dengan username "Downpour".
"Kak, dari tadi aku udah ngejawab pertanyaan dari teman-teman yang lain. Sekarang, aku juga punya pertanyaan." Begitu tulisnya.
Masih ada tulisan "Sedang Mengetik" di bawah username-nya, aku menunggu.
"Aku sedang berjalan di atas lumpur yang basah seusai hujan, tapi ketika aku menoleh ke belakang tak satu pun jejak kakiku yang terlihat. Kenapa?"
Aku mengernyitkan kening, membaca dua kali ketikannya. Wah ini lebih rumit lagi dari beberapa teka-teki yang diberikan pendengar lain sedari tadi.
Apakah ada yang bisa menjawab?
***
"Baik, Sobat Gema. Kita udah di sesi terakhir, tersisa kebersamaan kita di ajang ini sekitar sepuluh menit ke depan. Satu teka-teki terakhir yang diberikan oleh si Gadis Hujan sepertinya belum terpecahkan. Sampai saat ini belum ada inbox yang masuk lagi memberikan jawabannya. Benar-benar tidak ada yang tau ya?"
Sebelumnya, beberapa orang pendengar sempat memberikan jawaban, tapi setelah dikonfirmasi oleh Gadis itu ternyata jawabannya masih salah.
Hingga akhirnya di menit-menit terakhir pun, tetap tidak terjawab.
"Sobat Gema di mana pun berada, seperti kita udah di penghujung ajang yaa. Karena tidak ada jawaban yang benar, sepertinya kita dengan berat hati harus menyerah. Silakan Downpour beritahu jawaban yang benarnya apa? Agar kami tidak mati penasaran. Hahaha."
Aku masih menunggu hingga detik-detik terakhir pergantian jam, tapi gadis itu tidak merespon lagi. Terpaksa ajang Canda Santai Minggu Pagi kututup begitu saja.
"Terima kasih buat kalian yang udah ikut bergabung selama kurang lebih tiga jam ini. Mohon maaf kalau ada telpon yang telat ngangkat, atau chat yang kelewatan gak kebaca. Harap maklum ya, soalnya Iqbal Maulana di sini juga hanya manusia biasa yang tak lepas dari salah dan khilaf. Sampai jumpa di lain waktu. Bye!" Kuputar sebuah lagu penutup.
Tidak hanya para pendengar lain yang penasaran akan jawaban dari teka-teki yang gadis itu berikan, tapi aku juga.
Tak tahan lagi, akhirnya kukirimkan balasan ke inbox Facebooknya tadi.
"Hei, apa jawaban dari teka-tekinya? Pendengar yang lain pada penasaran tuh." Kukirimkan padanya.
Dia membalas dengan sebuah emoticon tertawa. Lalu mengetik di bawahnya, "Pendengar lain yang penasaran, atau Kakak sendiri?" Ditambah lagi dengan sederet emoticon tertawa di bawah ketikan tersebut.
Aku jengkel sekali membacanya, tak kubalas lagi.
Sesaat kemudian, sebelum aplikasi f*******: kututup, terlihat dia kembali mengetik, "Sabar yaa, aku akan berikan jawabannya minggu depan di ajang yang sama."
Sial!
***
"Iqbal pulang!" ucapku pelan setelah melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah yang tak ada siapa-siapa. Tidak ada sahutan, tentu saja. Kalaupun ada, tentu akan jadi menyeramkan.
Ya, hal ini selalu kulakukan, setidaknya sebagai bentuk usaha mengusir sepi. Hitung-hitung, menghilangkan rasa kesepian, seolah-olah ada yang menyambut saat aku pulang ke rumah.
"Selamat datang, Iqbal."
"Eh, anak ibu sudah pulang!"
"Sini, Bal. Makan sama Ayah!"
Hahaha. Sahutan-sahutan demikian, masih saja terngiang-ngiang di telingaku. Walaupun selamanya, tak akan pernah kudengar lagi.
Di rumah kontrakan kecil ini. Dengan sebuah kamar tidur, sebuah kamar mandi dan bagian belakang sebagai dapur yang nyaris tidak pernah dipakai untuk memasak. Aku tinggal sendiri beberapa tahun belakangan.
Jangan heran. Seorang pemuda sakit-sakitan tinggal sendirian di kontrakan. Ketika pusing hebat hingga muntah-muntah seusai cuci darah, aku hadapi sendiri di ruangan ini. Saat menggigil karena demam saat akses jarum fistula infeksi, aku berjuang sendiri mencari-cari paracetamol untuk peredanya. Jika tidak melihat sendiri, mungkin tidak akan ada yang percaya.
Tidak, aku tidak menyalahkan siapa-siapa atas keadaan ini. Aku bisa saja tinggal dengan keluarga mendiang ayah, ataupun keluarga mendiang ibu. Mereka tidak akan menolak jika aku menumpang di sana. Rumah nenek yang dulu sempat kutinggali juga ada untuk ditempati, tak ada satu pun yang menunggui, terbengkalai semenjak nenek tiada.
Namun, bukan aku namanya, jika harus menggantungkan hidup pada orang lain.
Sebisa mungkin, aku akan memikul apa yang pundakku masih sanggup memikulnya. Seberat-beratnya beban ini, sesakit-sakitnya cobaan yang kualami, biarlah kutanggung seorang diri. Jangan salah, pundakku jauh lebih kuat dari pada sebagian besar orang.
Aku selalu percaya, beratnya beban yang dipikul itu tergantung seberapa kuat pundak pemikulnya.