Hemodialisa

1224 Kata
POV: Iqbal "Sepertinya kamu harus evaluasi berat kering ya, Iqbal. Kalau cuma naik sedikit, tapi tetap terlihat edema di kaki dan tangan, bisa jadi berat kering kamu yang turun, sisanya cairan yang menumpuk di dalam tubuh. Di HD —Hemodialisa— berikutnya, dilebihin UV-Goals-nya setengah liter ya. Bilang aja ke petugas yang masang Vistula." Dokter Zia menjelaskan panjang lebar tentang kondisi terbaru tubuhku sewaktu visiting. Aku mengangguk paham. Dokter Zia adalah salah satu dokter di ruangan Hemodialisa. Tentunya dokter yang bertugas di ruangan ini adalah dokter khusus yang telah lulus pelatihan tertentu. Beliau merupakan dokter favoritku di sini. Bukan karena apa-apa, hanya saja, dokter muda itu menurutku sangat telaten dan begitu perhatian pada pasien-pasiennya. Kualitas hidup pasien-pasiennya benar-benar menjadi perhatian utama. Sehingga, jika ada salah satu pasien yang berada di bawah pengawasannya nge-drop, ia akan benar-benar bertanggung jawab dan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk meningkatkan kembali kualitas hidup mereka. "Ada berasa sesak napas? Atau ada keluhan lain?" "Tidak sesak napas sih, Dok, tapi kalau tidur menelentang ada rasa menyesak di bagian d**a, dekat ulu hati." "Nah, itu salah satu tanda-tanda ada cairan yang menumpuk di tubuh. Cairan itu akan mencari rongga-rongga yang ada di tubuh kamu untuk menetap. Kalau udah terlalu banyak, bisa mengisi rongga perut sehingga terjadi Ascites. Lama-lama, paru-paru kamu juga bisa terendam cairan kalau dibiarkan, kalau sudah sampai ke jantung akan semakin berbahaya." Aku menelan ludah, ngeri juga. "Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?" "Diet cairan yaa. Tahan minum. Nanti saya resepkan juga obat untuk menaikkan kadar albumin di darah. Dari hasil lab, kamu juga hipoalbuminemia. Selain bisa bikin kurang darah, ini juga yang menyebabkan semakin rentan terkena Ascites." "Iya, Dok." "Jangan iya-iya aja. Ini masih edema, artinya kamu masih banyak minum nih." Aku hanya menyengir mendengar perkataannya yang terdengar sedikit galak. Sebagai seorang pengidap Gagal Ginjal Kronis, banyak komplikasi lainnya yang bisa mengancamku. Salah satunya Ascites yang merupakan keadaan di mana cairan yang terlalu banyak di dalam tubuh mengisi rongga perut sehingga perut membuncit. Beberapa pasien yang seruangan denganku mengalaminya. Sebuah kondisi yang menurutku tergolong mengerikan, badan kurus dengan perut buncit seperti perempuan hamil tua. Kan tidak nyaman, apalagi aku laki-laki. Dokter Zia meninggalkan bed-ku. "Jangan lupa, diet cairan. Tahan minum!" tuturnya lagi sambil melangkah pergi. Diet cairan adalah hal yang paling penting, sekaligus hal yang paling sulit dilakukan. Setidaknya begitu menurutku. Apalagi dengan profesiku sebagai seorang Announcer atau Penyiar yang notabene harus banyak berbicara. Banyak berbicara itu berbanding lurus dengan rasa haus, seterusnya, rasa haus obatnya hanya satu, minum. Susah sekali rasanya menahan diri untuk tidak meneguk air putih yang ada di dispenser. Seakan-akan air putih itu terasa begitu nikmat. Padahal cuma air putih. Begitulah, kalau udah dilarang, malah jadi pengen. Dasar manusia. Aku harus menahan haus, minum sesedikit mungkin. Ya, tentu saja, karena penderita Gagal Ginjal Kronis, rata-rata memang ginjalnya sudah benar-benar tidak berfungsi, sehingga tidak lagi menghasilkan urin. Sederhananya, pasien cuci darah itu tidak bisa buang air kecil. Begitulah. Karena itu, setiap air yang aku minum akan menumpuk di dalam tubuh. Jika terlalu banyak, maka akan mulai menimbulkan masalah. Awalnya hanya akan terlihat bengkak di kaki, wajah, tangan. Semakin lama perut akan semakin buncit, lalu jika air masuk ke paru-paru, masalahnya akan semakin parah. Sesak napas, dan lain sebagainya. Sebagai seorang pengidap Gagal Ginjal Kronis yang notabene hidupnya bergantung pada ginjal buatan, sebisa mungkin aku harus meningkatkan kualitas hidup sebisa mungkin nyaris seperti orang normal. Kalau bisa, ya, seperti orang normal. Bisa bersosialisasi, bekerja, dan beraktivitas seperti orang-orang yang tidak sakit. Itulah pentingnya menjalani diet yang dianjurkan dokter, berikut obat-obatan yang diresepkan. Karena itulah, seringkali pasien Hemodialisa yang menjalankan diet dengan disiplin, tidak terlihat seperti orang sakit. Mereka tidak ada bedanya dengan orang sehat, kecuali harus bolak-balik ke rumah sakit dua kali seminggu untuk cuci darah. Selain itu, jika dilihat dari segi fisik dan keseharian, mereka baik-baik saja, sama sekali tidak terlihat seperti orang sakit kronis. "Gak bawa bekal hari ini, Iqbal?" Seorang wanita paruh baya yang duduk di samping bed suaminya, tepat di hadapanku bertanya ramah. Aku tersadar dari lamunan yang semakin jauh saja. Kubalas senyumnya, tidak kalah ramah. "Ada, Bu. Masih di tas, belum lapar," jawabku. "Waahh, bapak lahap juga makanannya, hehe," kelakarku. "Iya nih, lagi semangat naikin hemoglobin," jawabnya. Pasangan itu terlihat mesra sekali. Sang istri dengan setia menyuapi suaminya makan bubur ayam. Sang suami pun makan dengan lahap dari tangannya. Rasa sakit di tangan akibat tusukan dua jarum, seakan tidak terasa di wajahnya. Bahagia sekali. Bagaimana denganku? Akankah suatu hari ada seseorang setia berada di sisiku? Menyuapi saat lapar, sekadar meringankan rasa sakit yang kuderita? Ya ampun, andai ... Hus! Aku menepis pikiran liar yang mulai lagi berandai-andai, semakin jauh. Yang benar saja! Di samping pasangan itu, di bed lainnya, kulihat seorang laki-laki tua yang terbaring lemah, mungkin kondisinya sedang tidak baik hari ini. Di sisi kiri dan kanannya, ada anak-anaknya yang setia menunggui sambil sesekali memijat kaki dan tangannya. Tiba-tiba saja, suatu hal muncul di benakku. Laki-laki tua itu mungkin sudah berumur lebih dari tujuh puluh tahun, sedang ia cuci darah baru satu tahun belakangan. Itu artinya, ia sudah menikmati masa sehat selama berpuluh-puluh tahun. Sial! Bagaimana denganku? Mengapa aku terlalu cepat mengidap penyakit ini. Rasanya terlalu singkat masa sehat yang dapat kunikmati. Hus! Aku kembali mengusir pemikiran buruk itu. Ini adalah rutinitas yang harus kulakukan seumur hidup demi mempertahankan eksistensi di dunia ini. Dua kali seminggu, aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalankan proses cuci darah selama kurang lebih lima jam. Ada dua jarum yang bernama fistula melekat di pembuluh darahku selama proses itu. Satu jarum menembus arteri, mengeluarkan darah kotor yang ada di dalam tubuh, lalu mengalirkan ke mesin. Menyusuri selang panjang, menuju dializer, perangkap udara, pengatur suhu, dan lain sebagainya. Satu jarum lagi menusuk pembual vena, sebagai tempat kembali masuknya darah bersih yang sudah selesai dicuci. Inilah proses Hemodialisa atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Cuci Darah". Sebagian orang mungkin akan bertanya, mengapa aku tidak cangkok ginjal? Mencari pendonor, lalu melakukan transplantasi. Haha. Sayangnya, transplantasi itu tidak semudah yang ada di sinetron ataupun drama-drama dalam tayangan televisi dan layar lebar. Butuh proses panjang dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukannya. Walau mungkin biaya operasinya ditanggung oleh asuransi, tapi cek kecocokan segala macam, bagaimana? Setidaknya harus mengumpulkan dana puluhan juta. Kemudian juga pasca operasi. Dengan rutinitas baru yang harus meminum obat untuk menurunkan sistem imun agar ginjal pendopo tidak ditolak oleh tubuh. Hal ini akan membuatku rentan terkena penyakit-penyakit lain. Karena itulah, semakin banyak pertimbangan. Ditambah lagi, tidak ada jaminan, ginjal baru yang dipasang akan bertahan lama. Di samping itu, memangnya siapa yang mau mendonorkan ginjalnya untukku? Haha. *** Aku tak mengerti, entah mengapa tanganku sedikit bergetar saat menekan tulisan "order" di aplikasi ojek online di HP. Ada sebuah harapan yang pelan tapi pasti terucap di batin. Tak ingin mengakui, tapi itu nyata adanya. Beberapa kali kebetulan dengan seorang pengemudi yang sama, menimbulkan gejolak aneh di dalam d**a. Apakah aku tengah berharap supaya dia lagi yang menerima orderanku kali ini? Entahlah. Tring! Tulisan "Sedang menjemput" terlihat di sana, lalu sebuah panggilan masuk. "Halo!" "Iya, halo." "Ini dijemput pas di RSUD ya, Mas?" Huuft. Aku menghembuskan napas kecewa. Kali ini bukan dia. Yang terdengar di sana adalah suara berat, seorang bapak-bapak. "Iya, betul, Pak," jawabku ketus. Sial! Lagi-lagi, entah mengapa, ada sedikit rasa kecewa yang belum benar-benar kumengerti. Bodohnya aku. Lagipula, memangnya ojek online di sekitar sini hanya dia saja?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN