Prolog
"Kamu kenapa sayang?" Riana menutup pelan pintu kamar putranya, lantas berlalu melangkah mendekatinya meja belajarnya.
Riana sempat heran dengan sikap Bara yang tak mau makan masakan kesukaannya, dan Riana mampu merasakan adanya hal aneh yang sepertinya terjadi sesuatu pada Bara.
Ibu dari lima anak itu menatap lekat wajah Bara, tapi nampaknya sang sulung terlihat biasa saja yang begitu fokus dengan alat tulisnya sambil mengerjakan soal-soal yang di berikan pada gurunya di sekolah tadi.
Riana menghela nafas panjang, ia tahu benar. Sepulangnya mereka sekeluarga dari Hong Kong, Bara nampak begitu jelas tak memiliki semangat sama sekali karena Bimo membatasi gerak geriknya.
"Bara hanya bosen ma." ia tersenyum menatap ibunya, dirinya kembali fokus pada soal materi yang harus ia selesaikan malam ini juga.
Saat seperti ini, Bara sangat amat kesal pada dirinya sendiri. Bahkan ia tak mampu mengadu dan menceritakan ancaman dari sang papa soal nilainya yang merosot dan harus sekolah di UK. Mau bagaimanapun Bara tidak ingin berurusan lagi dengan papanya yang gila, apabila sang istri akan marah kepadanya karena acaman itu dan pasti berimbas dengan nasib Bara yang harus pasrah di lempar ke negara asing.
"Ya sudah... Kalo sudah selesai mengerjakan tugasnya, kamu buruan tidur. Ingat jangan tidur malam-malam, nanti papa kamu bakal geger lagi karena kamu bangun kesiangan." ujar Riana yang terkekeh pelan sambil mengusap sayang puncak kepala putranya, ia mengecup pelipis Bara lantas melangkah keluar dari kamarnya.
Drrtt...
Mata Bara melirik ponselnya, dengan malas ia meraih benda pipih itu lantas mengangkat telepon yang ternyata dari sahabatnya.
Masih bad mood Al?
"Ngapain sok kepo?" ujarnya ketus.
Ih, ternyata sawannya belum ilang juga ye bro. terdengar jelas kekehan renyah dari seberang membuat Bara memutar bola mata malas.
"Apaan sih..."
Sorry, sorry.. I just want tell you something-
Bara menyimak setiap perkataan dari seseorang yang meneleponnya, sebenernya ia malas menjadi seorang penengah dalam hal percintaan sahabatnya itu. Tapi kali ini, dia harus mengikuti setiap kabar penting yang ia dengar dari sahabatnya itu.
"Jadi kalo gue yang menjadi ketua group basket, peringkat gue bisa naik lagi gitu?"
Correct!!! Nah, tapi lo kudu serius biar gue bisa ngeyakinin wali kelas kalian...
"Gue males ribut sama adik gue bro." Bara berdecak sebal mengingat dirinya harus selalu mengalah demi Arabela, meskipun ia tak pernah blak-blakan menunjukan itu kepada adik kembarannya.
Adik lo memang ribet sih, tapi kalo lo nya nggak punya pilihan demi peringkat lo. Masa dia nggak bisa ngerti sih bro!?
Bara mengangguk pelan membenarkan perkataan sahabatnya.
"Eits, bentar bro. Yang mampu mengendalikan dia cuma satu orang."
Serius lo? Siapa? Wilson?
Bara menyeringai dirinya seolah mendapat durian runtuh sekarang ini.
Bro... Bro...!? Lo denger gue kan?
"Masih ada yang lain kagak nih?" Bara langsung menutup semua buku nya, merapikannya kembali dan memasukannya ke dalam tas ransel miliknya.
Ada donk...
"Apa? Buruan kasih tau gue."
Sahabatnya itu lagi-lagi tertawa hingga Bara harus mengatur nafasnya agar dirinya bisa mengontrol emosi dan tidak kehilangan kesempatan mengetahui kabar penting dari sahabatnya.
Malam ini gue nggak bikin tugas, besok lo musti kasih gue nyontek catatan lo. Oke?
Bara menyeringai mendengar itu, sepertinya sekali-sekali mengerjai bocah modelan macam cucian kotor patut di beri pelajaran.
"Oke, besok lo musti berangkat pagi-pagi."
Kenapa emang?
"Karena catatan gue ada sepuluh lembar." ujar Bara enteng.
Hah, seriusan lo? Tugas kimia dari pak Widi sebanyak itu.
Bara hampir saja pecah tawanya, tapi untung dirinya bisa dengan mudah mengontrol intonasi suaranya hingga sahabatnya itu percaya pada dirinya.
"Iya, makanya lo musti berangkat pagian."
Oke, oke... ujar sahabatnya terdengar jelas begitu lemas.
"Sip, gue tidur dulu. bye!" Bara menutup sambungan telepon secara sepihak lantas mencari kontak nama lain di ponselnya.
"Gue tulis siapa namanya ya?" gumamnya sendiri dengan jemari yang masih sibuk menggeser ratusan nama kontak telepon yang penuh dengan nama-nama gadis yang mengagguminya.
"Nah.... Ketemu." ujarnya dengan wajah cerah, lantas menekan tombol panggil nomor tersebut.
Tuttt....
Bara menggerakan ujung kakinya begitu gelisah karena panggilan teleponnya tak kunjung di angkat.
Matanya melirik benda kecil di ujung meja belajarnya lantas kembali menelepon orang itu.
Tuuttt...
"Angkat donk, nggak mungkin udah tidur kan...?" gerutunya begitu tak sabar dirinya, karena sedari tadi hanya mendengar nada sambung dari ponselnya.
"Haishh, kemana sih ni orang..." di panggilan ketiga masih saja tak ada yang menjawab teleponnya.
Bara mendongak ke atas, menyatukan kedua tangannya seolah sedang berdoa lantas mencoba peruntungannya yang terakhir.
"Semoga..." dengan wajah yang begitu yakin, memandangi nama kontak tersebut dan kembali memanggilnya.
Tuuttt...
Akhirnya ada seseorang yang menjawab, wajah Bara begitu sumringah tapi detik berikutnya dia harus tersentak karena yang menjawab adalah seorang perempuan.
Hallo?
Bara memandangi lagi layar ponselnya sendiri seolah terheran, tangan sebelahnya menggaruk kepalanya karena sepertinya ia salah menelepon seseorang.
Hallo? Ini siapa ya?
"Ha-halo, mmmm.... Apa benar ini bang Rafa?"
Maaf anda siapa?
Bara mendeham mencoba menguasai rasa gugupnya, entah kenapa jantungnya berdetak kencang hanya karena mendengar suara merdu dari sosok perempuan yang di seberang telepon.
"Saya Bara, Albara Erste Prasodjo." sejenak ia terhenyak dengan sikapnya sendiri. Bahkan ia seolah tak mengerti kenapa tiba-tiba mulutnya mengeluarkan nama lengkapnya seperti ia sedang ingin berkenalan dengan seseorang yang berada di seberang.
Bara? Bara siapa ya?
Nah, kan.... Bara benar-benar gila dengan dirinya sendiri, ia pun akhirnya hanya menyapaikan bahwa sepertinya dirinya salah sambung.
"Busettt... Tuh cewek suaranya merdu banget sih..." Bara gemas setelah mengakhiri panggilannya.
"Ck, kenapa nggak nanyain namanya dulu sebelum menutup panggilannya." dirinya mengerutuki kebodohannya yang telat menyadari sikapnya yang kurang sat-set.
"Eh, tapi... Nomornya kenapa ada di ponsel gue ya?" gumamnya sendiri lagi-lagi terheran karena ia sudah menyimpan nomor seseorang dengan nama 'kutu buku'. Dalam pikirannya hanya satu seseorang yang ia kenal dengan sebutan itu, yaitu Rafa. Terus, siapa yang barusan ia telepon? Kenapa nomor yang dia simpan di kontak ponselnya bahkan tak mengenalnya?
Rasa-rasanya sia-sia Bara mencoba mengingat siapa perempuan yang baru saja mengangkat sambungan teleponnya. Ia pun menyerah dan kembali berjuang mencari nama kontak yang ia tulis untuk Rafa, karena tadi tujuan utamanya adalah menelepon lelaki itu agar dia mau membantu Bara merayu Arabela yang benar-benar merepotkan.
"Nah, ketemu...! Kali ini jangan sampai salah sambung lagi." ujarnya, lantas menekan tombol panggil dan menunggu jawaban dari seberang.
Halo...
Ini baru suara Rafa, Bara bahkan tak sadar jingkrak-jingkrak kegirangan karena kali ini ia tak salah lagi.
Halo...? Ada apa Bar?
"Halo bang, abang besok bisa ke sekolah Bara nggak?"
Besok?
"Iya besok." ujar Bara mengangguk membenarkan meskipun Rafa tak bisa melihatnya.
Jam berapa?
"Abang besok sibuk nggak sih sebenernya?" lagaknya bertanya seolah dirinya merasa sungkan mengganggu waktu Rafa.
Abang kuliah sore Bar, gimana?
"Yes..." Bara melompat senang sambil mengepalkan tangan dan meninju udara.
"Besok sekolah Bara akan ada turnamen Basket bang, dan Bara pengen abang menculik Ara agar tak mengganggu Bara di lapangan."
Apalagi yang kamu rencanakan bocah? ujar Rafa begitu datar membuat Bara meringis karena ia ketahuan memiliki niat untuk mengerjain adiknya lagi.
"Ehmmm, itu bang..." Bara menggaruk pipinya yang tak gatal lantas menceritakan kejadian yang sebenarnya secara detail karena Rafa bukanlah orang yang mudah di kelabuhi.
"Jadi abang mau kan bantuin Bara." ujarnya memelas.
Gimana ya...
"Please bang... Please...."
Rafa menghela nafas panjang, kalau bukan dirinya yang begitu menyayangi Bara seperti adiknya sendiri. Pasti hal yang merepotkan ini akan ia hindari.
Oke, tapi kamu harus janji sama abang. Perbaiki nilaimu agar om Bimo tidak kecewa lagi padamu... Rafa menegur halus Bara layaknya kakak yang ingin terbaik untuk adiknya.
"Iya bang, Bara ngerti." jawabnya lemas.
Ya sudah, buruan tidur. Besok pagi abang ke sekolah kalian...
Bara tersenyum lebar dan mengangguk senang.
"Siap bos..."
Mereka berdua mengakhiri panggilan telepon dan Bara segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, karena itu menjadi hal kebiasaan dirinya sebelum tidur.
Di bawah guyuran air shower, Bara berjoget ria sambil menggosok setiap inci seluruh kulitnya begitu semangat.
"Besok harus menjadi hari yang bagus, dan awal yang bagus juga...." ia mengambil handuk miliknya lantas melilitkannya di pinggang.
Melangkah keluar dari dalam kamar mandi dan berhenti di cermin besar setinggi dirinya lantas memiringkan badan, memutar layaknya model dan menyentuh wajahnya sendiri meyakinkan dirinya yang paling tampan.
"Siapa sih yang nggak tertarik sama lo Bar?" ujarnya seolah bercakap pada pantulan dirinya dari balik cermin.
"Lihat... Lo tampan, badan lo kekar tak kalah sama papa lo. Dan yang pasti otak lo encer. Ck, ck, ck, perfecto...!" Bara terkekeh geli dengan kenarsisannya sendiri, ia lantas mengambil asal salah satu baju santainya dan segera tidur agar besok ia bisa bangun awal dan terlihat bugar.