1. Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
‘Lepaskan Nanda, Azila. Dia nggak cinta sama kamu, dia tersiksa hidup sama kamu.’
Pelan-pelan, aku menyibak selimut. Meraih jubah piyama lalu mengenakannya. Hati-hati merangkak turun dari tempat tidur.
Hawa dingin langsung menyergap telapak kakiku yang telanjang. Hawa dinginnya kemudian merambat sampai ke hati. Aku berdiri di sisi tempat tidur, menatap wajah lelap Mas Nanda. Dia sangat tampan. Memasuki usia awal tiga puluhan, dia terlihat semakin dewasa dan maskulin. Membuatku semakin dan semakin mencintainya.
Aku melangkah tanpa suara. Duduk di sisi lain tempat tidur. Menatap Mas Nanda dari jarak yang lebih dekat. Seakan tak pernah puas, aku mencondongkan tubuh agar lebih dekat lagi. Samar-samar, embusan napas yang teratur terasa menerpa wajahku.
Mas Nanda benar-benar tampan.
Hati-hati, jari-jariku menelusuri alis yang tebal. Kelopak mata dengan bulu mata lurus yang lebat. Hidung bangir di atas bibir yang sedikit terbuka. Jari-jariku terus merayap, menyusuri rahang tegas nan kokoh. Potret wajah ini begitu sempurna di mataku. Aku sangat menyukainya.
Air mataku tiba-tiba jatuh bercucuran. Menetes ke atas selimut. Rasa sesak mendadak muncul menghimpit d**a. Rasa sesak yang membuatku sangat tidak berdaya.
‘Lepaskan Nanda, Azila. Dia nggak cinta sama kamu, dia tersiksa hidup sama kamu.’
Kata-kata Sabrina tiba-tiba terngiang.
Aku menggigit bibir yang bergetar. Mencengkeram selimut kuat-kuat.
Tapi aku mencintainya, mencintai suamiku.
…
Aku dan Mas Nanda menikah empat tahun lalu. Saat itu, usiaku baru dua puluh dua tahun. Sebenarnya, calon suamiku saat itu bukan Mas Nanda, melainkan Devin. Namun, Devin tidak datang. Dia menghilang tanpa alasan tepat di hari pernikahan. Tak ingin menanggung malu, Papa meminta seorang kepercayaannya untuk menjadi mempelai priaku menggantikan Devin. Dialah Mas Nanda.
Papa tidak bermaksud menjadikan Mas Nanda benar-benar menjadi suamiku. Dia hanya ingin menutupi malu. Namun, saat itu aku malah mengatakan omong kosong.
“Mas Nanda, kita udah menikah. Jadi kenapa kita nggak meneruskannya ajah?”
Hari itu, aku merasa sangat sedih dan hancur. Saat Mas Nanda muncul, dia serupa cahaya di tengah badai. Memukau. Membuatku terpesona sekaligus memiliki kembali harapan. Mengembalikan lagi harga diri yang nyaris hilang. Pada detik itu juga, aku tahu aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Pernikahanku dan Devin sendiri adalah perjodohan. Jadi, aku merasa sedih dan hancur karena merasa sangat tidak layak. Sebegitu tidak layaknya hingga ditinggal kabur di hari pernikahan. Jadi, rasa sedih yang kualami bukan karena patah hati atau semacamnya. Namun, lebih ke merasa rendah diri. Dan Mas Nanda muncul sebagai penyelamat.
Papa sempat menolak keinginanku. Papa ingin aku dan Mas Nanda bercerai dalam sepekan. Hal itu mungkin karena status Mas Nanda. Dia hanya bawahan, sementara aku putri tunggal. Namun, aku tetap keras kepala. Ingin meneruskan pernikahan.
Saat itu aku terlalu kagum. Terlalu terlena. Tidak terpikirkan apakah Mas Nanda sudah memiliki kekasih atau belum.
Papa menyiapkan sebuah hotel mewah untuk bulan maduku dan Devin. Aku dan Mas Nanda pergi ke sana untuk tiga hari. Harusnya saat itu aku sadar, sikap dingin Mas Nanda adalah penolakan. Namun, aku memilih mengabaikannya. Sampai pada malamnya, Mas Nanda akhirnya bicara terus terang.
“Zila, saya nggak memiliki perasaan apa-apa sama kamu.”
Dengan sangat percaya diri aku menyahut, “Aku akan membuat perasaan itu tumbuh di hati kamu suatu hari nanti, Mas. Sebelum aku menerima perjodohan dengan Devin, Papa mengatakan kalau cinta akan tumbuh dengan seiring waktu. Jadi, aku akan membuat kamu memiliki perasaan seiring dengan berjalannya waktu.”
“Zila … kalau kamu bersikeras dengan pernikahan ini. Maka dengarkan saya baik-baik. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu. Memenuhi nafkah lahir dan batin kamu. Tapi … jangan pernah menuntut saya untuk mencintai kamu.”
“Oke! Aku nggak akan menuntut Mas Nanda buat mencintai aku. Tapi Mas Nanda juga nggak boleh ngelarang aku buat berusaha membuat Mas Nanda jatuh cinta. Gimana? Adil kan!”
Mas Nanda tak menjawab.
Aku tidak ingin berdebat lagi malam itu.
Jadi, aku mengabaikan segalanya. Memilih menyelinap masuk ke dalam pelukan Mas Nanda. Menarik pria itu ke balik kelambu yang telah didekorasi sedemikian rupa.
…
Kami menghabiskan malam bersama selama tiga hari. Kupikir semuanya akan berjalan baik. Aku akan dengan mudah melunakan hati Mas Nanda. Sayangnya, perkiraanku keliru besar.
Aku telah mencari banyak informasi tentang Mas Nanda. Apa-apa yang disukai dan apa-apa yang tidak dia sukainya. Aku belajar memasak makanan favoritnya. Membuat camilan kegemarannya. Bahkan, mengganti pengharum ruangan dengan aroma yang kesukaannya. Akan tetapi, semua itu belum cukup untuk membuatnya jatuh cinta.
Tak menyerah, aku mencari informasi lebih banyak lagi. Namun, aku justru malah tahu kalau Mas Nanda sudah memiliki tunangan. Saat menggantikan Devin menikahiku, dia sudah bertunangan dengan Sabrina. Fakta ini sempat membuatku terguncang. Namun demikian, aku tetap keras kepala. Kan sekarang aku istrinya.
Empat bulan kemudian, aku hamil. Sayangnya, aku mengalami pendarahan hebat saat usia kandungan baru memasuki bulan ketiga. Kandunganku tidak bisa diselamatkan.
Delapan bulan kemudian, aku kembali hamil. Di kehamilan kedua, aku sangat hati-hati. Namun, takdir berkata lain. Aku terpeleset jatuh saat usia kandungan memasuki enam bulan. Kedua kalinya, aku mengalami keguguran. Bayi yang sudah mulai memiliki bentuk itu tidak mampu diselamatkan. Insiden ini membuatku koma selama sepuluh hari. Setelahnya, dokter melarangku hamil untuk sementara waktu.
Kini, empat tahun telah terlewati. Dan aku, aku masih belum berhasil membuat Mas Nanda jatuh cinta.
‘Kamu egois Azila.’
…
Aku sudah selesai membersihkan diriku. Seperti janji Mas Nanda, dia akan bersikap baik. Memenuhi tanggung jawabnya, menafkahiku secara lahir maupun batin. Kapan pun aku menginginkan dirinya, dia takkan menolak. Sebagai pria dewasa, Mas Nanda pun membutuhkannya. Dalam hal ini, tidak ada keterpaksaan sama sekali dari kedua belah pihak.
Aku mengeringkan rambut dengan hair dryer. Mengambil mukena lalu berbisik pada bumi; meratap pada langit; memelas pada Sang Maha Pengasih; agar berbelas kasihan. Sudi menumbuhkan cinta di hati Mas Nanda.
Ketika aku selesai merayu Sang Pemilik Cinta, jam digital di atas nakas sudah menunjukkan pukul tiga lebih dua menit. Aku melepaskan mukena, berjalan ke arah meja rias. Di atas meja ada lampu belajar. Cahaya lampu ini terang, tetapi hanya fokus pada satu titik. Jadi, tidak akan mengganggu tidur Mas Nanda.
Duduk menghadap cermin, aku mulai merias wajah. Usai dirias, wajahku terlihat berbeda. Lebih segar dan hidup. Aku juga mengoleskan parfum aroma lavender. Aroma yang sangat Mas Nanda sukai.
Mas Nanda tipe orang yang tidak mudah bangun saat tertidur. Bahkan jika aku diam-diam mencium bibirnya—seperti sekarang—dia tidak akan terganggu.
Hanya ada dua hal yang akan membuatnya terjaga dengan cepat. Lampu yang mendadak menerangi seluruh ruangan dan suara ikamah subuh.
Aku merebahkan tubuh di sisi Mas Nanda, merapat. Lalu mengambil potret kami berdua dengan kamera ponsel. Ada banyak potret mesra yang ditangkap. Saat sedang terjaga, Mas Nanda tidak akan pernah mau aku ajak foto berdua. Jadi, satu-satu kesempatan adalah saat dia sedang tertidur. Aku bersyukur Mas Nanda sangat anteng saat tidur. Jadi, aku memiliki kesempatan sekarang ini..
Setidaknya, sudah ada enam belas ribu foto yang kukumpulkan selama empat tahun. Kini, ada dua puluh tujuh foto baru yang kuambil. Aku sengaja mengumpulkan begitu banyak foto. Banyak sekali. Agar suatu hari nanti—saat aku memutuskan untuk menyerah dan melepaskan Mas Nanda—setidaknya aku masih memiliki banyak foto-fotonya sebagai kenangan. Sebab, saat di mana aku memutuskan untuk menyarah. Tidak berarti aku berhenti mencintainya. Jika kemudian, aku benar-benar memutuskan untuk pergi. Aku hanya tidak ingin Mas Nanda terus-menerus tersiksa hidup bersama orang yang tidak dicintainya.
Aku menyandarkan kepalaku di lengan Mas Nanda. Memeluknya erat. Berharap akan ada keajaiban, Mas Nanda bangun dengan cinta di matanya esok pagi. Walau aku tahu, itu tak akan terjadi. Sudah empat tahun aku berharap dan selalu berakhir dengan kekecewaan.
‘Lepaskan Nanda, Azila. Dia nggak cinta sama kamu, dia tersiksa hidup sama kamu.’ []