"APA?!" pekik Luna dan Burhan bersamaan.
"Benar Galih menamparmu, Tang?" tanya Luna lalu maju melihat pipi Lintang yang agak memerah. Dalam hati Lintang bersorak puas.
'Ini akan menjadi lebih seru!' batin Lintang.
"Bu-bukan Bibi, tidak ada apa-apa." jawab Lintang sengaja di gagap kan agar mempermulus drama nya.
"Jangan menutupinya Tang, katakan saja," timpal Burhan. Lintang pun melirik ke arah Genta yang tengah melihat ke arahnya.
"Katakan saja Tang, toh Galih memang salah," tambah Genta. Lintang pun semakin mendramatisir keadaan.
"Eumm, iya. Tadi Galih menamparku, tapi tak kuat kok," ungkap Lintang dengan senyum andalannya.
"Tak kuat apanya, pipi mu sampai merah begini. Perlu Bibi hubungi Mama mu biar di obati? Atau Bibi saja?" ucap Luna khawatir sambil mengelus pipi kanan Lintang yang agak memerah.
"Tak perlu Bibi, tak sakit kok. Nanti biar Lintang obati di rumah, kalau begitu Lintang permisi Bibi, Paman, Genta," tutur Lintang sambil sedikit membungkuk.
Luna hanya tersenyum sambil mengusak surainya, Burhan sudah agak emosi, Genta sendiri sudah beranjak ingin mengantar Lintang ke depan.
"Mama, ayah, Genta ingin mengantar Lintang ke depan dulu ya," ujar Genta yang di balas anggukan oleh keduanya. Lalu Genta pun beranjak diikuti Lintang.
"Sayang, pergilah ke kamar terlebih dahulu. Aku ingin ke kamar Galih," ujar Burhan dengan nada dingin yang di balas anggukan oleh Luna.
"Jangan terlalu keras, dia juga belum terlalu sembuh," ujar Luna memperingati. Burhan pun beranjak, menghiraukan ucapan sang istri dan langsung menaiki tangga.
Duk ... Duk ... Duk ....
"Buka pintunya," ujar Burhan dengan datar sambil menggedor kuat pintu coklat milik Galih.
Krieeet ....
Tak butuh waktu lama, pintu itu pun langsung terbuka. Memperlihatkan sang pemilik kamar yang tengah memasang ekspresi datar.
"Kenapa, Ay_"
Plak!
Galih reflek memegang pipi kiri nya yang memanas akibat mendapat tamparan tiba-tiba dari Burhan.
"Sakit?" tanya Burhan sambil menatap tepat di manik Galih.
"Tidak, rasanya hangat. Tangan ayah lembut," datar Galih.
Plak!
Bukannya kasihan, Burhan malah kembali menampar Galih. Galih pun kembali menggerakkan wajah nya agar melihat kedepan akibat tamparan yang membuat kepalanya menoleh. Ia tak lagi mengelus pipi itu, membiarkan sensasi panas menjalari semaunya.
"Bagaimana?" datar Burhan.
"Semakin hangat," jawab Galih sambil tersenyum tipis.
Menghiraukan hatinya yang bergemuruh nyeri mendapat tamparan tiba-tiba dari Burhan. Galih bingung, tak bisakah laki-laki di depannya ini menjelaskan terlebih dahulu kesalahannya?
"Kau memang tak waras, suka buat onar, pembangkang, suka kekerasan, ayah sangat kecewa padamu!" bentak Burhan dengan penuh amarah.
Galih sendiri hanya diam termangu, apa barusan ayah nya tengah mengeluarkan keluh kesah tentang dirinya selama ini?
"Benar, dan sebentar lagi mungkin ketidak warasanku ini akan berubah menjadi gila," ujar Galih santai. Ia menatap tepat di mata Burhan tanpa rasa takut sedikitpun.
"Oh, pantas kau sengaja menampar Lintang yang notabene nya adalah sahabatmu sendiri, ternyata kau gila," ucap Burhan sambil terkekeh.
'Sahabat? Itu dulu ayah, sebelum semuanya berubah,' batin Galih.
"Aku tak mungkin menampar tanpa alasan."
Burhan langsung menatap manik Galih saat lontaran datar anak itu seakan menarik kembali emosinya.
"Alasan? Kau fikir aku peduli? Sadarlah Gal, jika tak ada Mama nya Lintang tak mungkin Genta bisa bersantai di rumah seperti sekarang! Tak bisa kah kau membalas jasa Sulis yang mengurus kau dan kembaranmu sedari kalian kecil? Tak usah dengan tenaga ataupun jasa, cukup hargai dia dan anaknya," terang Burhan sambil menunjuk-nunjuk Galih.
"Untuk apa aku yang membalas jasa nya? Bukankah yang menikmati asuhan nya itu Genta? Kalian menyuruhku menghargai nya karna Genta! Kalian menyalahkan gerak-gerik kehidupanku karna Genta! Kalian melupakanku karna Genta! Tidakkah itu menyakitkan bagiku? Semua selalu salah, kalian hanya melirik ku ketika aku mendahulukan segalanya untuk Genta. Aku berbicara begini juga bagi kalian salah," ucap Galih panjang. Ia tak pernah mengungkapkan kalimat keluh kesah sepanjang ini sebelumnya.
"Itu karna kau kurang bersyukur atas kehidupan yang serba kecukupan ini. Selalu meminta lebih, dasar manja!"
Galih diam, entah kenapa hatinya sakit ketika ayah nya menyebut dirinya manja. Apa benar selama ini dia kurang bersyukur?
"Aku tidak manja," ucap Galih datar.
"Lalu apa? Sikapmu yang seperti anak-anak ini kau sebut apa?!" sentak Burhan.
"Aku hanya ingin kalian sadar kalau disini juga ada aku."
"Hah, tanpa kau sadari permintaanmu barusan adalah permintaan anak manja. Mau ini, mau itu, sadarlah Gal, kau sudah dewasa! Tak pantas berkelakuan seperti ini," ucap Burhan di akhiri dengan kekehan.
"Aku tidak manja, bahkan aku bisa hidup tanpa naungan kalian."
Setelah mengatakan itu, bibir tipis Galih langsung bungkam. Ia tak menyangka kalimat itu bisa tercetus begitu saja. Wajah Burhan pun langsung tampak emosi, tapi di detik selanjutnya sudah berubah menjadi tatapan meremehkan.
"Anak kecil seperti mu bisa apa tanpa hartaku, ya?" kekeh Burhan sambil bersedekap d**a.
"Mau bukti? Tunggulah beberapa menit lagi, aku akan keluar dari rumah ini."
Brak!
Setelah mengatakan itu, Galih langsung masuk sambil membanting pintu dengan keras. Burhan pun tampak mengangkat bahu acuh lalu melenggang pergi.
'Dasar bocah, kita lihat saja nanti,' batinnya meremehkan.
Kembali ke dalam kamar nuansa abu milik Galih, tampak sang pemilik kamar bergerak cepat menarik tas ransel tak terlalu besar dari dalam lemari kaca.
"Cih! Bahkan ayah tak bertanya alasan ku menamparnya," gumam nya sambil memasukkan beberapa potong baju dan celana ke dalam tas dengan sedikit tersenyum.
"Aku gila, aku manja, aku tak pantas disini."
Galih bersenandung sambil mengambil beberapa keperluan kecil seperti ponsel, charger dan dompet berisi beberapa lembar uang saku pemberian sang ayah minggu lalu dan memasukkannya kedalam tas ransel hitam.
Mengambil jaket abu berhodie tak terlalu tebal dan memakainya. Tak lupa sepatu putih bertapak tinggi dan topi hitam menambah kesan keseriusannya.
"Kuharap kalian lebih bahagia setelah ini," gumam Galih sambil melihat setiap sudut kamarnya.
Kilas balik tentang kenangan manis nya bersama kembaran nya sewaktu kecil hampir membuat tekadnya sedikit mengendur. Tapi tak bisa, niatnya sudah bulat ingin pergi mencari kebahagiaannya di dunia luar. Perlahan tapi pasti, langkah kecilnya mulai beranjak mendekati pintu kamar.
Galih terus berjalan dengan cepat melewati pintu kamara Genta, menuruni tangga, dan melewati ruang keluarga. Seolah nasib sedang memihak padanya, tak ada seorangpun tampak sehingga mempermulus kepergiannya tanpa adegan pertengkaran lagi.
"Gal."
Tapi langkah itu tiba-tiba harus berhenti tepat di depan pintu besar. Tangan Galih yang sudah memegang gagang pintu berhenti, seolah memberi ruang sang pemanggil untuk berbicara.
"Mau kemana? Ada acara sekolah?" tanya seseorang itu dari belakang. Perlahan Galih membalikkan badan.
"Bibi Sulis, aku kirim Genta. Ya, walaupun aku tidak mengatakannya, pasti semua akan menjaga Genta. Terima kasih atas segalanya, aku pamit."
Brak!
Sulis mematung di tempat saat pintu besar itu tertutup menelan tubuh kecil Galih. Bahkan Galih tak sempat memberinya ruang untuk bertanya lebih lanjut.
"Ada apa dengan keluarga ini?" batinnya.
••••••
'Genta, jaga dirimu baik-baik. Aku menyayangimu."
( 15 : 37 ✔ )
Galih tersenyum sambil memperhatikan layar ponsel nya yang meredup. Badannya sedikit bergerak mengikuti gerakan bus yang akan membawa nya entah kemana.
Jemari kecilnya terulur memencet tombol yang ada di bagian kanan sisi ponsel, menekannya lama lalu memasukkannya ke saku jaket. Kemudian ia meletakkan kepalanya yang berbalut topi hitam agar bersandar pada kaca bening bus. Menikmati pemandangan keramaian jalan dengan kosong.
"Aku gila, aku manja~" gumam nya seolah berbisik sambil terkekeh.
Tak lama, Galih merasa kepala nya tiba-tiba berdenyut sakit. Pandangannya pun seolah berkunang. Galih hanya mampu memijit pelan berharap denyutan itu segera menghilang.
Karna lelah, beberapa menit kemudian dia tertidur dalam posisi bersandar. Tak peduli kemana bus ini membawanya, yang terpenting ia ingin bebas dan mengais sedikit demi sedikit kebahagiaan dari kebebasannya ini.