Rasa Yang Salah

1019 Kata
Rehan Aditya Dengan menambah kecepatan laju motor, aku melewati beberapa kendaraan lain. Sekitar lima menit lagi maka aku akan terlambat mengisi absen kerja. Jadi mau tak mau, aku harus memacu adrenalinku pagi ini. Ini bukan kebiasaanku, semuanya karena gadis itu. Gadis aneh, yang membuat pikiranku tak fokus semalam. Yang juga membuatku ingin segera sampai ke tempat kerja saat ini, seolah dia adalah alasan, kenapa aku harus datang pagi-pagi. Kuparkirkan motor, lalu melirik jam yang melingkar pada tangan kiri. Lumayan juga, dalam 3 menit aku sudah sampai. Lain kali, aku harus bisa lebih cepat lagi. Setelah mengisi absen di pos security aku berjalan menuju pantry, atau area kerjaku. Biasanya aku akan berjalan melewati rute ruangan admin lebih dulu, karena lebih cepat untuk sampai. Tapi sejak saat itu, terutama sejak kemarin, langkahku justru berputar lebih jauh. Berjalan melewati area operator dan dapur adalah pilihan yang kubuat hanya karena aku ingin melihatnya lebih dulu. Aku harus memastikan dia ada di tempatnya. Aku mungkin gila, tapi biarlah. Setelah sekian lama minatku pada perempuan menghilang, tiba tiba saja gadis itu membuatku rindu. Jika saja aku tidak terlambat, mungkin aku akan menjemputnya lebih dulu tadi. "Apa sih Lan, tanganku sakit!" Aku berhenti sejenak saat menaiki tangga. Ada suara samar yang agaknya ku kenal. Kupercepat langkah, sampai aku bisa menyaksikan semuanya dengan jelas, sendirian. Hari masih agak sepi, karena belum ada banyak karyawan yang datang. Ada Allan dan Nanda di dapur. Nggak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan, tapi aku bisa melihat Allan mengunci pergerakan Nanda pada dinding. Wajah gadis itu, nampak bingung dan sedih. Sementara Allan, membelakangiku. Namun dari gesturnya, ia nampak sedang menjelaskan sesuatu. Tadinya aku ingin menghampiri mereka berdua. Tapi segera kuurungkan niat tersebut. Untuk apa aku ikut campur. Namun, kedua mataku tak bisa lepas dari mereka, setelah beberapa saat, Nanda menyadari kehadiranku. Sepertinya ia terkejut. Ekspresi apa yang harus kutunjukan? Karena bingung, tanpa berkata apapun lagi, kutinggalkan dua sejoli itu. *** "Rehan, ini kamu gimana sih?" Mas Danang datang, dengan 2 gelas jus dan sepiring pancake yang beberapa menit lalu ku buat. Aku mematikan kompor yang masih menyala, karena sedang membuat orderan lain. "Iya kenapa Mas?" jawabku. "Coba kamu baca orderan meja 2 sama lesehan 4 sekali lagi deh." Dengan santai ku ambil kertas yang di maksud Mas Danang. Mataku melirik pada wajah senior yang sedang menunggu jawabanku. "Jus Lemon malah kamu buatin jus Melon, pancake extra keju, kamu buatin extra coklat. Mas di komplen nih." "Iya Mas, aku ganti orderannya sekarang." Aku tipikal orang yang tidak ingin membesar besarkan masalah. Jadi kalau masih bisa ku perbaiki ya sudah. Meski Mas Danang agaknya masih terlihat kecewa, untung saja aku sempat membuat 2 porsi pancake sebelumnya untuk berjaga jaga, karena resto biasa ramai di jam makan siang. Jadi aku hanya tinggal menghangatkannya dan memberikan toping yang benar. "Si Rehan bengong mulu dari pagi tuh Mas. Makanya kerjanya nggak beres." Celetuk salah seorang barista lain pada Mas Danang. Aku hanya menoleh sebentar padanya dan kembali pada aktifitasku. Mas Danang mendekat lalu menepuk punggungku pelan. "Kamu ada masalah?" Pertanyaan Mas Danang ini kok jadi kayak pertama kalinya aku bikin kesalahan. Makanya jadi aneh. Padahal namanya manusia ya pasti punya masalah. Akan lebih normal jika ia memarahiku. Tapi nadanya justru seperti orang prihatin. Jangan jangan, yang dikatakan Nanda tempo hari itu benar? aku memiliki wajah atau tatapan kasihan yang membuat orang merasa iba. Ah, masa iya sekebetulan itu. "Ya nggak lah Mas. Sesekali salah bikin orderan kan wajar. Lagian aku kan sering salah juga." "Ya udah, pokoknya beresin semuanya. Kalau udah selesai, minta runner drink buat cepet cepet anter orderannya. Sebelum di cancel ya." Aku mengangguk dan membiarkan Mas Danang berlalu meninggalkan pantry. Pandanganku kembali beralih pada setiap orderan yang tak akan pernah habis, sampai waktunya Resto ditutup. Seragam putih yang kukenakan lebih layak di jadikan lap untuk saat ini, karena saking seringnya tanganku tanpa sadar menempelkan sisa sisa makanan. Belum lagi cipratan dari ini dan itu. Namun itulah pekerjaan. Justru akan aneh, jika bajumu tetap bersih setelah berjibaku dengan segala macam tektek bengek yang ada di dapur. Beda dengan Nanda yang berada di bagian Operator. Karena harus berinteraksi langsung dengan pelanggan, ia selalu terlihat rapi, manis dan wangi. Bahkan saat ia baru bangun tidur dan belum mandi sekalipun. Ia masih tetap nampak cantik kemarin. Dan dari situlah masalahku di mulai. Aku melupakan fakta penting bahwa ada Allan diantara aku dan Nanda. Fakta lainnya, bahkan perkenalan kami belum genap satu minggu. Tapi kenapa gadis itu, dalam waktu singkat bisa mengisi ruang diantara hatiku yang kosong. Semua orang jelas tahu seperti apa Allan begitu protektif terhadapnya. Ruang lingkup kerjaku memang sempit. Terlalu mudah untuk menciptakan peluang jatuh cinta antar sesama karyawan. Setiap ada karyawan baru, dan terutama seorang perempuan. Maka dalam waktu singkat akan jadi bahan rebutan. Siapa cepat dia dapat. Namun sayangnya, setahun lebih aku bekerja di tempat ini, aku nggak pernah tergoda untuk ikut ajang mencari cinta. Cinta itu pembodohan. Nggak semua orang yang bersatu karena cinta, bisa punya hubungan langgeng dan hidup bahagia. Nyatanya, cinta bukan jaminan dimana hidupmu akan berjalan mulus. Apalagi jika didapat dengan tergesa gesa, hanya karena takut kalah saing. Jadi, sebisa mungkin ku tutup akses untuk setiap wanita yang mencoba masuk ke dalam hidupku. Ku batasi pergaulanku pada mereka yang membutuhkan hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Aku tak mengizinkan hati maupun otakku untuk memberi mereka harapan. Bukan karena tak normal, atau merasa sok ganteng, meski saat aku berkaca, aku harus selalu mengakui kalau tampang ini lumayan memikat. Tapi gadis itu, Ananda Rhea Prahadi, telah membuat aku, Rehan Aditya ... "Heh ... bengong lagi. Buruan itu nanti Mas Danang balik lagi!" Mataku mendelik kesal pada pria satu divisi yang paling tak bisa melihatku bengong. Ia nyengir dan memamerkan deretan giginya yang putih, setelah berhasil membuyarkan lamunanku. Tapi terima kasih juga untuknya. Karena ia menyadarkanku, bahwa apa yang kupikirkan sudah terlalu jauh. Memiliki masalah dengan rekan kerja bukanlah hal yang baik. Apalagi hanya karena perempuan. Dan aku sangat yakin, selama bekerja di sini, setidaknya aku tahu, Allan bukan orang yang bisa di ajak bermain aman. Menghindari masalah adalah salah satu cara efektif, yang meski kurasa, itu mustahil. Karena semua menyangkut, perasaanku dan Nanda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN