Lebih Baik

1068 Kata
Ananda Rhea Prahadi Allan memegang bahuku dengan lembut. Meski tak lagi ada rasa yang berlebihan di hatiku, sepasang matanya tetap membuatku teduh. Tapi aku enggan berlama lama membalas tatapan itu. Takut, kalau kalau tatapan itu akan membuatku terintimidasi. Dan lagi bayangan Rehan yang tadi pergi dengan wajah dingin itu, kian membuatku tak fokus. "De ... kamu kok malah diem aja?" sekali lagi Allan bertanya. Mau tak mau, ya harus cepat ku jawab. Kalau nggak, akan ada semakin banyak karyawan lain yang datang. Bisa jadi buruk citraku sebagai anak baru di mata mereka. Pagi-pagi udah kaya orang kaya orang pacaran di pojokan. "Aku pulang sama Rehan," jawabku dengan tegas. Pria di hadapanku ini terdiam sejenak, sebelum melepaskan tangannya dari bahuku. "Rehan?" ulangnya sekali lagi. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan pertanyaannya. "Rehan Barista maksud kamu? Dia mau nganterin kamu pulang?" Dan sekali lagi aku mengangguk, untuk mengiyakan keheranannya. Separah itu ya Rehan di mata orang orang. Sampai cuma karena aku diantar pulang pun, Allan terlihat syok. Apalagi kalau ku bilang, kami sempat jalan, juga pergi ke rumahnya. Mungkin bisa kena serangan jantung dia. "Oke oke, aku nggak masalah. Lagipula, aku juga yakin Rehan nggak mungkin naksir kamu." Oh waw Allan, agaknya dia terlalu cepat membuat asumsi. "Kok kamu bisa yakin banget?" "Ya karena aku tau De, setahun dia kerja di sini dia nggak pernah punya skandal sama siapapun." Aku hanya bisa tersenyum dalam hati. Mengingat semua hal yang kami lakukan. Jadi apa yang di katakan Rehan benarkah? Jadi aku special gitu? Jika tidak, bagaimana bisa dia malah membiarkanku mengisi jok motornya yang kosong. Dan lagi, jika Rehan tak memiliki skandal. Lalu bagaimana dengan Allan. Perkenalan ku dan Allan juga tergolong singkat bukan? "Terus kamu gimana?" Wajahku terangkat. Aku yang awalnya merasa tak enak hati, justru seperti tertantang untuk membalikan fakta. "Apa?" "Iya, terus kamu gimana. Dia nggk punya skandal. Tapi kamu pasti punya kan?" Ahh, sebenarnya apa yang kupikirkan. Bukankah aku sudah tak memiliki perasaan apapun pada Allan? Tapi kenapa rasanya jadi kesal. "Apa kamu lagi cemburu?" Sepasang alis tebal milik pria itu terangkat. Aku merengut, tak berniat menjawab. Pasti akan jadi serba salah, kalau ku jawab nggak dia akan bersikeras membenarkan perkataannya. Kalau ku jawab iya, sama saja artinya dengan aku memberi harapan pada satu hubungan yang sudah terlanjur ku tolak. "Oke, nggak usah di jawab. Aku tahu jawabannya!" Allan tersenyum. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana bahan berwarna hitam, sedang yang satunya malah sibuk mengacak rambutku. Aku seperti mendapat ketenangan lagi dari perlakuannya. Sudah lama sekali rasanya kami bersikap acuh tak acuh. "Aku minta maaf ya De, untuk semuanya. Mulai sekarang, kita balik lagi kaya dulu ya." Masih bertahan dengan mengacak rambutku, Allan mungkin lupa pada fakta bahwa sejak awal kami nggak ada masalah. Lebih tepatnya aku nggak memiliki masalah. Akan tetapi dia yang menentukan pilihannya sendiri, untuk menjauh. Dan lagi, ia juga tak menjawab pertanyaanku. Tapi ya sudahlah. Rasanya capek juga. Berjauhan dengan Allan, seolah aku punya musuh. "Iya iya, udah sih ngacak ngacak rambutnya. Nyebelin banget." Aku menepis tangannya yang terus saja membuat rambutku kusut. "Iya deh. Aku seneng liat kamu balik lagi kaya gini. Ya udah, aku mulai kerja dulu ya. Nggak usah cemburu lagi ya!" Allan berlalu dan mendapat pelototan tajam dariku, saat untuk terakhir kalinya sebelum pergi ia kembali mengincar rambutku. *** Aku menyipitkan mata, dan menatap satu persatu pada ketiga Waiter yang mengelilingi meja Operator alias area kerjaku. Tangan mereka terulur bersamaan menyerahkan kertas orderan yang melambai lambai minta di input, sementara mataku mulai lelah karena radiasi cahaya mesin input, serta orderan yang nggak ada habisnya. Sejak Resto buka dari pukul 07.30 pagi tadi hingga jam makan siang, rombongan muncul silih berganti. Seorang dari mereka bahkan menggenggam 3 kertas orderan sekaligus. "Kalian nggak kasian liat mataku yang dari belo gini jadi sipit," ujarku dengan mata berkaca kaca. "Bawel kamu De. Udah deh ini yg dateng rombongan tamu Arab. Biasanya ngasih tips gede. Kamu nggak mau kecipratan?" seru Mas Danang, Waiter senior yang paling baik sedunia dengan nada menggoda. "Nyipratin apa? Minyak? Udah sering aku Mas," keluhku pada mereka. "Ya duit lah Da. Gimana sih, kalau nggak mau ya udah. Mas input sendiri aja." "Eh iya iya deh iya. Sini sini!" Aku menadahkan tangan, mereka menyerahkan kertas orderan diringi gelak tawa, yang memekakan telinga. "Heeuhhh, denger duit aja, gercep kamu Da!" "Namanya juga duit. Sensitif Mas." Meski bekerja di Restorant Sunda. Mas Danang ini orang Cilacap, makanya panggilannya beda sendiri. Aku menarik nafas sejenak sebelum mulai menggerakan jari di mesin input. Tapi beberapa orang di dapur sepertinya sudah tak sabar. "Da, bengong aja, buruan!" teriakan dari Chef Dapur 1 nyata dan sampai ke telingaku. Saking sibuknya dari pagi, mungkin membuat mereka bersemangat untuk bergelut dengan api kompor. Sementara aku ingin sekali untuk segera melepas blazer hitam ini karena kepanasan. Aku berbalik dan ternyata pandanganku bertemu dengan wajah Allan yang manis. Ia kembali tersenyum, mengangkat tangan dan mengepalnya. Bibirnya bergerak meski tanp suara yang bisa k*****a. "Semangat De!" Aku membalas senyumnya sebisa, juga setipis mungkin. Takut ada yang melihat dan malah menjadi bahan bulyyan. Allan ku telah kembali. Pria yang pernah meluluhkan hatiku telah kembali, tapi semua telah berbeda. Rasa ini tak lagi menggebu seperti dulu. Setelah kertas orderan untuk dapur keluar, aku meneriakkan seluruh menu masakan yang dipesan dengan lantang. Semua langsung sigap dengan peralatan masing masing. Kompor yang bari beberapa detik mati, kini kembali menyala. Suara sodet yang beradu dengan wajan menjadi alunan musik merdu yang kini membuat telingaku terbiasa. Mataku tertuju pada pria beralis tebal yang tengah menggunakan pisau. Memotong setiap bahan masakan dengan lincah. Mayoritas chef disini laki laki. Dan mereka semua memang terlihat keren. "Udah kali ngeliatinnya, ampe ngiler gitu. Lap tuh elap." Aku menoleh, dan mendapati wajah Dion yang begitu dekat, bahkan nyaris saja kami saling berciuman. Dia kaget, begitu pula denganku. "Ya Allah Da, kalau mau nengok tuh bilang bilang. Hampir aja bibir ku lupa diri, ha-ha-ha." Mataku melotot, seraya mundur selangkah untuk menjauh dari lelaki abal abal ini. "Kamu juga sih, ngapain pula bisik-bisik di kuping, bikin kaget aja." "Ya lagian, kamu ampe segitunya ngeliatin Allan. Iya sih, si Allan itu keren. Ck-ck-ck, tapi masih keren aku kemana-mana gitu loh." "Iyuuhhhh, lebay," ujarku. "By the way Da," "Heeemm," aku kembali melihat ke arah dapur, tak memperdulikan Dion yang entah mau berbicara apa. "Aku lihat kamu sama Rehan kemaren." Deg ... Dan ya, Dion berhasil membuat bola mataku kembali hampir keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN